Saat makan malam, Kak Jess memberi isyarat bahwa aku harus memulai pembicaraan dengan Mas Al yang hanya diam. Entah kenapa, lelaki itu benar-benar terlihat ingin aku pergi karena dianggap sebagai benalu, mungkin. Tidakkah dia menyadari bahwa aku pun sangat membenci pernikahan ini? Tidak ada kebahagiaan seperti yang diceritakan oleh orang-orang.
"Pak Al tidak makan daging ikan, ya?" tanyaku basa-basi karena di piring lelaki itu hanya ada nasi, ayam, dan telur rebus. Orang kaya dengan lauk sederhana, aku tersenyum dalam hati.
"Panggil Mas Al, Sonia. Kalau manggil kek tadi, kesannya kamu itu bawahan atau anaknya." Kak Jess menegur dan aku hanya bisa menatapnya, ragu.
Setelahnya kembali hening. Lelaki batu itu meninggalkan meja makan begitu saja, mungkin dia marah pada Kak Jess karena memintaku memanggilnya 'Mas'. Entahlah. Aku harus banyak makan malam ini sebelum menjadi babu esok hari.
"Jangan lupa pakai parfum yang aku beri!" Wanita di sampingku pun berdiri dan mengejar suaminya. Ah, tidak, maksudku adalah suami kami.
"Non, maaf, Bibi mau tanya sesuatu." Bi Sumi mendekat, aku pun mengangguk sebagai bentuk persetujuan atas permintaannya. "Sudah lama kenal sama Bu Jessica?"
"Baru-baru ini, Bi. Kenapa, ya?" Aku mengerutkan kening menatap wanita paruh baya itu. Entahlah, hanya saja aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
"Ah, tidak. Pak Al itu sangat cinta dan sayang sama Bu Jess. Bibi cuma heran karena Bapak mau menikah lagi, padahal sebelumnya mereka beradu mulut setiap kali Bu Jess memintanya."
Aku mengangguk sebagai respons karena enggan membuka suara. Bi Sumi sendiri langsung pergi begitu saja, entah apa yang ada dalam pikirannya. Meskipun seorang asisten rumah tangga, tetapi bukan berarti harus terbuka padanya. Kami belum saling mengenal, aku khawatir ada rencana yang sedang dijalankan dan melibatkan aku.
Bukan mau suuzon, tetapi kasus demikian sedang marak. Misal saja membunuh majikan demi uang atau mungkin hendak menjadikan anak gadisnya sebagai orang ketiga. Ah, memikirkan itu semua hanya mengulur waktu. Aku pun kembali melanjutkan makan sebelum terlambat.
Selesai makan, aku segera ke kamar yang ada diantai dua dan menunggu pesan dari Kak Jess. Katanya, jika Mas Al sudah dalam pengaruh obat, maka aku harus bergegas menuju kamarnya dan merebahkan diri dalam keadaan mati lampu. Aku hanya bisa pasrah dengan harapan segera hamil, melahirkan, dan meninggalkan kehidupan ini.
Ponsel bergetar, sekarang adalah waktunya. Aku melangkah panjang keluar kamar menuju ruangan dengan pintu bernuansa merah muda itu. Saat membukanya, ternyata sangat luas dan harum. Aku tersenyum, betapa beruntungnya Kak Jess menikah dengan Mas Al. Sadar akan tugas, aku segera mematikan lampu dan melepas piyama menyisakan pakaian kurang bahan lalu merebahkan diri di tempat tidur yang besar itu. Nyaman, suhu dalam ruangan begitu dingin, aku memeluk diri sendiri.
"Sayang ...." Suara berat itu berhasil membuatku tersentak.
Dia pasti Mas Al. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sama sekali tidak punya pengalaman dan bagaimana jika dia menyadari hal itu ketika kami sedang dalam penyatuan? Jantung berdegup tidak normal, kedua mata berkedip lebih sering dari biasanya.
Tidak lama kemudian, aku merasakan seseorang menyentu kaki ini pelan sampai ke tangan. Dia menciumnya penuh kelembutan. Aku hanya bisa mematung, napas memburu, sementara jantung seperti ingin melompat.
"Sayang, aku merindukanmu," katanya lagi. Ah, benar, suara itu milik Mas Al, tetapi kali ini terasa berat.
Aku memejamkan mata katika dia menyentuh leher belakang ini dan mengunci pergerakanku. Biar saja semuanya berlalu, aku tidak akan menyesal, semua demi Ibu. Lagi pula, tidak ada jalan untuk lari dari sini. Andaipun berhasil, Kak Jess pasti marah besar dan akan berakibat fatal bagiku sekeluarga. Miris memang.
Hawa dingin yang tadinya menusuk kulit, kini sirna bersamaan dengan suara-suara kecil yang keluar dari mulut kami. Mahkota itu telah hilang, direnggut lelaki yang berstatus suami. Sungguh, aku berharap waktu cepat berlalu setiap kali mendengarnya menyebut nama Kak Jess. Perempuan mana pun pasti merasa cemburu dan sakit hati.
Aku mengucek mata ketika menyadari seseorang menepuk pelan pipi ini. Ternyata itu Kak Jess dan .... Apa? Aku segera bangun, tetapi enggan beranjak begitu menyadari pakaian berada di bawah lantai. Menoleh ke kanan, Mas Al masih terlelap.
"Pakai sekarang sebelum Mas Al bangun!" perintah Kak Jess menyerahkan piyama padaku.
Tanpa menunggu waktu lagi, aku segera mengenakan pakaian itu. Aneh rasanya karena tanpa dalaman. Namun, sebelum pergi, aku menatap dalam pada Kak Jess lantas berkata, "Kak, maafin aku. Tolong jangan benci aku!"
"Tidak, Sonia. Aku malah senang karena rencana kita berhasil. Semalam Mas Al unboxing kamu, kan?"
Aku mengangguk. "Bagaimana dengan darah yang ada diseprei ini, Kak? Kalau Mas Al lihat, pasti tahu kalau yang tidur semalam dengannya itu bukan Kak Jess. Aku takut."
"Kenapa harus takut? Mas Al suami kamu juga. Sudah, sekarang kamu mandi dan sarapan, aku harus bangunkan Mas Al dulu."
"Berhenti di sana!" Suara berat Mas Al mengejutkanku. "Ada yang harus aku sampaikan."
Aku pun menoleh. Lelaki itu telah berada dalam posisi duduk, bersandar pada kepala ranjang. Tatapannya tajam dan lagi-lagi tanpa senyuman. Bibir itu ... aku merasakannya tadi malam.
"Kamu telah mendapatkan tujuanmu. Mulai hari ini, jaga jarak dengan saya dan jangan mengharapkan apa pun. Semoga kamu segera hamil, melahirkan, dan enyah dari hadapanku!"
Kalimat menusuk itu .... Aku hanya bisa menghela napas, kemudian mengangguk sebelum meninggalkan kamar mereka. Sebelum benar-benar masuk kamar sendiri, tangan ini ditarik oleh Bi Sumi. Dia memelukku erat, sekilas.
"Non, sebelum semuanya terlambat, tolong pergi dari sini." Bi Sumi mengatup kedua tangan di depan dada.
"Apa yang terlambat, Bi?"
"Bapak sudah ...?" Aku mengangguk. Wajahnya menyiratkan putus asa. "Ya sudah, kalau Non Sonia butuh bantuan, cari Bibi saja. Bibi sudah lama bekerja di sini. Siapa tahu bisa ngasih solusi."
"Aku nggak paham maksud Bibi apa. Maaf, ya, aku mau mandi dulu." Setelah mengucapkan itu, aku bergegas masuk kamar, tetapi telinga ini masih bisa mendengar suara wanita paruh baya tadi dengan samar. Kalau tidak salah, dia memintaku berhati-hati dengan Kak Jess.
Kenapa? Bukankah Kak Jess itu baik? Dia membantuku melunasi utang meskipun harus menikah dengan suaminya. Mas Al sangat mencintai Kak Jess, bukankah artinya dia adalah istri yang baik? Bi Sumi ada-ada saja, aku malah menaruh curiga padanya.
Ponsel yang tergeletak indah di nakas bergetar. Aku mendekat, meraih, dan membaca pesan dari Kak Jess.
[Makasih, ya, udah mau bantu aku, Sonia. Kalau berhasil, Mas Al pasti takluk sama kamu. Aku bahagia, kamu bahagia, masing-masing.]
Setelah malam penuh ketegangan itu, rumah Albian tidak lagi menjadi tempat yang aman. Ethan memutuskan memindahkan keluarga Albian ke tempat persembunyian sementara. Sebuah vila di luar kota, tersembunyi di balik hutan, dipilih sebagai lokasi terbaik untuk memastikan keamanan mereka. Jessica duduk di kursi dekat jendela besar vila itu, pandangannya kosong menatap ke luar. Dia merasa seperti beban berat terus menghimpitnya. Sonia, yang tak pernah membiarkan orang lain tenggelam dalam rasa bersalah terlalu lama, mendekatinya. “Kita semua berada di sini karena kamu, Jessica,” kata Sonia, nada suaranya tegas, “tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu.” Jessica menoleh, matanya berkaca-kaca. “Sonia ... aku sudah menghancurkan hidup kalian. Jika sesuatu terjadi pada Farhan atau Alia ....” Sonia menggeleng. “Aku tidak mau mendengar penyesalan itu lagi. Apa yang kita perlukan sekarang adalah rencana. Kamu bilang kamu punya salinan data itu. Di mana?” Wanita itu m
Malam itu, suasana rumah keluarga Albian penuh ketegangan. Jessica duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan, tangannya gemetar saat memegang secangkir teh yang hampir dingin. Di seberangnya, Sonia dan Albian saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain.Farhan dan Alia sudah terlelap di kamar mereka, tidak menyadari badai yang tengah mendekat. Sonia menatap Albian dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—campuran antara kekhawatiran dan kekuatan.“Jessica.” Sonia akhirnya memecah keheningan. “Kita harus tahu semuanya. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Apa sebenarnya yang mereka inginkan darimu?”Jessica menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu untuk bicara. “Aku sudah memberitahu kalian. Itu semua tentang dokumen yang aku curi—”“Tidak mungkin hanya itu,” potong Sonia, nadanya tegas, “mereka tidak akan mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar dokumen biasa.”Albian menatap Jessica tajam. “Jessica, kalau kamu ingin kami membantu, kamu harus berkata
Sonia memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia mengamati kembali rekaman CCTV yang menunjukkan pria dengan jaket logo misterius itu. Dalam pikirannya, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: kenapa mereka begitu gigih mengejar Jessica?Sementara itu, di ruang kerjanya, Albian menelepon salah satu kontak kepercayaannya. “Dapatkan semua informasi tentang logo ini. Siapa pun yang terlibat di balik organisasi ini, aku ingin tahu segalanya,” katanya dengan nada penuh determinasi.Tak lama, Albian keluar dari ruang kerja. “Kita harus berbicara serius,” katanya sambil memandang Sonia dan Jessica.“Apalagi sekarang, Mas?” tanya Sonia.“Aku sudah memanggil penyelidik pribadi untuk menyelidiki organisasi ini. Tapi Jessica, kamu harus bicara jujur. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu? Ini bukan sekadar ancaman biasa. Pasti ada alasan besar kenapa mereka segigih ini.”Wanita itu tampak gugup. “Mereka menginginkan ... dokumen penting yang dulu aku ambil dari salah satu pemimpin mereka
Suara retakan dari dapur membuat Sonia dan Jessica saling pandang dengan ketegangan di mata mereka. Sonia segera meraih ponsel di meja, bersiap menghubungi Albian yang sedang bekerja di ruang pribadinya. Namun sebelum dia sempat menekan tombol, Jessica menahan tangannya."Tunggu. Kalau kamu membuat suara, mereka bisa tahu kita menyadari kehadiran mereka," bisik Jessica."Siapa mereka?" tanya Sonia, suaranya tertahan, tetapi tegas.Jessica tidak menjawab. Dia hanya menatap ke arah dapur, memasang kewaspadaan.Dari bayangan di balik pintu dapur, terdengar langkah-langkah pelan. Jessica meraih sebuah benda berat—kayu kecil yang tergeletak di dekat meja—dan bergerak mendekati pintu.Sonia, meskipun gugup, mengikuti di belakangnya.Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu terbuka, dan seseorang yang tidak dikenal muncul. Wajahnya tertutup oleh topi dan masker. Tatapannya tajam, tetapi dia tampak terkejut mendapati Jessica dan Sonia berdiri di sana."Siapa kamu?!" Sonia berseru dengan sua
Keesokan harinya, Jessica benar-benar kembali seperti yang dijanjikan. Kali ini, dia membawa dokumen-dokumen yang katanya bisa membuktikan ancamannya nyata. Sonia duduk di ruang tamu bersama Albian, dengan sikap waspada, sementara Jessica mulai menjelaskan.“Orang ini, namanya Vincent,” kata Jessica, sambil menunjuk sebuah nama di salah satu dokumen, “dia mantan rekan bisnisku. Awalnya, aku pikir dia hanya marah karena aku mundur dari proyek kami. Tapi belakangan, dia mulai mengancam akan membocorkan rahasia pribadiku dan menyebarkan berita palsu untuk menghancurkan reputasiku.”“Dan apa hubungannya dengan kami?” potong Sonia dingin.Jessica menelan ludah, gugup. “Karena Vincent tidak hanya menyerangku. Dia juga menyebut nama kalian. Dia tahu aku pernah menjadi bagian dari kehidupan kalian dan dia akan menggunakan itu untuk mempermalukan kalian di publik.”Albian memijat pelipisnya, sementara Sonia menatap Jessica dengan tajam. “Jadi, karena ulahmu sendiri, sekarang kami juga terancam
Jessica tersenyum tipis, tapi jelas terlihat tegang. “Aku butuh bicara denganmu, Mas.” Albian diam, tubuhnya membeku. Dia ingin langsung menutup pintu, tapi Jessica memandangnya dengan sorot mata yang penuh tekanan. “Ini penting.” Sonia, yang mendengar suara di depan pintu, berjalan mendekat. “Mas? Siapa—” Langkahnya terhenti begitu melihat Jessica berdiri di ambang pintu. “Sonia.” Jessica mengangguk singkat, seolah kehadirannya adalah hal yang wajar. “Lama tidak bertemu.” “Kamu ... mau apa lagi kamu ke sini?” tanya Sonia, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang berusaha dia kendalikan jika teringat pada perbuatan wanita licik itu. Jessica melirik Sonia sebelum kembali menatap Albian. “Aku perlu bicara dengan kalian. Ini soal sesuatu yang sangat penting.” “Jessica, kamu seharusnya tidak di sini,” ujar Albian, nadanya datar, tapi penuh ketegasan. Wanita licik itu mendesah. “Aku tidak punya pilihan lain, Mas. Percayalah, aku tidak ingin datang jika tidak te