MasukKetika kesepian seorang istri bersua dengan tatapan terlarang, berenang tanpa busana di bawah langit malam menjadi awal dari godaan yang mematikan, menjanjikan sentuhan terlarang yang tak lagi ditemukan di ranjang pernikahan. "Bagaimana kalau ketahuan?" ucapnya terengah. "Apakah suamimu peduli?"
Lihat lebih banyak“Tolong … lebih keras, Sayang …,” bisik Rina dengan napas tersengal.
Ranjang mereka bergoyang, deritnya beradu dengan detak jantung Rina yang semakin terpompa. Di tengah pergumulan itu, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang kini menatap suaminya. Tapi yang Rina lihat justru membuat dadanya sesak, Ervan–suaminya, bahkan tak menunjukkan minat, seolah tubuhnya bergerak hanya demi kewajiban dan naluri prianya saja. “Ah …,” suara lirih itu lolos begitu saja dari bibir Rina. Ia meremas rambut suaminya yang berpotongan sangat rapi itu. Tiba-tiba saja suara dering ponsel Ervan berdering. Mendengar dering ponselnya, Ervan langsung melepaskan tubuh Rina. Ia menjauh. Seolah istrinya tidak penting, sedangkan gawainya adalah hal yang paling membuatnya tertarik. Ervan sudah menjauh. Nafasnya berat, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang. Rina mengernyitkan keningnya. “Van … Kamu ngapain? Siapa yang kirim pesan malam-malam begini?” Ervan sudah bangkit, meraih baju tidurnya, lalu berjalan ke meja kerja di pojok kamar. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan istrinya itu. Rina menatap tak percaya ketika melihat suaminya setelah membaca pesan teks chat di ponselnya, malah membuka laptop, layar biru itu memantulkan wajah dingin yang sama sekali tak menoleh padanya. Dia memilih mengalah. Berjalan ke arah meja dan mengalungkan tangannya di leher suaminya itu, mungkin dengan bujuk rayu sedikit suaminya akan mau melanjutkan hubungan mereka yang belum tuntas itu. “Rina, jangan sentuh aku! Aku lagi kerja!” bentaknya tiba-tiba. Laptop ditutup keras, membuat Rina terlonjak. “Aku bilang aku capek! Kerjaan aku banyak banget! Jangan bikin ribet!” Rina membeku di belakang Ervan. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dianggap ada. Bukannya malah hanya dijadikan hiasan di dalam rumah saja. “Kamu kenapa sih …? Baru juga tadi kita mau ….” Kalimat Rina terjeda. Menatap nanar suaminya. “Tadi yang kirim pesan siapa?” “Ini urusan kerjaan. Soal di rumah sakit.” Rina menggigit bibir bawahnya. Dua tahun belakangan, rumah tangga mereka terasa asing. Jarak mereka semakin jauh, padahal masih tinggal di satu atap yang sama. Ia rindu pelukan, rindu belaian, bahkan rindu sekadar tatapan penuh hangat dan candaan ringan. Bukan dingin seperti ini. Dengan keberanian yang entah dari mana muncul, ia mendekat. Jari-jarinya menyentuh bahu suaminya, pelan. “Aku cuma … mau kita sehangat dulu,” bisiknya lirih. Mencoba berinisiatif. Dengan tubuh yang masih polos dan peluh yang masih menempel di kulitnya, Rina mendekatkan buah dadanya yang bulat sempurna ke pundak suaminya. Itu semua dilakukan demi sang suami mau melakukannya kembali. Seperti tahun-tahun awal pernikahan mereka yang semanis madu. Rina menyelipkan kedua tangannya di antara lengan Ervan. Tangannya yang lembut merayapi dada bidang Ervan, memeluknya dari belakang. Namun respon Ervan tak seperti yang diharapkan. Ervan mendengus, kali ini menoleh sekilas. “Rin, aku capek. Besok pagi ada operasi jam enam. Bisa nggak kamu ngerti sedikit?” sentaknya sembari melepaskan kedua tangan Rina yang tengah merangkulnya. “Van … maaf … aku cuman ….” Tapi Ervan sudah kembali berbalik, merebahkan diri dengan kasar, lalu menarik selimut. Punggungnya kini jadi pemandangan terakhir sebelum lampu kamar dimatikan. Rina duduk di sisi ranjang, matanya panas. Ada sesuatu yang menekan di dadanya, antara marah, kecewa, dan hasrat yang tak tersalurkan. Ia menatap lama punggung suaminya, seolah menunggu mukjizat. Tapi mukjizat tak pernah datang. Dengan napas berat, Rina bangkit. Kakinya melangkah pelan keluar kamar, menuruni tangga. Rumah terasa sunyi, hanya suara detak jam dinding menemani. Ia menuju pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah dengan halaman belakang. Cahaya lampu kolam renang menyambutnya, memantul di permukaan air biru yang tenang. Udara malam masih hangat, membuat kulitnya sedikit lengket. Rina berdiri di tepi kolam, menatap pantulan dirinya. Menatap wajah seorang perempuan dua puluh delapan tahun yang masih cantik, tapi tak lagi bersinar seperti dulu. “Kenapa aku harus merasa kesepian di rumah sendiri?” bisiknya getir. “Rumah ini tak lagi rumah ….” Ia mulai menanggalkan gaun tidurnya, sehelai demi sehelai. Malam itu, ia tak ingin ada kain yang menempel di tubuhnya. Semua beban, semua rasa kecewa, ingin ia lepaskan bersama pakaian yang kini berserakan di lantai marmer. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke dalam kolam. Tubuhnya yang langsing perlahan menyentuh air. Dingin kini menyapu kulitnya, menyegarkan sekaligus membangkitkan rasa lain yang sulit dijelaskan. Rina menggerakkan tubuhnya, berenang perlahan. Rambut panjangnya terurai, membiarkan air membelai leher dan punggungnya. Ia menutup mata, membiarkan tubuh melayang bebas. Setiap kayuhan tangan dan hentakan kaki serasa melepaskan simpul-simpul kesedihan. Rina mendesah pelan, bukan karena lelah, melainkan karena ada sesuatu yang menggelora di dalam dirinya. Sesuatu yang tak tersentuh oleh lelaki yang seharusnya ia sebut suami. Sudah hampir setahun Ervan tak pernah menyentuhnya. Hanya sebuah alasan lelah. Sikapnya pun sudah berubah menjadi kasar dan juga dingin. Rina terus berenang. Mengusir rasa penat, sakit hati dan kebingungan atas sikap suaminya. Hingga ia tak menyadari satu hal. Dari lantai dua rumah sebelah, sebuah jendela kamar terbuka setengah. Cahaya lampu remang-remang membuat tirai tipis sedikit tersibak. Dan dari balik jendela itu, seorang pria muda berusia tak jauh dari usia Rina, sedang duduk santai di kursi kerja dengan sandaran besar dan empuk. Ia memangku sebuah gitar dan jemarinya memetik senar. Namun, saat menikmati semilir angin malam yang masuk dari jendela yang sedikit terbuka, tiba-tiba matanya terperangah. Netra pria itu tak sengaja menatap Rina yang berenang di tengah malam tanpa mengenakan sehelai benang pun!Uap panas membumbung tinggi di dalam kamar mandi utama yang luas itu. Ervan menyandarkan kepalanya di tepian bath tub porselen, membiarkan air hangat merendam tubuhnya yang kaku. Matanya terpejam, namun pikirannya jauh dari kata tenang. Suara gemericik air seolah menjadi latar belakang bagi hiruk-pikuk suara di kepalanya.Wajah Claudia tiba-tiba melintas. Bayangan wanita itu saat melabraknya di depan poli tadi pagi masih terasa nyata. Amarah Claudia, sentakan kasarnya pada Nina - asisten perawat baru, dan tatapan penuh tuntutan itu kini tak lagi terlihat seksi atau penuh gairah di mata Ervan. Yang ada hanyalah rasa muak."Dasar perempuan gila," desis Ervan lirih. Suaranya bergema di antara dinding marmer.Dulu, ia mengira Claudia adalah pelarian yang sempurna dari kebosanan rumah tangganya. Namun sekarang, Claudia justru menjadi duri yang paling tajam. Posesifnya mulai melewati batas. Terlebih lagi, klaim kehamilan Claudia terasa seperti lelucon paling buruk bagi Ervan.Ervan menarik
Suara deru mesin mobil mewah Ervan memecah keheningan di depan pagar. Pintu gerbang otomatis terbuka perlahan dengan bunyi dengung yang kaku, memberi jalan bagi mobil hitam mengkilap itu untuk meluncur masuk ke dalam halaman. Rina yang baru saja melangkah keluar dari halaman rumah Fahmi, tersentak pelan. Ia berusaha mengatur napas, menetralkan rona pucat di wajahnya, dan mengencangkan pegangannya pada tali daster kimononya.Ervan mematikan mesin. Tak lama, ia turun dari mobil dengan setelan kerja yang masih lengkap, meski dasinya sudah sedikit longgar. Saat ia berdiri di sisi pintu mobil, matanya yang tajam langsung menangkap sosok Rina yang baru saja menutup pintu pagar samping."Kamu dari mana?" tanya Ervan. Suaranya datar, namun ada nada menginterogasi yang tak bisa disembunyikan.Rina memaksakan senyum tipis, mencoba terlihat sealami mungkin. "Dari rumah sebelah, Van."Kening Ervan berkerut dalam. Ia menyipitkan mata, menatap ke arah rumah Fahmi sejenak sebelum kembali menatap is
Aqila berdiri di ambang pintu dengan tangan bersedekap. Penampilannya yang sempurna dengan kacamata hitam yang baru saja ia naikkan ke atas kepala membuatnya tampak seperti hakim yang siap menjatuhkan vonis. Tatapannya tajam, langsung menusuk ke arah Rina yang kini berdiri dengan wajah pucat pasi."Mama! Mama sudah pulang!" seru Kekey gembira. Ia langsung berlari memeluk pinggang Aqila, tidak menyadari aura dingin yang memancar dari tubuh ibunya. "Kenapa lama banget sih, Mah? Katanya cuman sebentar!"Aqila menunduk, menatap putrinya. Sesaat, kilat amarah di matanya meredup, digantikan oleh senyum tipis yang dipaksakan. Ia mengusap rambut Kekey pelan. "Iya, Sayang. Maaf ya, tadi kerjaan mama lambat karena fotografernya sakit perut dan waktu pulang jalanannya macet banget."Aqila menggandeng tangan Kekey dan melangkah perlahan menghampiri Fahmi dan Rina yang masih berdiri kaku. Matanya menyapu penampilan Rina dari ujung rambut hingga ujung kaki.Menilai daster kimono yang dikenakan teta
Puding mangga itu akhirnya tersaji cantik di atas piring-piring kecil bermotif bunga. Warnanya kuning cerah, dengan tekstur lembut yang bergoyang saat piring digerakkan. Di ruang makan rumah Fahmi yang minimalis namun terasa hangat, Rina, Fahmi, dan Kekey duduk melingkar, menikmati hasil jerih payah mereka di dapur tadi."Wah, lembut banget! Enak!" seru Kekey dengan mulut yang masih penuh dengan potongan puding. Gadis kecil itu tampak begitu lahap, sendok plastik panjangnya bergerak lincah menyendok tiap bagian puding yang manis.Rina tersenyum, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya melihat binar bahagia di mata Kekey. "Syukurlah kalau Kekey suka. Nanti kalau habis, Tante bikinkan lagi ya?""Mau! Mau!" Kekey bertepuk tangan kegirangan.Fahmi yang duduk di samping Kekey hanya bisa menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Ia menyesap jus mangganya pelan, matanya tak lepas dari Rina. "Kamu benar-benar punya tangan ajaib, Rin. Bahkan Kekey yang biasanya susah makan kalau so












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Peringkat
Ulasan-ulasanLebih banyak