Bab 6
Ternyata hari yang aku lalui tidak semudah yang dibayangkan. Kami pernah berbagi, tetapi lelaki itu seolah-olah hanya menganggapku hama. Ketika berusaha mendekat karena permintaan Kak Jes, misal saja membuatkan sarapan, dia pasti menolak. Aku pun semakin menyadari bahwa dia hanya mencintai istri pertamanya. Sungguh, aku sama sekali tidak mengharapkan balasan karena suatu hari pasti diusir dari sini setelah melahirkan anak mereka. Rasanya memuakkan, ingin mengamuk sebisa mungkin. Namun, bagaimana dengan Ibu dan Tania? Bahagia mungkin saja menyapa karena kami bisa berkumpul seperti dulu, hanya saja .... Ah, ini berat sekali. Kak Jes terlalu baik mau melunasi semua utang, bahkan memberi jaminan untuk makan sehari-hari keluargaku. Kabarnya Tania juga akan dibiayai, terutama jika aku melahirkan anak laki-laki nanti. Bukankah ini sedikit lebih baik daripada tinggal di rumah bordil? Menghela napas, takdir benar-benar tidak berpihak. Dulu, aku pernah melihat keluarga yang selalu dipenuhi canda dan tawa karena tidak memiliki utang. Setiap akhir pekan, mereka pasti menghabiskan waktu bersama. Terkadang aku melamun, melambungkan harapan bahwa suatu hari nanti senyum semringah menghiasi bibir setelah berhasil melalui badai. Meskipun tanpa Bapak, asal ada Ibu dan adik. "Sonia!" Suara Kak Jes memecah lamunan. Di saat yang sama, aku mencium aroma gosong? "Hah!" Aku tersentak ketika menyadari telur gulung sudah berubah warna menjadi hitam. Ke mana Bi Sumi, kenapa dia tidak mengingatkan aku? Ah, salah sendiri karena melamun saat sedang memasak. Kak Jes tersenyum, dia bergerak cepat mematikan kompor sebelum memanggil Bi Sumi. Hampir satu menit, wanita paruh baya itu datang dengan langkah tergesa. Sekilas melirik padaku tanpa senyuman lalu membersihkan semuanya. Sementara itu, Kak Jes menarik tangan ini menuju meja makan yang masih kosong. Jangan tanyakan di mana Mas Al karena lelaki itu sudah pergi sejak tadi. Aku sempat mendengar dia mengatakan bahwa makanan seenak apa pun tidak akan menggugah seleranya selama aku masih ada di rumah ini. Meskipun pernikahan kami karena satu tujuan, tetap saja hati terasa remuk, air mata tentu berbaris di pipi. "Sonia, kamu jangan kesinggung sama sikap Mas Al, ya. Dia baik, kok, cuma belum terbiasa aja. Aku harap suatu hari dia bisa membuka hatinya untukmu." "Membuka hati? Maksud Kak Jes apa? Aku di sini bukan untuk merebut hatinya atau berusaha mengganti—" "Aku tahu," potong Kak Jes masih mengukir senyum, "tapi pasti kamu tertekan batin juga kalau diabaikan. Bagaimanapun, kamu adalah perempuan dan kamu adalah istrinya. Mungkin setelah hari itu tiba, kamu menjalani masa-masa sulit." "Masa-masa sulit?" "Maafkan aku karena melibatkanmu dalam masalah ini. Aku tahu uang bukan segalanya, tetapi hari itu kamu butuh uang dan aku malah memanfaatkan kelemahanmu. Seharusnya—" "Tidak, Kak. Aku harus berterima kasih karena rumah tidak disita oleh bank dan Kak Jes mau menjamin kehidupan keluargaku. Aku nggak tahu gimana harus membalasnya," pungkasku memotong pembicaraannya agar wanita itu tidak merasa bersalah lagi dan lagi. Kami telah sepakat, win to win. Aku harus membuka pikiran bahwa semua ini adalah bagian dari takdir. Apabila mengandung, maka dia akan lahir dengan nasab bersambung pada Mas Al. Ini bukan sepenuhnya kesalahan, aku harus bisa melihat sisi lain dari penderitaan. Kak Jes menatap lekat padaku untuk beberapa detik, kemudian tersenyum. Entah apa maksud dari senyum itu. Suasana berubah hening, aku pun semakin sungkan. *** Di rumah sangat membosankan karena Kak Jes tidak mengizinkan aku melakukan pekerjaan seperti menyapu atau sekadar menyiram taman belakang. Ternyata selain Bi Sumi, dulu ada asisten rumah tangga khusus memasak. Akan tetapi, suami beliau meninggal dunia hingga harus mengundurkan diri. Aku menarik napas dalam seraya menikmati indahnya tanaman hijau dengan bunga mekar menghiasi. Rumah ini sangat terawat dan tentu berbeda jauh dengan rumahku yang mungkin lebih layak disebut gubuk. Tiba-tiba bayangan Mas Al mengusik pikiran. Lelaki itu sangat mencintai istrinya sampai mengabaikanku, padahal di luar sana begitu banyak suami yang ingin menikah lagi dengan dalih ingin segera mendapat keturunan. Akankah suatu hari aku bisa mendapat suami yang begitu tulus, pun cintanya lebih besar dariku? Setelah melahirkan, aku akan kembali ke rumah dengan status janda. Besar kemungkinan Kak Jes masih akan memberi jaminan, tetapi aku ingin meminta modal saja karena tidak ingin bergantung pada orang lain. "Non ...." Aku menoleh. Rupanya itu Bi Sumi. Dia tidak tersenyum, tetapi melebarkan langkah menuju kursi panjang yang sedang aku duduki. Perlahan, tetapi pasti, kami sekarang duduk berhadapan dalam jarak yang lumayan dekat. Ada apa? Kak Jes sedang berada di luar rumah karena katanya ada pekerjaan yang harus dilakukan menyisakan kami berdua. Aku khawatir wanita paruh baya ini menyusun sebuah rencana yang akan memberatkanku nantinya. "Non butuh teman?" "Maksud Bibi apa?" "Kalau butuh, minggu depan keponakanku bisa diajak bekerja di sini. Dia pandai memasak, bisa mengurus rumah juga karena sudah terbiasa sejak kecil." Aku mengerutkan kening. Apa dia memintaku membujuk Kak Jes agar memberi pekerjaan untuk keponakan Bi Sumi? Atau dia melakukan jebakan agar aku dituduh terlalu ikut campur dalam masalah rumah ini, padahal hanya istri yang dibutuhkan untuk melahirkan anak dengan kata lain adalah selir raja. "Bi Sumi bisa bicara sama Mas Al saja. Aku orang baru di sini." "Tidak, bukan itu. Dua bulan lalu keponakanku diminta bekerja di sini oleh Bu Jessica, tetapi dia masih belum sehat. Sekarang kalau diajak lagi pasti bisa. Bibi lihat, kayak seusia sama Non Sonia. Kalau setuju, Bibi akan sampaikan pada Bu Jessi." "Bibi jangan berbelit-belit. Sebenarnya maksud Bi Sumi mau nyariin aku teman buat apa?" Wanita paruh baya itu bungkam, kemudian menatap langit yang sedikit mendung. Seribu tanya tentu bersarang dalam pikiran. Mengapa? Mungkinkah dia ingin aku melakukan suatu pekerjaan yang bisa membuat Kak Jes marah dan mengusirku dengan hina? Mereka keluarga kaya dan tentu mudah menemukan gadis yang bisa memberinya keturunan. Ah, membayangkan itu semua membuat kepalaku sedikit pening. Keringat dingin mulai bercucuran ketika Bi Sumi berkata, "Ada sesuatu yang tidak bisa Bibi katakan sekarang. Bibi hanya ingin melindungimu dari keburukan. Bibi ini sudah tua, tidak layak berteman karena bisa menimbulkan kecurigaan Bu Jessi. Beda sama keponakan Bibi." "Bi, aku semakin tidak mengerti. Keburukan apa yang Bi Sumi maksud?" "Bi Sumi terlalu baik sampai memikirkan dirimu, Sonia. Dia pasti tidak ingin kamu kesepian karena aku harus sering keluar rumah untuk beberapa minggu ke depan." Wanita paruh baya di depanku tersentak lalu melangkah menjauh ketika menyadari kehadiran Kak Jes dengan tatapan menyalak tajam. Aku menggigit bibir, dia seperti orang berbeda dengan rupa yang sama. Mungkin benar kata orang bahwa orang kaya selalu menyimpan banyak rahasia.Setelah malam penuh ketegangan itu, rumah Albian tidak lagi menjadi tempat yang aman. Ethan memutuskan memindahkan keluarga Albian ke tempat persembunyian sementara. Sebuah vila di luar kota, tersembunyi di balik hutan, dipilih sebagai lokasi terbaik untuk memastikan keamanan mereka. Jessica duduk di kursi dekat jendela besar vila itu, pandangannya kosong menatap ke luar. Dia merasa seperti beban berat terus menghimpitnya. Sonia, yang tak pernah membiarkan orang lain tenggelam dalam rasa bersalah terlalu lama, mendekatinya. “Kita semua berada di sini karena kamu, Jessica,” kata Sonia, nada suaranya tegas, “tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu.” Jessica menoleh, matanya berkaca-kaca. “Sonia ... aku sudah menghancurkan hidup kalian. Jika sesuatu terjadi pada Farhan atau Alia ....” Sonia menggeleng. “Aku tidak mau mendengar penyesalan itu lagi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah rencana. Kamu bilang kamu punya salinan data itu. Di mana?” Wanita itu m
Malam itu, suasana rumah keluarga Albian penuh ketegangan. Jessica duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang hampir dingin. Di seberangnya, Sonia dan Albian saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain.Farhan dan Alia sudah terlelap di kamar mereka, tidak menyadari badai yang tengah mendekat. Sonia menatap Albian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—campuran antara kekhawatiran dan kekuatan.“Jessica.” Sonia akhirnya memecah keheningan. “Kita harus tahu semuanya. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu?”Jessica menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara. “Aku sudah memberitahu kalian. Itu semua tentang dokumen yang aku curi—”“Tidak mungkin hanya itu,” potong Sonia, nadanya tegas, “mereka tidak akan mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar dokumen biasa.”Albian menatap Jessica tajam. “Jessica, kalau kamu ingin kami membantu, kamu harus berkata
Sonia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia mengamati kembali rekaman CCTV yang menunjukkan pria dengan jaket logo misterius itu. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: kenapa mereka begitu gigih mengejar Jessica?Sementara itu, di ruang kerjanya, Albian menelepon salah satu kontak kepercayaannya. “Dapatkan semua informasi tentang logo ini. Siapa pun yang terlibat di balik organisasi ini, aku ingin tahu segalanya,” katanya dengan nada penuh determinasi.Tak lama, Albian keluar dari ruang kerja. “Kita harus berbicara serius,” katanya sambil memandang Sonia dan Jessica.“Apalagi sekarang, Mas?” tanya Sonia.“Aku sudah memanggil penyelidik pribadi untuk menyelidiki organisasi ini. Tapi Jessica, kamu harus bicara jujur. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu? Ini bukan sekadar ancaman biasa. Pasti ada alasan besar kenapa mereka segigih ini.”Wanita itu tampak gugup. “Mereka menginginkan ... dokumen penting yang dulu aku ambil dari salah satu pemimpin mereka
Suara retakan dari dapur membuat Sonia dan Jessica saling pandang dengan ketegangan di mata mereka. Sonia segera meraih ponsel di meja, bersiap menghubungi Albian yang sedang bekerja di ruang pribadinya. Namun sebelum dia sempat menekan tombol, Jessica menahan tangannya."Tunggu. Kalau kamu membuat suara, mereka bisa tahu kita menyadari kehadiran mereka," bisik Jessica."Siapa mereka?" tanya Sonia, suaranya tertahan, tetapi tegas.Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah dapur, memasang kewaspadaan.Dari bayangan di balik pintu dapur, terdengar langkah-langkah pelan. Jessica meraih sebuah benda berat—kayu kecil yang tergeletak di dekat meja—dan bergerak mendekati pintu.Sonia, meskipun gugup, mengikuti di belakangnya.Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak dikenal muncul. Wajahnya tertutup oleh topi dan masker. Tatapannya tajam, tetapi dia tampak terkejut mendapati Jessica dan Sonia berdiri di sana."Siapa kamu?!" Sonia berseru dengan sua
Keesokan harinya, Jessica benar-benar kembali seperti yang dijanjikan. Kali ini, dia membawa dokumen-dokumen yang katanya bisa membuktikan ancamannya nyata. Sonia duduk di ruang tamu bersama Albian, dengan sikap waspada, sementara Jessica mulai menjelaskan.“Orang ini, namanya Vincent,” kata Jessica, sambil menunjuk sebuah nama di salah satu dokumen, “dia mantan rekan bisnisku. Awalnya, aku pikir dia hanya marah karena aku mundur dari proyek kami. Tapi belakangan, dia mulai mengancam akan membocorkan rahasia pribadiku dan menyebarkan berita palsu untuk menghancurkan reputasiku.”“Dan apa hubungannya dengan kami?” potong Sonia dingin.Jessica menelan ludah, gugup. “Karena Vincent tidak hanya menyerangku. Dia juga menyebut nama kalian. Dia tahu aku pernah menjadi bagian dari kehidupan kalian dan dia akan menggunakan itu untuk mempermalukan kalian di publik.”Albian memijat pelipisnya, sementara Sonia menatap Jessica dengan tajam. “Jadi, karena ulahmu sendiri, sekarang kami juga terancam
Jessica tersenyum tipis, tapi jelas terlihat tegang. “Aku butuh bicara denganmu, Mas.” Albian diam, tubuhnya membeku. Dia ingin langsung menutup pintu, tapi Jessica memandangnya dengan sorot mata yang penuh tekanan. “Ini penting.” Sonia, yang mendengar suara di depan pintu, berjalan mendekat. “Mas? Siapa—” Langkahnya terhenti begitu melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Sonia.” Jessica mengangguk singkat, seolah kehadirannya adalah hal yang wajar. “Lama tidak bertemu.” “Kamu ... mau apa lagi kamu ke sini?” tanya Sonia, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang berusaha dia kendalikan jika teringat pada perbuatan wanita licik itu. Jessica melirik Sonia sebelum kembali menatap Albian. “Aku perlu bicara dengan kalian. Ini soal sesuatu yang sangat penting.” “Jessica, kamu seharusnya tidak di sini,” ujar Albian, nadanya datar, tapi penuh ketegasan. Wanita licik itu mendesah. “Aku tidak punya pilihan lain, Mas. Percayalah, aku tidak ingin datang jika tidak te