Share

Gerbang Damsaqie

Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.

“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.

“Dimana?” tanya Nai.

Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?

“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.

“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.

“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.

“Safa, masuklah. Jangan takut.”

Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.

Setelah aku masuk, aku masih sempat melihat Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar moter. Setelah selesai, aku tidak mengetahui lagi apa yang terjadi di luar.

Ruangan ini tidak terlalu besar, tapi nyaman untuk tempat sementara ini berlindung. Ada sebuah kursi lebar, dengan meja lebih tinggi. Aku mendekati kursi itu, dan mendudukinya.

Penerangan lumayan, ada sebuah lampu dengan ukuran besar, menyala terang. Jadi, aku tidak perlu membaca mantra penerang ruangan yang diberikan Nia tempo hari.

Sekeliling tembok, terdapat banyak sekali lukisan. Ah, tidak, itu bukan hanya sebuah lukisan, tapi itu adalah sebuah mantra. Rasanya aku sekarang bisa membedakan, mana sebuah gambar dengan mantra, atau yang gambar saja. Entah darimana aku mendapatkan insting itu.

Dari sekian banyak lukisan indah itu, ada sebuah lukisan yang membuatku betah memandang. Sebetulnya lukisan itu sederhana, hanya sebuah tulisan huruf ‘alif’. Tidak ada tambahan sama sekali. Namun, aku rasa perpaduan warnanya sangat memanjakan mata.

Huruf alif itu berwarna putih terang, sedangkan latar belakangnya terdiri dari beberapa warna. Mulai dari paling atas berwarna kuning emas. Kemudian bawahnya ungun muda. Bawahnya lagi, hijau tua, dengan setengah jingga. Hingga warna paling bawah, ah, warna apa itu? Aku tidak pernah melihat warnanya.

Warnanya tidak terlalu terang, tidak juga terlalu gelap. Namun, ketika aku melihatnya, sebuah perpaduan gelap dan terang menjadi satu, menyilaukan mata.

Aku heran dengan pelukis itu, dengan apa dia menciptakan huruf alif dengan warna putih terang itu? Warnanya seperti mengeluarkan sinar hidup, tidak diam begitu saja.

Aku yakin, mantra yang tersimpan dibalik lukisan itu sangat langka. Kenapa ada disini? Mungkin Kanisan adalah pengoleksi mantra. Aku tidak menaruh rasa curiga sama sekali saat ini. Bisa saja, karena dia seorang ilmuwan.

***

Pelan-pelan aku mendengar suara desingan pintu depan. Benar, itu suara pintu. Desingan bertambah nyaring, seperti suara pintu lift yang akan terbuka.

Dari balik pintu besi yang terbuka, terlihat disana Nai dan Kanisan duduk santai.

“Safa, keluarlah. Sudah aman.” Kata Nai menyambut.

Aku keluar. Pemandangan masih sama, kota-kota dengan gedung tinggi, bangunan tanpa mengambah tanah. Tapi, rasanya kota ini lebih ramai, lebih indah. Banyak aku lihat di bawah sana, dari kaca moter, rumah-rumah dengan desain klasik seperti di Bumi.

Duduk-lah aku pada kursi semula. Mnyaksikan keindahan kota ini.

“Safa, kita sudah memasuki kota Damsaqie. Sekitar tiga jam lagi, kita akan sampai Kuil Damsaqie.” Nai terlihat sangat senang.

Matahari terlihat menyambut kami dengan sinarnya yang hangat. Aku dapat merasakan hangat sinar itu, meskipun berada dalam moter tertutup rapat. Sinarnya menembus kaca, kemudian mengenai tubuhku. Hangat.

“Kanisan, carilah tempat sarapan secepatnya.” Perintah Nai pada Kanisan.

Segera, tanpa menjawab, Kanisan mengetikkan tujuan selanjutnya. Kanisan terlihat seperti sudah hapal betul tempat ini. Tidak banyak mencari tahu tentang jalur yang akan kami lalui.

“Beres, sebentar lagi kita akan sampai pada restoran terbaik kota ini.” Kata Kanisan sambil tetap mengemudi.

“Tapi tidak membawa uang, Kanisan.” Nai Lagi.

“Tidak apa-apa, aku akan membayarnya. Mumpung aku adalah manusia yang baik hati.”

Moter perlahan turun dengan kecepatan berkurang. Kami semakin mendekati bangunan kota Damsaqie. Dari dekat, bangunan-bangunan kota ini terlihat semakin indah. Perpaduan warna, karakter bangunan, bersatu-padu menampilkan desain bangunan indah, klasik, dan tentunya mengandung nilai seni tersendiri pemiliknya.

“Safa, gunakan tisu basah ini, bersihkan wajahmu.” Kata Nai sambil memberikan satu bungkus kecil tisu.

Lumayan, memang sejak bangun tadi aku belum membasuh muka, apalagi mandi. Nanti saja, lah, ketika sudah sampai tujuan, jika ada kamar mandi aku akan mandi di sana.

Mobil terbang memasuki area parkiran, ramai sekali. Nampaknya kota ini memang kota klasik. Lihatlah, kanan-kiri tempat moter kami parkir, terdapat hamparan moter-moter klasik. Kebanyakan berwarna terang, tanpa lampu hiasan.

“Itu moter orang-orang kaya.” Nai menjelaskan kekagumanku.

Memang, barang klasik biasanya adalah koleksi orang-orang kaya. Di Bumi-pun juga demikian. Mobil-mobil klasik, motor klasik, rumah klasik, adalah koleksi orang-orang kaya. Malahan, orang yang sok kaya, akan mencari barang indah, bukan barang klasik. Itu bedanya mungkin.

Aku keluar dari moter paling terakhir. Nia, aku lihat dia sudah bersiap dengan dirinya, berjalan menuju kumpulan kami.

“Nai, sudah lama, ya, kita tidak kesini.” Kata Nia setelah sampai, kepada Nai.

Nai tidak menjawab, hanya mengeluarkan seulas senyum tipis. Dia memandangi puncak bangunan restoran dengan takjub.

Restoran ini memang indah. Wajahnya seperti bangunan klasik, atau memang ini adalah bangunan klasik. Seluruh dinding berwarna coklat tua, bersinar. Sedangkan atapnya terbuat dari kayu, hitam legam. Oh, sungguh indah sekali.

Kami berjalan beriringan memasuki bangunan restoran, dengan waspada tentunya. Bagaimana-pun indahnya bangunan ini, aku belum mengetahui isinya sama sekali.

Keadaan terlihat ramai oleh orang yang makan, sarapan pagi. Apakah disini tidak ada budaya sarapan pagi bersama di rumah? Oh, tidak. Mungkin kota Damsaqie ini adalah kota wisata, kebanyakan adalah para pendatang. Jadi memilih untuk makan di restoran saja.

Semakin kami berjalan menuju dalam ruangan, ternyata keseluruhan bangunan bukanlah bangunan klasik. Lihatlah ke depan sana, meja-meja indah itu. Warnanya terang sekali, bukan-lah kalau bangunan klasik itu. Malahan, dari sini aku mulai melihat bagaimana modernya bangunan ini.

Mungkin inilah yang dinamakan dengan bangunan semi klasik, perpaduan antara klasik dan modern. Tapi tidak apa-apa-lah. Bukankah yang kami cari disini adalah sebuah makanan, untuk sarapan?

“Safa, jangan jauh-jauh, nanti hilang kamu.” Nia menggandengku.

Kami berjalan menuju pojok ruangan. Kenapa, ya, setiap kali berkunjung ke-tempat ramai, Nai selalu memilih tempat paling ujung? Atau, bahkan pojok ruangan.

“Dari ujuang ruangan, kita bisa melihat keseluruhan keadaan ruangan. Sedangkan yang berada di tengah, belum tentu bisa melihat kita. Jadi, kita bisa aman selama di dalamnya.” Nai menjelaskan.

Pas sekali, kursi meja yang kami datangi berjumlah empat. Aku berjajar dengan Nia, berhadapan dengan Nai. Entah kenapa sekarang Nai tidak menyebalkan lagi, seperti awal kami bertemu. Aku rasa, dia mendapatkan wahyu dari Tuhan, agar menjadi orang yang tidak menyebalkan lagi.

“Kamu makan apa, anak muda?” tanya Kanisan pada Nai.

“Aku makanan klasik saja.” Jawab Nai.

“Aku juga.” Nia ikut memesan.

“Kamu?” Kanisan bertanya padaku.

“Iya, aku sama saja.” Jawabku ragu-ragu.

Kanisan segera mengetikkan angka pada bagian meja depannya. Oh, jadi sepeti inikah cara memesan makanan disini? Lebih canggih dari pada milik Mc’d.

Kami menunggu beberapa saat sebelum akhirnya pelayan dayang dengan nampan lebar. Seragamnya masih sama dengan pelayan yang di rumah makan sebelumnya, bawahan hitam dan atasan putih. Minumannya sama dengan minuman yang pertama kali aku minum, berwarna merah dengan soda tinggi.

***

Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju Kuil Damsaqie. Kata Nai, kami akan sampai sekitar tiga jam lagi. Sekarang pukul sembilan, berarti kami akan sampai pada pukul dua belas siang. Lama juga ternyata perjalanan menuju Kuil Damsaqie.

Kanisan menggunakan kemudi manual, tapi dengan kecepatan yang tidak diragukan. Dia sepertinya memang ahli sekali dalam mengemudikan moter ini. Tapi, rasanya masih hebat pengemudi moter sebelumnya, Nai.

Bangunan-bangunan klasik memenuhi setiap pinggir jalanan bawah, terlihat jelas dari atas bangunan. Di bawah sana, terlihat keramaian-keramaian terjadi.

“Apakah tidak ingin belanja dulu, anak muda?” tanya Kanisan.

“Tidak usah, tidak terlalu penting.” Jawab Nai.

Nah, sekarang aku baru ingat, bahwa aku sudah beberapa hari terakhir tidak ganti pakaian. Apakah badanku sudah berbau?

Aku mendekatkan hidung pada ketek. Oh, sungguh agak berbau badanku saat ini. Tapi tidak apa-apa, sebentar lagi aku akan pulang dengan mantra itu. Sampai rumah, aku akan mandi dengan bunga tujuh rupa, satu jam berendam dengannya.

“Safa, kita sudah memasuki bagian Kuil Damasqie?” Nai memberi tahuku.

Apakah benar? Aku segera mengarahkan pandangan keluar. Apakah ini adalah Kuil Damsaqie?

“Iya, ini Kuil Damsaqie. Tapi yang menjadi tujuan kita adalah bagian utama. Masih berada sedikit di depan.” Tambahnya.

Indah. Bunga-bunga yang jarang sekali aku lihat di Bumi. Bunga dengan warna hitam, bercampur kuning, dengan putiknya keemasan, terlihat dari moter di atas.

“Itu namanya bunga Kangkong.” Jelas Nai.

“Nah, yang itu,” Nai menunjuk satu bunga di bawah sana, “yang berwarna hijau terang, bercampur merah, lalu dengan pinggiran berwarna merah darah, putiknya berwarna biru, namanya bunga Sawio.” Kata Nai lagi.

Oh, indah-indah sekali bunga-bunga disini.

“Nai, apakah bunga-bunga itu besar sehingga kita bisa melihatnya dari kejauhan seperti ini?” tanyaku penasaran.

“Tidak, sebenarnya bunga itu tidak besar. Namun, setiap kaca moter, yang ketika kita melihat kebawah, atau bahkan kesamping, dilengkapi dengan kaca pembesar. Jadi, walaupun kita sekarang berada di ketinggian, kita tetap bisa melihat peamandangan di bawah dengan jelas.” Hanai menjelaskan dengan panjang lebar.

Moter pelan-pelan turun, landai. Apakah kita sudah sampai? Lalu, setelah menapak tanah, moter berjalan menggunakan roda biasa dari karet.

“Nah, Safa, bangunan di depan itu adalah gerbang utama Kuil Damsaqie.” Hanai menunjuk sebuah bangunan.

Memang benar. Di jarak yang sekitar dua puluh meter, aku bisa melihat sebuah bangunan mirip gerbang tol Cikampek. Moter harus berjalan pelan-karena antri dengan moter lain yang sama-sama masuk gerbang. Ternyata bukan hanya di Indonesia yang macet ketika masuk gerbang tol, bahkan di Kulstar juga demikian.

Kanan-kiri kami berjajar dengan moter lain. Aku melihat ke-belakang, tepat dibelakang kami, aku melihat moter yang dikemudikan Nia. Tapi, aku tidak melihat orangnya, kaca tidak tembus pandang.

Sekarang aku bisa melihat bunga-bunga indah itu dari jarak dekat. Keindahannyabertambah. Bagaimana-pun, aku adalah seorang wanita, tetap terpesona dengan indahnya bunga di luar kondisi dan suasana.

“Nai, bolehkah bunga itu dipetik?” tanyaku tanpa sadar.

“Sayang sekali, bunga itu tidak boleh dipetik. Barang siapa mengambil dengan tangan kosong, maka akan dikenakan sanksi undang-undang. Kamu akan dipenjarakan selama 120 tahun, ditambah dengan denda.” Kanisan ikut angkat bicara.

Aku menganga mendengar aturan itu. Bagaimana mungkin hanya memetik satu bunga harus didenda dan sanksi kurungan seberat itu.

“Bunga itu adalah peninggalan sejarah, jadi pemerintah kota tidak main-main.” Tambah Kanisan lagi.

Jangankan peninggalan sejarah, uang untuk kehidupan rakyat saja digadaikan, dikorupsi. Lalu, bagaimana dengan bunga indah seperti itu? Di Bumi, tidak dipermasalahkan mungkin. Khususnya di Indonesia.

Gerbang masuk semakin dekat. Sekarang, aku bisa melihat sepenuhnya bangunan itu. Terbuat dari... sepertinya dari batu-batu, klasik. Tidak dipasang cat, atau penghalus bahkan. Namun bangunan itu terlihat sangat menarik, indah.

Satu meter sebelum gerbang, terdapat tulisan peraturan mungkin. Bagini, aku bisa membacanya :

Dilarang membawa senjata tajam.

Dilarang membawa senjata berapi.

Dilarang mengambil apapun dari dalam Kuil Damsaqie.

Dilarangan mengadakan perkumpulan lebih dari sembilan orang dalam Kuil Damsaqie.

Dilarang bermalam dalam Kuil Damsaqie.

lima aturan saja, tapi rasanya sudah mencakup semuanya. Anehnya, semua aturan, kalima-limanya, berupa larangan.

Moter berjalan mengendap-endap diantara ribuan moter lain. Aku kagum dengan ketertiban yang dilaksanakan oleh para pengemudi moter. Bagaimana tidak, meskipun suasana ramai seperti ini, mereka tetap mengedepankan ketertiban. Tidak terkecuali adalah Kanisan.

Dibelakang kami, Nia juga tengah mengemudikan moter dengan sabar. Aku tidak bisa membayangkan jika moter ini yang mengemudikan orang Indonesia, mungkin sudah banyak yang terbang melewati atap gerbang. Tidak sabaran.

“Safa, Kuil Damsaqie adalah peradaban tertua Kulstar. Banyak sekali pengetahuan yang bisa kita pelajari disini.” Kata Nai.

“Apakah kamu membawa buku catatan?” tanya Nai.

Ha? Jangankan membawa, menulisnya saja aku jarang. Tidak apa-apa. Sudah ada Malaikat yang bertugas mencatat amal, jadi aku tidak perlu membawanya. Toh, kalau aku tidak memcatat aku juga tidak akan mendapatkan dosa.

“Tenang saja, di dalam Kuil nanti banyak yang menjual buku catatan.” Sambungnya lagi setelah aku menjawab.

Tidak terasa, kami telah melewati gerbang masuk, dan meninggalkannya di belakang. Setelah melewati gerbang, suasana menjadi semakin indah lagi. Bunga-bunga banyak tertata, bersanding dengan pohon besar-besar. Tidak disanksikan lagi, bahwa kota ini adalah pusat peradan Kulstar.

Kami memasuki area perkiran Kuil, luas sekali. Aku memperkirakan bahwa lebarnya lebih dari 300km2. Ratusan moter terparkir rapi dengan jarak satu langkah. Tapi, kok, sepi sekali orangnya disini? Jarang ada manusia yang terlihat. Ah, mungkin kami saja yang datang terlalu siang, mereka semua sudah masuk ke dalam Kuil.

“Kanisan, gunakan mantramu saja.” Kata Nai sambil melirik Kanisan.

“Baiklah, aku tahu mantramu jumlahnya terbatas.” Jawab Kanisan dengan tersenyum sinis.

“Safa, pegang tanganku. Nia, kau juga pegang tangan Safara.” Nai memberi instruksi.

Baiklah, aku segera memegang tangan Nai, dan Nia memegang tanganku. Sedangkan tangan Nai sendiri aku melihatnya berpegangan dengan tangan Kanisan. Mungkin kami akan berjalan dengan menggunakan mantra.

Bibir Kanisan mulai terlihat mengucapkan sebuah mantra. Lima detik kemudian, dari arah belakang kami terasa sebauh magnet raksasa menarik kami. Rasanya seperti pertama kali aku tertarik magnet raksasa pada waktu itu. Yang berbeda, kali ini aku tidak terlalu takut, karena berada di tengah-tengah penduduk asli Kulstar.

Tubuhku terasa memasuki sebuah lorong hitam, gelap. Lorong yang sama ketika aku menuju tempat teraman dalam hidup Nai dan Nia. Aku masih ingat, ketika keluar nanti, aku harus menutup mata, agar tidak buta.

***

“Nah, Safa, kita sudah sampai di lantai satu Kuil Damsaqie.” Sambut Nai ketika kami sudah keluar.

Aku gelagapan. Sumpah, baru pertama ini aku memasuki ruangan super aneh. Tidak aneh sebenarnya, tapi rasanya sangat indah. Jutaan lukisan terpapar rapi pada dinding-dinding tinggi itu. Lihatlah, kawan, jutaan lukisan itu sungguh menawan hati. Sampai-sampai, aku bingung harus melihat yang mana.

“Nai, aku pergi dulu, mau ke-lantai dua. Nanti kalau akan pulang, panggil saja aku.” Kata Nia pada Nai sambil berlari.

“Safa, apakah kamu suka dengan pemandangan ini?” tanya Nai tanpa memedulikan Kanisan.

“Suka, sangat suka. Belum pernah aku melihat lukisan sebanyak ini. Bahkan, pada pameran seni kami tidak pernah ada lukisan sebanyak ini.” Kataku kagum.

Mataku masih mengitari seluruh dinding ruangan, memandangi lukisan yang tidak kunjung habis. Tinggi dinding ruangan itu mungkin lebih dari 100 meter. Bisa lebih tinggi bahkan. Sekarang, aku tidak bisa membayangkan lagi berapa tingginya lantai dua nanti. Tidak bisa aku membayangkannya.

Lukisan itu beraneka ragam. Ada pemandangan alam, pegunungan, lautan, manusia dengan aneka wajahnya, bahkan lukisan kartun juga ada. Dan masih banyak lagi lukisan yang aku tidak mengetahui isinya. Bahkan, lebih dari ribuan lukisan yang bergambar simbol, seperti lukisan yang berada pada dinding rumah Nai.

“Lalu apa yang akan kita lakukan disini?” tanyaku pelan pada Nai.

“Mencari mantra pulang untukmu.” Dengan jawaban yang pelan pula.

“Dimanakah kita bisa mencarinya?”

“Diantara jutaan lukisan itu.” Katanya sambil menunjuk lautan lukisan itu.

Aku melongo. Apa? Sebanyak itu kami harus mencari salah satunya? Gila, melihat saja aku sudah kewalahan, apalagi memeriksanya satu persatu. Ini sungguh gila. Sekarang, aku pesimis bisa pulang.

“Tenang dulu, kita tidak akan mencari satu persatu. Kita hanya akan mencari informasi tentang mantra pulang itu. Aku yakin, ada informasi berguna yang bisa kita gunakan untuk mencari mantra pulang.” Jelas Nai padaku.

Kanisan terlihat sibuk sendiri dengan ponselnya, memfoto kanan-kiri, dan entah apa lagi. Banyak sekali manusia disini, hampir tidak memperdulikan antara satu orang dan orang lain, sibuk dengan diri sendiri.

Sekarang Nia entah dimana. Katanya tadi dia pergi menuju lantai dua. Seindah apa lantai dua itu? Aku menjadi tidak sabar, ingin melihat betapa indahnya lantai dua.

“Lantai dua berbeda dengan lantai pertama dari segi isi. Disana, terdapat banyak benda peninggalan sejarah. Bisa jadi, mantra yang kita cari berada pada salah satu benda itu.” Jelas Nai lagi.

Sekarang kemungkinan menjadi sangat lebar. Maksudnya, usaha kami mencari mantra pulang harus sangat ekstra. Tidak boleh mengadakan usaha yang setengah-setengah. Ah, berat juga perjalanan kali ini.

Sekarang, pikiranku jauh menerawang pada rumahku, Bumi. Bagaimana dengan keadaan ibuku? Aku rasa, dia sudah sangat mencemaskan diriku. Sudah hampir empat hari aku tidak pulang, tidak mengirimkan kabar kepada ibuku, juga teman-temanku.

Pasti ibuku sudah menanyakan pada semua teman-temanku. Demikian pula teman-temanku, akan menjawab dengan jawaban tidak tahu. Karena sebenarnya mereka juga tidak tahu. Kesalahan besar memang berada pada diriku. Kenapa aku bisa seceroboh ini?

Sudahlah, itu jangan dipikirkan sekarang. Lebih baik aku memikirkan bagaimana cara mendapatkan mantra untuk pulang secepatnya.

                      

Tuhan, darimana sajakah kau datangkan lukisan ini? Apakah dari jaman sebelum manusia? Atau, semua ini adalah dari tangan manusia?

“Kebanyakan berasal dari peninggalan sejarah. Tapi, tidak sedikit pula lukisan hasil dari seniman masa kini, yang menyumbangkan hasil karyanya kepada Kuil ini.” Jelas Nai.

Sekarang barulah aku percaya bahwa seni itu tidak ada batasnya. Seni, adalah sebuah karya tanpa batasan. Jika ada sebuah teori yang membatasi, itu bukankah sebuah teori yang benar. Demikian, artinya seni itu bebas, untuk mengungkapkan emosional empunya.

“Safa, marilah kita mulai menjalankan misi kita. Keburu malam, kita harus segera keluar dari Kuil ini.” Kata Nai sambil berjalan menuju lantai dua.

Kanisan masih dengan setia mengikuti kami. Dia juga mengusulkan sebuah bantuan, untuk membantu kami menemukan mantra pulang. Aku yakin sebenarnya Kanisan adalah manusia baik. Tapi entah kenapa aku mencium bau tidak baik dari dalam dirinya.

“Kasihan sekali kalian. Baiklah, aku akan membantu kalian menemukan mantra kepulangan.” Katanya pada kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status