Matahari telah sepenuhnya, meninggalkan langit hingga menjadi gelap total. Namun, Ella masih duduk di pantry yang remang-remang itu. Ia meletakkan kepalanya di atas meja dengan mata terpejam dan kening berkerut. Lessa sudah tidak lagi bersamanya sejak panggilan teleponnya berdering dan dia bilang tugasnya memangil. Kini ia hanya ditemani oleh pikirannya yang rasanya hampir pecah saking banyaknya yang ia pikirkan sejak mendapat informasi gelap dari Lessa. Perasaannya kini sudah tidak keruan, tidak terdeskripsikan. Kini ia menyesal bertanya macam-macam pada Lessa. Rasa penasarannya memang terkadang bisa membuatnya menggali kuburannya sendiri. Penjelasan Lessa masih terngiang-ngiang di benaknya. Ia merasa hidupnya sudah sangat jauh dari kehidupan yang dikenalnya. Namun, tidak ada jalan untuk mundur, tidak ada jangan untuk keluar. Ia terjebak dan inilah konsekuensi yang harus ia tanggung karena telah memilih Lorenzo. Tangannya tergerak mengacak-acak rambutnya frustrasi. Segala hal
Tubuh Ella menegang. Matanya membulat menatap Lessa. Jantung Ella mulai berdetak lebih cepat. Matanya sontak memperhatikan sekelilingnya. Khawatir jika ancaman yang dimaksud Lessa ada di dekat mereka. Lessa tersenyum tipis melihat reaksi Ella, seolah sedang mengejeknya. “Ada masalah dengan pesaing, Ella. Persaingan bisnis yang sudah berlangsung puluhan tahun, diwariskan dari generasi ke generasi. Kami mencoba mengatasinya dari jauh, tapi ternyata tidak berhasil. Keadaannya semakin buruk, mereka semakin berani karena mereka mengira kami akan terus bersembunyi.” Lessa menatap Ella tenang, seolah mencoba menepis kekhawatiran Ella. “Tenang saja, kupastikan kau aman bersama kami. Jangan ragukan kemampuan bertahan hidup kami yang sudah terasah sejak kami sekolah dasar.” Gadis itu menatap Ella yang wajahnya masih tegang sembari bertopang dagu. “Lorenzo dan Alfonso sedang menangani maalah langsung di lapangan saat ini. Sedangkan aku bekerja di balik layar. Bergerak ketika diminta, biasan
Sinar matahari sore berwarna keemasan menembus kaca-kaca jendela mobil ketika Ella dan Lessa tiba di pelataran rumah yang megah. Supir dan beberapa pelayan berseragam rapi bergegas membawakan kantong-kantong belanja dari berbagai brand terkenal. Begitu banyak, hingga tidak cukup dibawa menggunakan kedua tangan mereka. Alhasil mereka harus bolak-balik beberapa kali untuk mengangkut semuanya dari bagasi. Ella berjalan berdampingan dengan Lessa menuju dapur yang didominasi warna putih dan cokelat. Ia membuka kulkas berukuran besar dan mengambil dua botol air mineral dingin serta sekotak stroberi segar yang tersisa dari sarapan pagi. Ia meletakan botol itu di atas pantry dan duduk berdampingan dengan Lessa, mengistirahatkan kaki mereka yang pegal setelah berkeliling mal lima lantai. Lessa meraih botol mineral itu dan meneguknya. Matanya menatap Ella yang sedang menikmati stroberi. “Aku senang sekali Lorenzo membawamu ke sini dan memperkenalkanmu padaku, Keadaan jadi tidak membosa
“Aku tidak mengerti, apa maksudmu?” balas Ella dengan suara bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya. Namun, gadis itu malam semakin mendorong moncong sejata hingga kepala Ella terdorong ke belakang. “Jangan pura-pura tidak tahu. Jawab aku. Siapa kau, dan mau apa kau?” bentak gadis itu, tatapannya tajam dan tidak sekalipun berkedip. “Sentuh dia kau akan mati di tangan Lorenzo.” Suara berat itu mngintrusp ketengan di antara kedua wanita itu. Ella menoleh ke ambang pintu, keningny berkerut mendapati sosok Alfonso sedang menyeruput kopi di tangan kanannya sambil menatap mereka dengan ekspresi tenang seolah pemandangan senjata terhunus adalah hal biasa baginya. “Turunkan senjatamu, anak kecil. Sebelum Lorenzo mengamuk, dia sangat sensitif jika menyangkut wanita ini,” tegurnya lembut. Gadis itu yang tampang begitu galak sebelumnya, kini ekpsresinya berubah heran. Ia perlahan menurunkan pistolnya. Ella akhirnya bisa bernapas
Sisilia, Italia Pesawat mendarat di bandara Italia, namun perjalanan mereka belum berakhir. Rumah keluarga De Luca terletak jauh dari hiruk-pikuk kota, tersembunyi di antara perbukitan yang hijau dan kebun anggur. Ella duduk di samping Lorenzo, tubuhnya lelah setelah penerbangan panjang. Tanpa sadar, kepalanya perlahan bersandar ke bahu bidang pria itu. Napas Ella mulai teratur, ia telah tertidur lelap. Lorenzo meliriknya, hatinya berdesir melihat wajah damai gadis itu. Tangannya tergerak menarik pinggang Ella, mendekatkan tubuh gadis itu dengan tubuhnya hingga Ella hampir berada di pangkuannya dan hidung gadis itu menyentuh lehernya. Tangan gadis itu tergeletak di paha Lorenzo. Tatapan mata Lorenzo melembut menatap wajah damai gadis yang telah menjungkir balikkan dunianya. Jari-jarinya bergerak perlahan, menyingkirkan helai rambut cokelet yang menutupi wajahnya. Ia mengusap pipi Ella dengan sentuhan lembut, berhati-hati agar gadis itu tidak bangun. Dengan lembut Lorenzo
Lorenzo menipiskan bibirnya, ekspresinya yang lembut jadi keras mendengar tuduhan Ella yang tidak berdasar. “Bukan,” jawab Lorenzo dengan tegas, tanpa ragu. Ella terkejut, matanya membola. Ia mencoba mencari-cari kebohongan atau keraguan dalam tatapan mata Lorenzo. Namun, tatapan tegas Lorenzo yang menatapnya tepat di matanya, tanpa berkedip, penuh keseriusan, berhasil mematahkan praduganya sendiri. “Justru karena aku tidak ingin kau memakai parfum dengan aroma yang sama dengannya. Seline juga menyukai parfum dengan aroma fruity dan floral karena itu aku ingin kau memakai parfum dengan aroma yang berbeda—aroma yang hanya akan kuingat sebagai aromamu.” Ella merasakan tenggorokannya tercekat. Jawaban itu tidak pernah ia duga. Selama ini ia pikir Lorenzo memaksanya memakai parfum itu karena menginginkannya menjadi seperti Seline, namun ternyata alasannya adalah kebalikannya. “Aku memperhatikanmu, Ella, setiap detail tentang dirimu bahkan latar belakang dirimu, aku tahu semua