Rina hanya ingin dicintai suaminya lagi. Tapi Ervan, seorang dokter sukses, kini terlalu sibuk hingga lupa cara menyentuh istrinya. Malam penuh sepi membuat Rina nekat berenang tanpa sehelai benang pun di kolam rumahnya. Ia tak tahu, dari jendela rumah sebelah, ada seseorang yang menyaksikan segalanya. Tatapan itu … akan mengubah hidup Rina selamanya.
View More“Tolong … lebih keras, Sayang …,” bisik Rina dengan napas tersengal.
Ranjang mereka bergoyang, deritnya beradu dengan detak jantung Rina yang semakin terpompa. Di tengah pergumulan itu, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang kini menatap suaminya. Tapi yang Rina lihat justru membuat dadanya sesak, Ervan–suaminya, bahkan tak menunjukkan minat, seolah tubuhnya bergerak hanya demi kewajiban dan naluri prianya saja. “Ah …,” suara lirih itu lolos begitu saja dari bibir Rina. Ia meremas rambut suaminya yang berpotongan sangat rapi itu. Tiba-tiba saja suara dering ponsel Ervan berdering. Mendengar dering ponselnya, Ervan langsung melepaskan tubuh Rina. Ia menjauh. Seolah istrinya tidak penting, sedangkan gawainya adalah hal yang paling membuatnya tertarik. Ervan sudah menjauh. Nafasnya berat, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang. Rina mengernyitkan keningnya. “Van … Kamu ngapain? Siapa yang kirim pesan malam-malam begini?” Ervan sudah bangkit, meraih baju tidurnya, lalu berjalan ke meja kerja di pojok kamar. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan istrinya itu. Rina menatap tak percaya ketika melihat suaminya setelah membaca pesan teks chat di ponselnya, malah membuka laptop, layar biru itu memantulkan wajah dingin yang sama sekali tak menoleh padanya. Dia memilih mengalah. Berjalan ke arah meja dan mengalungkan tangannya di leher suaminya itu, mungkin dengan bujuk rayu sedikit suaminya akan mau melanjutkan hubungan mereka yang belum tuntas itu. “Rina, jangan sentuh aku! Aku lagi kerja!” bentaknya tiba-tiba. Laptop ditutup keras, membuat Rina terlonjak. “Aku bilang aku capek! Kerjaan aku banyak banget! Jangan bikin ribet!” Rina membeku di belakang Ervan. Hatinya terasa diremas. Ia tak minta banyak. Hanya ingin dipeluk, dicintai, dianggap ada. Bukannya malah hanya dijadikan hiasan di dalam rumah saja. “Kamu kenapa sih …? Baru juga tadi kita mau ….” Kalimat Rina terjeda. Menatap nanar suaminya. “Tadi yang kirim pesan siapa?” “Ini urusan kerjaan. Soal di rumah sakit.” Rina menggigit bibir bawahnya. Dua tahun belakangan, rumah tangga mereka terasa asing. Jarak mereka semakin jauh, padahal masih tinggal di satu atap yang sama. Ia rindu pelukan, rindu belaian, bahkan rindu sekadar tatapan penuh hangat dan candaan ringan. Bukan dingin seperti ini. Dengan keberanian yang entah dari mana muncul, ia mendekat. Jari-jarinya menyentuh bahu suaminya, pelan. “Aku cuma … mau kita sehangat dulu,” bisiknya lirih. Mencoba berinisiatif. Dengan tubuh yang masih polos dan peluh yang masih menempel di kulitnya, Rina mendekatkan buah dadanya yang bulat sempurna ke pundak suaminya. Itu semua dilakukan demi sang suami mau melakukannya kembali. Seperti tahun-tahun awal pernikahan mereka yang semanis madu. Rina menyelipkan kedua tangannya di antara lengan Ervan. Tangannya yang lembut merayapi dada bidang Ervan, memeluknya dari belakang. Namun respon Ervan tak seperti yang diharapkan. Ervan mendengus, kali ini menoleh sekilas. “Rin, aku capek. Besok pagi ada operasi jam enam. Bisa nggak kamu ngerti sedikit?” sentaknya sembari melepaskan kedua tangan Rina yang tengah merangkulnya. “Van … maaf … aku cuman ….” Tapi Ervan sudah kembali berbalik, merebahkan diri dengan kasar, lalu menarik selimut. Punggungnya kini jadi pemandangan terakhir sebelum lampu kamar dimatikan. Rina duduk di sisi ranjang, matanya panas. Ada sesuatu yang menekan di dadanya, antara marah, kecewa, dan hasrat yang tak tersalurkan. Ia menatap lama punggung suaminya, seolah menunggu mukjizat. Tapi mukjizat tak pernah datang. Dengan napas berat, Rina bangkit. Kakinya melangkah pelan keluar kamar, menuruni tangga. Rumah terasa sunyi, hanya suara detak jam dinding menemani. Ia menuju pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah dengan halaman belakang. Cahaya lampu kolam renang menyambutnya, memantul di permukaan air biru yang tenang. Udara malam masih hangat, membuat kulitnya sedikit lengket. Rina berdiri di tepi kolam, menatap pantulan dirinya. Menatap wajah seorang perempuan dua puluh delapan tahun yang masih cantik, tapi tak lagi bersinar seperti dulu. “Kenapa aku harus merasa kesepian di rumah sendiri?” bisiknya getir. “Rumah ini tak lagi rumah ….” Ia mulai menanggalkan gaun tidurnya, sehelai demi sehelai. Malam itu, ia tak ingin ada kain yang menempel di tubuhnya. Semua beban, semua rasa kecewa, ingin ia lepaskan bersama pakaian yang kini berserakan di lantai marmer. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke dalam kolam. Tubuhnya yang langsing perlahan menyentuh air. Dingin kini menyapu kulitnya, menyegarkan sekaligus membangkitkan rasa lain yang sulit dijelaskan. Rina menggerakkan tubuhnya, berenang perlahan. Rambut panjangnya terurai, membiarkan air membelai leher dan punggungnya. Ia menutup mata, membiarkan tubuh melayang bebas. Setiap kayuhan tangan dan hentakan kaki serasa melepaskan simpul-simpul kesedihan. Rina mendesah pelan, bukan karena lelah, melainkan karena ada sesuatu yang menggelora di dalam dirinya. Sesuatu yang tak tersentuh oleh lelaki yang seharusnya ia sebut suami. Sudah hampir setahun Ervan tak pernah menyentuhnya. Hanya sebuah alasan lelah. Sikapnya pun sudah berubah menjadi kasar dan juga dingin. Rina terus berenang. Mengusir rasa penat, sakit hati dan kebingungan atas sikap suaminya. Hingga ia tak menyadari satu hal. Dari lantai dua rumah sebelah, sebuah jendela kamar terbuka setengah. Cahaya lampu remang-remang membuat tirai tipis sedikit tersibak. Dan dari balik jendela itu, seorang pria muda berusia tak jauh dari usia Rina, sedang duduk santai di kursi kerja dengan sandaran besar dan empuk. Ia memangku sebuah gitar dan jemarinya memetik senar. Namun, saat menikmati semilir angin malam yang masuk dari jendela yang sedikit terbuka, tiba-tiba matanya terperangah. Netra pria itu tak sengaja menatap Rina yang berenang di tengah malam tanpa mengenakan sehelai benang pun!“Tidak …,” pekik Rina lirih. Derai air mata semakin deras membasahi pipinya.Bahkan layar ponselnya pun terbasahi tetesan air mata itu.Foto terakhir ini menampakkan Ervan mencium bibir wanita berseragam putih-putih itu. Walau diambil dari jarak jauh dan dengan mode zoom, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan jika si pria yang ada di dalam foto ini memang suaminya!“Jadi … ternyata alasan kamu sering pulang telat dan dingin sama aku selama satu tahun ini adalah dia?” gumam Rina dengan suara bergetar.“Tega-teganya kamu Van … Salah apa aku sama kamu?” lanjutnya sembari terbayang kembali jika ia rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manager di sebuah restoran hotel bintang lima demi menjadi istri yang baik dan berbakti.Nafasnya naik turun. Emosinya benar-benar menguasainya. Udara malam pun terasa semakin menusuk.Ia duduk termenung di ruang tamu berjam-jam lamanya. Matanya terus menatap layar ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa semakin ha
Fahmi cepat mengerjap, lalu mendekat.“Minggir, biar aku yang atasi.”Fahmi mendekat. Otomatis ia pun ikut basah karena semburan air yang muncrat ke mana-mana.Rina melirik ke arah Fahmi yang kini pakaiannya sama seperti dia. Basah kuyup. Kemeja kasualnya menapak jelas pada tubuhnya. Menerawang karena basah, dan hal itu membuat tubuh atletis sixspacknya terlihat jelas.“Tenang aja … Gak apa-apa. A-aku bisa—”“Percaya sama aku,” potong Fahmi cepat. Ia langsung membuka kemejanya yang sudah basah untuk menyumbat sementara pipa yang bocor. Lalu kemudian bertanya pada Rina, “Kamu punya kunci pipa? Atau kunci inggris?”“Ada di kolong wastafel,” jawab Rina secepat kilat.Ia meraih kunci pipa di bawah wastafel, memutar katup utama dengan cekatan. Dalam hitungan detik, semburan air berhenti.Suasana mendadak hening.Rina berdiri terpaku, baju rumah tipisnya menempel di tubuh karena basah kuyup. Rambutnya berantakan, wajahnya masih penuh cipratan air. Pakaiannya lebih basah dari Fahmi tadi. Bah
Rina membeku, matanya melebar tak percaya. Sementara Fahmi menahan napas, tubuhnya kaku di bawahnya. Hangat dan lembut, sentuhan itu membuat dada mereka sama-sama bergemuruh.Rina buru-buru menjauh, wajahnya memerah padam. “A-aku … aku nggak sengaja …” suaranya nyaris berbisik.“Rina …” Fahmi menatapnya, masih terengah. Bibirnya terasa hangat, matanya tak bisa lepas dari sosok Rina yang panik.Sunyi memenuhi ruangan itu. Hanya desiran napas mereka berdua yang terdengar.“A—aku harus pulang, terima kasih makanannya .…”Rina pun buru-buru merapikan bajunya dan pergi meninggalkan Fahmi yang masih tak bergerak.Sekeluarnya dari pintu, Rina langsung memijat keningnya yang berkedut.Gila! Aku baru saja berciuman dengan tetangga baruku?!***Suasana rumah malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dari celah jendela hanya membawa dingin, tidak membawa ketenangan bagi Rina.Ia masih gelisah sejak pulang dari rumah Fahmi, terbayang-bayang kelembutan yang mendarat di bibirnya oleh sang t
Tok … tok … tok …Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu utama rumah Rina. Ia yang sedang merapikan meja makan langsung menoleh. Alisnya berkerut. Jarang ada tamu sepagi ini, apalagi Ervan sudah berangkat lebih dulu ke rumah sakit sejak subuh.Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan membuka pintu. Matanya langsung bertemu dengan sosok pria asing yang berdiri di teras.Seorang pria tinggi, mungkin hampir 180 cm. Tubuhnya tegap dengan bahu bidang, terlihat jelas meski hanya mengenakan kemeja biru laut lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan chinos warna abu-abu yang rapi membuatnya terlihat formal sekaligus santai.Rambut hitamnya agak berantakan, seperti baru saja ditata seadanya dengan jari, memberi kesan alami. Rahangnya tegas, kulitnya sawo matang bersih, dan sorot matanya … hangat sekaligus tajam, seakan mampu menembus isi hati orang yang ditatapnya.Rina nyaris kehilangan kata.“Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum menawan, memperlihatkan lesung pipit
“Tolong … lebih keras, Sayang …,” bisik Rina dengan napas tersengal.Ranjang mereka bergoyang, deritnya beradu dengan detak jantung Rina yang semakin terpompa.Di tengah pergumulan itu, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang kini menatap suaminya.Tapi yang Rina lihat justru membuat dadanya sesak, Ervan–suaminya, bahkan tak menunjukkan minat, seolah tubuhnya bergerak hanya demi kewajiban dan naluri prianya saja.“Ah …,” suara lirih itu lolos begitu saja dari bibir Rina. Ia meremas rambut suaminya yang berpotongan sangat rapi itu. Tiba-tiba saja suara dering ponsel Ervan berdering.Mendengar dering ponselnya, Ervan langsung melepaskan tubuh Rina. Ia menjauh. Seolah istrinya tidak penting, sedangkan gawainya adalah hal yang paling membuatnya tertarik.Ervan sudah menjauh. Nafasnya berat, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang.Rina mengernyitkan keningnya. “Van … Kamu ngapain? Siapa yang kirim pesan malam-malam begini?”Ervan sudah bangkit, meraih baju tidurnya, lalu berjala
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments