Share

Dia Lagi

Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.

“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.

“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.

“Kita-lah.”

“Tidak, hanya srempetan.”

“Sama saja. Kenapa?”

“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”

Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.

“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.

“Tidak, belum ngantuk lagi.”

“Kalau begitu ceritalah!”

“Cerita apa?”

“Kehidupanmu di Bumi.”

“Tidak, tidak ada yang baik dari kisah hidupku.”

“Oh, begitu. Baiklah, lain kali aku akan bertanya lagi padamu.” Katanya sambil mengemudikan moter.

“Ah, sial, kenapa moter merah itu masih saja mengikuti kita?” tanyanya sambil menunjuk moter hitam.

Iya, memang, moter merah dengan lampu hias putih menyala masih mengikuti kami, dari samping. Kenapa dengan dia? Apakah masih dendam dengan kami gara-gara kami meninggalkannya? Mungkin begitu.

“Hati-hati, Safa, pegangan yang erat. Kita akan melakukan manufer lagi.” Kata dia semangat.

“Jangan, Nai, nanti tabrakan lagi.” Aku mencegah.

“Kali ini tidak akan lagi. Aku sudah siap untuk bermanuver.”

Belum selesai dia mengucapkan kata-kata, moter sudah menanjak naik, curam. Aku pegangan erat sekali pada pegangan moter. Ah, Nai sangat keras kepala sekali. Bagamana coba, kalau nanti kami tabrakan lagi? Atau, minimal srempetan?

Kali ini moter merah tidak mau mengalah. Dia, ikut bermanuver bersama kami, dari belakang. Aku melihatnya di layar depan moter, hasil tangkapan dari kamera belakang moter. Gayanya tidak kalah indah dengan kami. Bahkan, dia lebih indah lagi.

“Kurang ajar, dia tidak mau mengalah dengan kita.” Ucap Nai geram.

Nai semakin menjadi-jadi. Moter naik 210 derajat, peganganku tambah erat. Nai ketawa-ketawa riang dari kursi kemudinya. Tidak sampai disitu, tiba-tiba moter putar balik, menanjak dengan kejamnya. Aku hanya teriak-teriak tidak karuan dari kursi belakang.

“Tenang, Safa, kita tidak akan kalah.”

“Bukan itu yang aku risaukan.”

“Lalu apa?” tanya dia.

“Tabrakan...” keras sekali suaraku.

“Tenang saja. Kali ini aku yakin tidak akan tabrakan.” Katanya yakin.

Hampir saja tadi kami menabrak sebuah moter hijau dari belakang. Tapi dengan sigap, Nai mengubhah arah kemudi, menjauh, dan tabrakan tidak terjadi.

Tidak sampai itu saja. Setelah menghindar dari moter hijau, kami hampir saja menabrak moter ungun, dengan lampu hias kuning emas. Tapi, lagi-lagi Nai berhasil menghindar.

Kasihan sekali, moter merah yang mengikuti kami menyerempet moter ungu yang kami lewati. Mungkin, dia kini sudah dipanggil oleh petugas keamanan. Tapi tidak, dia masih mengikuti kami, tidak menghiraukan moter ungu.

Malahan, moter merah mendekati kami dengan menambah kecepatan. Dan, sial, dia berhasil mendahului kami. Bahkan, sekarang dia menghadang jalur laju kami. Sial, kurang ajar sekali dia. Berani-beraninya menghadang kami, batin Nai mungkin.

Terpaksa Nai mengurangi laju moter, dari pada keluar jalur dan nanti dipanggil lagi oleh petugas keamanan. Pelan-pelan, Nai memberanikan diri menyusul moter merah dari samping, kemudian membuka kaca sebelah. Moter juga membuka kaca, sengaja menunjukkan diri.

“Hai, apa kabar?” sapa dia kurang ajar.

Oh, rupanya dia adalah laki-laki yang bertabrakan dengan Nia di rumah makan tadi siang. Apakah masih menyimpam dendam? Dia juga adalah laki-laki yang melihatku dengan sinis. 

“Apa yang kamu inginkan? Kurang ajar.”

“Tidak, aku tidak menginginkan apa-apa, hanya ingin bermain dengan kalian.” Katanya lagi.

“Minggir, dari pada remuk motermu.” Ancam Nai.

“Silahkan, kalau berani dan bisa!” balasnya.

Sepertinya dia tidak takut dengan ancaman Nai. Malahan, moternya semakin lambat melaju.

“Minggir, aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu.” Bentak Nai.

“Sabar, tidak usah membentak aku juga sudah dengar.” Dia ketawa.

“Banyak omong.”

“Mau kemana? Mau ke Bumi? Jauh sekali Bumi itu.”

Ha? Nai dan diriku sama-sama terkejut. Apakah dia asal ucap? Atau, dia sudah mengetahui kalau aku adalah manusia bumi? Aku segera menutup kaca, agar tidak terlihat.

“Hei, kenapa manusia bumi itu menutup kaca? Apakah takut? Tenang saja, aku bukanlah manusia jahat.” Katanya setelah melihat kacaku tertutup.

“Dia mengetahuimu.” Nai berkata padaku.

Benar, dia benar-benar mengetahui kalau aku adalah manusia Bumi. Apakah dia petugas keamanan? Gawat, kalau dia adalah petugas keamanan aku bisa mati sekarang.

“Cepat, katakan apa yang kamu inginkan?” bentak Nai lagi.

“Sabar, mungkin kita bisa bicara baik-baik.” Katanya.

“Tidak bisa, aku terlalu buru-buru.”

“Bagaimana kalau aku beli manusia Bumi itu dengan sepuluh harga moter?” tawarnya.

Apa? Dia ingin membeliku? Kurang ajar sekali. Manusia bukanlah sebuah barang dagangan. Dahulu saja, ketika perbudakan masih banyak terjadi, Islam datang dan menghapus perbudakan. Apakah dia akan memulai perbudakan lagi? Kurang waras.

“Untuk apa?” tanya Nai.

“Aku sedang menulis sebuah penelitian manusia Bumi. Jadi, bisa-lah kita bekerja sama.” Katanya.

Ah, kenapa Nai malah menanggapi itu. Apakah dia tergiur dengan uang sepuluh harga moter? Bahaya ini. Lebih baik aku lompat saja sekarang dari moter.

“Baiklah, bisakah sekarang kamu berhenti pada suatu tempat, dan kita bicarakan baik-baik?”

Sial, benar, dia akan menjualku.

Aku membuka kaca lebar-labar. Bersiap melompat. Tapi sial, Nai mengetahui apa yang aku lakukan.

“Apa yang kamu kerjakan, Safa?”

“Aku ingin pergi, kamu jahat.” Kataku keras.

Dia ketawa, “Kamu salah paham. Aku akan mencarikanmu jalan pulang. Aku akan bertanya dengan dia soal mantra mengantarmu pulang. Jangan berpikiran negatif dulu.”

Jadi begitu. Benarkah demikian?

Kami berhenti pada sebuah tempat yang tidak terlalu ramai. Kedai minuman. Nia juga sudah bangun, dan bingung dengan apa yang terjadi.

“Bagaimana? Apakah kurang uang sepuluh harga moter?”

Kami mengambil tempat duduk beriringan, satu meja dengan empat kursi.

“Kenapa manusia ini kamu ajak keluar?” tunjuk dia padaku.

“Kakinya sedang sakit, tidak akan berlari.” Kata Nai sambil melirik padaku, mengedipkan satu mata.

Baiklah, aku akan menunggu rencana apa yang akan Hanai lakukan. Mungkin, ini langkah awal untuk mencari mantra kembali pulang.

“Bagaimana, apakah bersedia melepaskan?” tanya dia lagi mendesak.

“Proyek apa sebenarnya yang sedang kamu lakukan?” tanya Nai serius.

“Aku sedang melakukan penelitian mansuia Bumi. Apakah kamu sudah mendengar tentang adanya populasi manusia di Bumi?” tanya dia lagi.

“Iya, aku sudah lama mendengar. Bahkan, sebelum berita mengabarkan aku sudah pernah melihatnya.” Jelas Nai.

“Apa maksudmu?” tanya dia heran.

“Aku adalah penjelajah dunia.” Kata Nai sangar.

“Oh, begitu. Hebat sekali.” Antusias.

“Lanjutkan ceritamu!” perintah Nai.

“Baiklah. Jadi, populasi manusia bumi telah menyebabkan banyak sekali kerusakan. Bahkan, beberapa tahun yang lalu, mereka mengirimkan alat berbahaya menuju Mars, membuat banyak kehidupan disana punah.”

Nai sepertinya juga tahu dengan hal ini. Apa benar manusia Bumi melakukan demikian kerusakan?

“Jadi, aku adalah salah satu ilmuwan. Ambisiku besar, mencari jalan keluar untuk menghentikan mereka. Paling tidak, untuk mensirnakan mereka, menyisakan beberapa manusia saja. Entah itu dengan mengirimkan wabah, bom, atau apalah nanti.” Dia berhenti sejenak.

“Nah, aku memerlukan satu contoh manusia sehat dari sana, untuk uji coba. Kebetulan, kamu mempunyai manusia ini, yang aku ingin membelinya.”

“Apakah kamu akan membunuhnya?” tanya Nai.

“Tidak, aku tidak akan sampai membunuhnya. Aku hanya akan menguji coba beberapa sel tubuhnya, organ-organ, serta cara manusia bumi berpikir. Nanti setelah selasi, aku akan kembalikan dia dalam bentuk mayat.” Lanjutnya.

“Mati berarti?”

Dia hanya ketawa, tidak menjawab.

“Tidak, aku tidak akan memberikannya padamu hanya dengan sepuluh harga moter.” Nai lagi.

“Lalu berapa yang kamu inginkan?” balasnya.

“Tidak, aku tidak akan menjualnya dengan uang.”

“Lalu, apa yang kamu inginkan?”

“Seberapa luas pengetahuanmu tentang planet Kulstar? Dan seberapa luas pengetahuanmu tentang bumi?” entah apa sebenarnya yang diinginkan Nai.

“Kamu masih meremehkanku? Apakah aku belum memberitahukan bahwa aku adalah ilmuwan?” dia tersinggung.

“Maaf, bukan aku tidak percaya. Tapi, aku juga mempunyai proyek tersendiri dengan manusia Bumi.”

Apa sebenarnya yang Nai inginkan dari pertemuan ini? Apa proyek yang ingin dia jalankan denganku?

“Bagaimanapun aku harus tetap menghargaimu. Apakah kita bisa bekerja sama?” kata laki-laki itu mencari jalan tengah sepertinya.

“Apakah kamu bisa membantuku?” tanya Nai.

“Lalu apa yang akan aku peroleh jika membantumu?”

“Aku akan memberikan manusia ini padamu.” Kata Nai sambil menunjukku.

Ha? Yang benar saja. Apakah dia akan memberikanku pada laki-laki tidak tahu diri ini? Rasanya aku ingin segera berlari dari mereka semua.

“Apa yang kamu lakukan, Nai?” tiba-tiba Nia ikut bicara.

“Kamu diam dahulu, Nia.” Perintahnya.

“Tapi kamu sudah kelewat batas, Nai.” Nia tidak dapat diam.

“Diamlah, aku sedang berusaha dengan jalanku.”

Seakan paham dengan bahasa Nai, Nia diam, tidak protes lagi.

“Bagaimana?” tanya Nai lagi pada laki-laki.

“Baiklah, katakan apa yang bisa aku lakukan untukmu!”

“Bisakah kamu melewatkan kami menuju Kuil Damsaqie?”

Dia berpikir sejenak. Memutar kepala, melihat belakang. keadaan masih ramai.

Lelaki yang mengaku sebagai ilmuwan itu melirihkan pembicaraannya. Jadi, aku harus memasang telinga dalam-dalam agar tidak kehilangan momen bicara.

“Begini, kalau membawa manusia Bumi aku tidak menjamin kalian bisa sampai. Aku sarankan agar kalian melewati jalan ilegal saja.” Itu bunyinya.

“Kalau ide itu, bayi yang baru lahir juga sudah tahu.” Balas Nai ringan.

“Ah, keras kepala sekali kau. Aku sangat tidak menyarankan kamu melewatinya.” Ulangnya lagi.

“Tuan ilmuwan yang terhormat, aku tidak membutuhkan saranmu. Tapi aku lebih ingin membutuhkan bantuanmu.” Kata Nai dengan nada penuh penekanan.

“Baiklah, maaf, sebentar, ijinkan aku berpikir.” Lalu dia diam.

“Cepat, mataku sudah terlalu berat.” Nia tidak sabaran.

Memang sekarang sudah sangat larut malam. Tidak sebaiknya kami duduk disini, sangat mengantukkan. Tapi demi jalan pulang, aku akan menunggu, sabar.

Akhirnya orang itu kunjung buka mulut.

“Begini,” melihat Nai, “Pasti kalian tengah mencari mantra untuk pembedahan.” Tebaknya.

Nai mengiyakan? Iya, dia mengiyakan. Apa sebenarnya yang ingin dia lakukan kepadaku? Pakai mantra pembedahan segala.

“Nah, kalau begitu aku bisa menyelundupkan kalian. Tenang saja, kalian akan aman sampai sana. Setelah mendapatkan mantra pembedahan, jangan lupa berikan aku catatannya. Aku juga ingin belajar.” Jelasnya semangat.

“Apakah kamu yakin bisa menyelundupkan?” tanya Nai serius.

“Bisa, sangat bisa. Dengan syarat manusia Bumi berada dalam moterku.”

“Ha? Tidak. Bagaimana kalau nanti kamu membawa dia pergi dari kami?” Nai menolak.

“Hanya itu yang bisa aku lakukan selain melewati jalan ilegal.” Katanya dadar.

“Memangnya ada apa dengan motermu sehingga berani melewati petugas keamanan?” Nai mencari penjelasan.

“Ada sebuah ruang rahasia dalam moterku. Ruang itu hasil dari penelitianku sendiri. Tidak ada yang punya selain diriku.” Dia bangga dengan moternya.

“Baiklah. Tapi aku akan tetap bersamanya. Apakah kamu tidak bersedia?” tanya Nai lagi.

“Lalu siapa yang akan mengemudikan motermu?”

“Adikku.”

“Baiklah, tidak masalah. Silahkan masuk dalam moterku.”

Sampai situlah perbincangan kami malam itu. Menghasilkan sebuah keputusan yang kalian bisa simpulkan sendiri.

Aku dan Nai memasuki ruangan moter laki-laki itu, yang kemudian mengakukan diri bernama Kanisan.

“Apa jaminan untuk meyakinkanmu bahwa kau tidak akan membawa kami kabur, Kanisan?” tanya Nai lagi sebelum kami benar-benar masuk kedalam moternya.

“Apa yang kau inginkan, manusia keras kepala?”

“Berikan kartu pendudukmu!”

Tanpa keberatan Kanisan memberikan kartu penduduknya kepada Nai. Lalu, Nai keluar dari moter, memberikan kartu yang mirip dengan KTP itu kepada Nia. Aman sudah menurutnya.

“Kalau aku dan Safa tidak kembali, atau dia bawa kita kabur, laporkan dia pada petugas keamanan dengan tuduhan pencurian!” isyaratnya pada Nia.

“Baik, siap laksanakan!” jawab Nia dengan memberi hormat.

Baiklah, perjalanan kami akan berlanjut lagi. Adakah ini memang jalan terbaik untuk kami? Apakah Kanisan benar-benar orang yang baik? Kita akan mengetahui bersama dalam perjalan kali ini.

Aku dan Nai naik moter lewat pintu kedua. Lalu, Kanisan mengikuti kami masuk dari pintu pertama.

Sedangkan Nia, aku meliatnya dari kaca, juga telah  masuk dalam moter kami sebelumnya. Sepertinya dia tidak merasakan beban pada perjalanan ini. Atau bahkan, tidak ada yang harus dikhawatirkan sama sekali.

Pelan-pelan moter yang kami naiki, yang dikemudikan oleh Kanisan, pelan-pelan berjalan. Mula-mula moter berjalan menggunakan roda biasa, memutari halaman parkiran. Setelah itu, moter mengangkat diri, mengudara dengan kecepatan standar.

Aku khawatir dengan Nia. Apakah dia benar-benar bisa mengendalikan moter miliknya, sendirian?

“Tenang saja. Dia sudah terbiasa mengemudikan moter sendirian. Aku yakin dia sekarang malah senang tidak karuan.” Kata Hanai setelah aku bertanya.

Dengan mendengar kata-kata itu aku sekarang menjadi yakin bahwa perjalanan akan lancar jaya. Sepertinya aku harus lebih mengkhawatirkan diriku sendiri.

“Dimana ruang rasahasianya, Kanisan?” Nai bertanya tidak sabaran.

Kanisan tertawa, lalu menjawab, “Sabar anak muda, perjalanan masih lumayan jauh. Nanti, jika sudah mendekati pos pemeriksaan saja aku akan menunjukkannya.” Begitu.

Hanai terlihat tidak tenang, melihat kiri-kanan, entah apa yang dia harapkan. Matanya sebentar-sebentar melihat jalur lintasan, mungkin samar kalau kita tidak berjalan menuju Kuil Damsaqie. Begitu juga aku. Tapi, aku masih bingung dengan apa yang harus aku lakukan sekarang.

Tidur? Tidak, sangat tidak disarankan. Aku disini sedang menjadi sasaran, tidak baik kalau aku tidur. Bertanya-tanya? Soal apa yang akan aku tanyakan? Pada siapa pula?

Ah, pemadangan masih sama dengan ketika aku menaiki moter sebelumnya, moter milik Nai. Moter-moter terbang berhiaskan lampu menyala, kertap-kertip pada badan moter, bahkan wajah depan moter.

Kemudi dialihkan menjadi kemudi otomatis oleh Kanisan. Kecepatan sangat tidak aman. 500km/menit. Sama dengan kecepatan ketika kami merasa diikuti oleh moter Kanisan sebelumnya.

Aku melihat jalur moter pada monitor penunjuk arah, dibagian depan, memang menunjukkan bahwa kami harus berjalan lurus, mengikuti sebuah lintasan hijau. Jadi, tidak masalah jika menggunakan kemudi otomatis.

“Kanisan, apa kamu tidak salah arah?” tanya Nai tiba-tiba.

“Tidak, aku sudah sangat hapal dengan jalanan kota ini. Sekarang, lintasan yang kita lewati bukan jalur biasa, akan lebih cepat.” Jelasnya.

“Kalau kalian ngantuk, tidurlah. Kita akan sampai besok pagi, sekitar pukul delapan.” Kanisan menambahi.

“Safa, tidurlah.” Perintah Nai padaku.

“Tidak, nanti saja. Kamu kalau mau tidur, silahkan tidur. Pasti kamu lelah, tadi siang, kan, mengemudi sendiri.”

Nai tidak menjawab, juga tidak tidur. Dia, masih diam dalam kursinya. Mulutnya terlihat begerak-gerak, seperti membaca sebuah mantra.

Tidak lama setelah bibir itu bergerak, membaca mantra, di tangannya sekarang terdapat dua bungkus makanan. Bukan, itu bukan makakan berat, tapi lebih mirip dengan makakan ringan.

“Ini...” dia memberikan salah satunya padaku.

Aku membaca sejenak nama makanan ringan itu. Namanya anti ngantuk. Ah, apakah ini yang dinamakan dengan makanan anti ngantuk? Orang yang memakannya, akan bisa bertahan terjaga selama lebih dari satu bulan. Setelah itu, akan mengalami tidur panjang selama satu bulan juga. Mungkin, semacam siklus hidup yang dialami oleh beruang kutub untuk bertahan pada musim salju.

“Agar tidak ngantuk.” Tambahnya lagi.

Segera aku menerimanya. Kanisan melirik ke belakang, mendengar apa yang Nai katakan padaku.

“Aku juga mau, anak muda.” Kata Kanisan.

“Ambil sendiri.” Jawab Nai.

“Dimana?”

“Bumi.” Dan Nai tertawa.

Mungkin sekarang Kanisan sedang jengkel. Bagaimana tidak, dia hanya mendengarkan aku dan Nia berbincang, tanpa dia ikut mengeluarkan suara.

Akhirnya, Kanisan membunyikan musik keras-keras. Tapi, nyaman juga untuk menemani perjalanan aneh seperti ini. Lumayan, indah juga lagu disini.

Meskipun aku tidak paham bahasanya, rasanya alat musik yang mereka gunakan hampir sama dengan alat musik kami di Bumi. Jadi, aku masih bisa menikmati irama alat musiknya.

Terpaksa aku dan Nai berhenti bicara, tidak bisa mendengar suaranya. Kini, aku merenungi suara musiknya, bukan lagu.

Tidak terasa, saking indahnya suara musik, mataku hampir terpejam. Makanan ringan aku taruh pada kursi, sebelahku. Tidak, kali ini aku benar-benar memejamkan mata. Tertidur.

Sungguh nyaman sekali moter ini. Bayangkan, meskipun terbang dengan kecepatan sangat tinggi, aku tidak merasakan adanya getaran sama sekali. Bahkan, ketika menggunakan kemudi manual, getaran akan terasa jika berganti arah, berbelok.

Aku tidur dengan pulasnya. Hanai melihatku, memerhatikan. Lalu, membenahi rambutku yang berantakan. Satu hari ini aku belum mandi sama sekali. Hanya satu kali mandi, pagi sebelum kami berangkat.

Nai terlihat masih memegang rambutku menatanya. Tangan itu nyaman, tidak seperti kebanyakan tangan manusia, kasar. Pelan-pelan, dia mengelus rambutku, tidurku semakin pulas.

Demikian, aku tidur dalam belaian tangan Nai. Nyenyak sekali, sampai esoknya aku baru bangun, ketika akan melewati pos pemeriksaan Kuil Damsaqie. Aku dibangunkan oleh Nai. Aku melihat matanya, merah, menahan rasa ngantuk. Sedangkan Kanisan, biasa saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status