Duduk. Rina kembali duduk. Bukan karena ia luluh oleh rayuan cinta Fahmi, tapi karena satu kalimat terakhir: "... untuk jagain mamamu yang butuh kamu." Kalimat itu menghantamnya, mengingatkannya bahwa di balik kehancuran hatinya, ada sosok yang jauh lebih penting yang harus ia lindungi. Namun, meski raganya kembali ke kursi, jiwanya sudah melangkah pergi. Ia menatap sop buntut yang mengepul, dan dalam uapnya, ia melihat bayangan Ervan dan kini... bayangan Aqila.Rina menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia mengambil sendok, bukan untuk makan, melainkan untuk menyentuh mangkuk sop buntut yang masih mengepul itu. Kehangatan uapnya terasa di wajah, namun hatinya sedingin es.“Aku nggak mau dengerin pembenaran, Mi,” ucap Rina, suaranya sangat pelan, nyaris berbisik. Ia tidak menoleh, hanya menatap pantulan dirinya yang buram di permukaan kuah kaldu. “Aku nggak butuh cerita sedih tentang rumah tangga kamu. Aku cuma mau kamu jujur. Kenapa aku? Kenapa kamu dekati aku kalau kamu punya
Pengakuan itu melayang di udara, menghantam Rina seperti ombak dingin. Ia merasakan dadanya sesak, napasnya tertahan di tenggorokan. Semua canda tawa, semua keakraban, semua perhatian yang Fahmi berikan, tiba-tiba terasa seperti kebohongan besar. Ia teringat bagaimana Fahmi menyebut dirinya 'rekan darurat'. Jadi yang dimaksud rekan darurat, dirinya hanyalah berstatus sebagai selingkuhan Fahmi!"Maksud kamu ... kamu masih... suami orang?" bisik Rina, nyaris tak terdengar. Ia berharap pendengarannya salah, ia berharap ia hanya salah menafsirkan.Fahmi hanya mengangguk pelan, kepalanya tertunduk. Pengakuan itu terasa memalukan dan menyakitkan. "Iya, Rin. Aku masih suami dari Aqila."Rina menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pandangannya kosong, menatap ke arah jendela yang basah. Semua keribetan mencari ART, kelelahan menjaga ibunya, dan bahkan rasa lapar yang sempat ia rasakan, semua terasa ringan dibandingkan dengan kenyataan ini. Perasaan yang mulai tumbuh diam-diam di hatiny
Rina merasakan hawa dingin yang tiba-tiba merambat, bukan dari kopi, melainkan dari udara di sekeliling Fahmi. Nama 'Aqila' dan tatapan tajam Mina adalah kombinasi yang membuat naluri perempuannya berteriak.“Jadi, kamu belum bilang apa-apa ke dia, ya, Fahmi?” Suara Mina terdengar seperti desisan, menusuk langsung ke telinga Rina.Rina langsung menatap tajam pada Fahmi. “Dia siapa yang dimaksud, Mi?”Mina tersenyum sinis sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Ia hendak membuka mulut, siap menumpahkan kebenaran yang pahit, namun tiba-tiba lengan Yogi sudah melingkari pinggangnya. Pria berkemeja biru muda itu bergerak cepat, panik.“Mina, sudah, ayo kita pergi,” bisik Yogi, suaranya tegang dan penuh paksaan.Mina sontak menepis tangan suaminya. “Bentar, Gi! Aku cuma mau jelaskan sedikit aja, kalau—”“Tidak perlu!” potong Yogi keras, menarik pergelangan tangan Mina. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Fahmi atau Rina. Wajahnya hanya terfokus pada istrinya, yang kini memberontak. “Ayo
“Yakin kamu mau bantu aku? Cari ART itu agak ribet juga loh. Aku nggak mau ngerepotin kamu. Beneran ….”“Yakin. Aku punya kenalan agen ART resmi, dekat sini malah.”Rina akhirnya tersenyum tipis. “Aku gak tahu harus mulai dari mana kalau gak ada kamu.”“Tenang aja, aku kan ‘rekan darurat’ kamu,” candanya.Rina yang masih berwajah sedih karena ucapan Ervan barusan, kini terkekeh kecil. “Rekan darurat, ya?”“Iya. Fungsinya muncul cuma pas kamu butuh.”“Berarti kamu kayak ambulans dong?”Fahmi tertawa lirih. “Ya semacamnya lah, cuma bedanya aku gak punya sirine. Tapi aku punya cinta.”Tawa Rina nyaris pecah. Untung saja ia masih ingat saat ini berada di rumah sakit, jadi ia buru-buru menahan tawa itu.Rona merah di wajahnya menahan tawa, membuat Fahmi menjadi semakin cinta dan begitu terpesona. Rina begitu cantik dan manis dengan raut muka ceria seperti itu.***Setelah menitipkan Ratih pada perawat jaga, Fahmi dan Rina keluar dari rumah sakit. Hujan sudah reda sepenuhnya, menyisakan sis
“Kopi kamu udah benar-benar dingin, Rin.” Suara Fahmi pelan, tapi cukup membuat Rina mendongak dari lamunan.Sudah dua puluh menit Rina duduk membisu setelah kembali dari ruang observasi. Jika sebelumnya ia dipanggil ke ruang dokter spesialis kejiwaan, kali ini giliran dokter penyakit dalam yang ingin bicara dengannya tentang kondisi sang ibu.Wajah Rina tampak lelah. Rambutnya sedikit berantakan, dan mata yang biasanya lembut kini kosong, seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang padam. Ia menarik napas panjang, mengambil gelas kopi di tangan Fahmi tanpa berkata apa pun, lalu meneguknya cepat.Fahmi hanya diam, memperhatikan. Ia tahu bukan saatnya memaksa Rina bicara. Perempuan itu terlihat rapuh, seolah satu kata saja bisa membuatnya pecah.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang canggung. Suara langkah dokter dan roda brankar di lorong rumah sakit terdengar samar, bercampur dengan bunyi mesin infus dari kamar sebelah. Di antara mereka hanya tersisa aroma kopi yang menua—pahit,
Fahmi duduk di kursi ruang tunggu dengan kedua tangan menutupi wajah. Aroma kopi yang ditinggalkan Rina masih terendus di hidungnya. Tapi kopi itu tak lagi terasa hangat, melainkan getir. “Kenapa susah banget buat jujur, Mi?” gumamnya pelan, menatap layar ponsel yang masih gelap. “Kamu pengecut banget.” Meyakinkan diri untuk menyalakan kembali handphonenya itu.Ia menekan tombol power. Layar menyala, dan dalam hitungan detik, puluhan notifikasi muncul. Pesan dari Aqila. Beberapa panggilan tak terjawab. Suara hati yang terus menuntut penjelasan.Aqila: “Mi, kamu di mana sih? Kekey nyariin kamu.” Aqila: “Aku tahu kamu sibuk, tapi setidaknya kasih kabar.” Aqila: “Fahmi, aku gak mau berantem. Aku cuma pengen kamu jawab pesanku!”Rentetan pesan Aqila menerornya. Fahmi memejamkan mata. Hatinya mencelos. Satu sisi dirinya ingin menekan tombol “call back”, tapi sisi lain merasa belum siap menghadapi kenyataan yang harus ia buka. Ia tahu, setiap menit yang ia diamkan hanya membuat semuanya