Senja di Oklahoma menyambut kepulangan Ella. Gadis itu melangkah turun dari mobil dengan gerakan yang kaku, setiap sendi tubuhnya seolah menahan beban yang tak terlihat. Ia berjalan menuju pintu masuk dengan langkah gontai karena kelelahan emosional. Wajahnya pucat, matanya sembab. Lorenzo berdiri di sampingnya dengan postur tubuh yang tegap. Matanya yang gelap memindai setiap sudut rumah dengan kewaspadaan. Tangannya bertumpu lembut di punggung Ella, memberikan dukungan tanpa kata. Suara langkah kaki terdengar samar-samar. Thomas muncul menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Wajah pria baya itu langsung tegang ketika melihat Lorenzo. Dahinya berkerut, rahangnya mengetat, tatapannya dingin. Lorenzo tentu menyadari pandangan menusuk dari Thomas. Ia bisa merasakan bahwa pria itu sedang menimbang-nimbang apakah ia layak untuk berdiri di rumahnya. Di belakang Thomas, Karen muncul dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan mendalam. "Ella?" Karen memangg
Pertanyaan itu bagaikan belati tajam yang menusuk tepat ke jantung Lorenzo. Namun, Lorenzo tidak menunjukkan keputusasaan dan rasa sakitnya di depan Ella. Lorenzo mengangkat dagu Ella dengan lembut. Ia mengecup singkat kening Ella. "Aku akan membuat kenangan baru bersamamu yang lebih indah. Aku akan membuatmu mencintaiku lagi dengan setiap detik kebersamaan yang kita ciptakan. Jika masa lalu tidak bisa kembali, kita akan menciptakan masa depan yang jauh lebih indah dan penuh warna.” Keteguhan dalam suara Lorenzo membuat hati Ella berdebar tidak stabil. Ada sesuatu dalam tatapan mata pria itu yang membuatnya merasa aman meskipun dunianya sedang hancur. Namun, ketukan keras di pintu memecahkan momen haru merema. Sebelum Lorenzo sempat mengeluarkan sepatah kata, pintu sudah terbuka. Alessio menerobos masuk dengan wajah tegang. "Maaf mengganggu," kata Alessio tegas. "Daren menerobos masuk. Menuntut untuk bertemu Ella. Keamanan hampir tidak bisa menahannya." Nama itu menghan
"Ella, aku paham kau mungkin telah kehilangan kepercayaan padaku, apalagi di keadaanmu sekarang, di mana aku tidak ada di dalam ingatanmu," ucap Lorenzo, lembut meski suaranya bergetar halus. "Aku tahu kau tidak akan percaya saat aku hanya mengatakan bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Daren padamu, bahwa aku berbeda darinya." Lorenzo melanjutkan, sembari membelai rambut Ella. "Tapi izinkan aku membuktikan bahwa tidak semua pria seperti Daren. Izinkan aku menunjukkan padamu bagaimana seharusnya seorang wanita dicintai dan dihargai." Lorenzo perlahan melepaskan pelukan mereka, kemudia menangkup pipi Ella tang pucat agar menatapnya. Matanya yang kelam menatap lekat-lekat mata cokelat Ella yang masih bergelimang air mata. Ada sesuatu dalam tatapan Lorenzo yang membuat dada Ella terasa hangat. "Berikan aku waktu. Biarkan aku membuktikan dengan tindakan, bukan hanya dengan kata-kata," ucap Lorenzo penuh keyakinan. Jemarinya bergerak m
"Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mempercayai seseorang lagi, bagaimana caranya membuka hati." Kata-kata itu keluar dengan susah payah, setiap hurufnya terasa seperti bongkahan batu di tenggorokannya. Ella menatap wajah Lorenzo dengan pandangan yang kosong.Namun di dalamnya tersimpan rasa takut yang mendalam. Takut untuk membuka hati lagi, takut untuk mempercayai lagi, takut untuk mencintai lagi.Mata cokelatnya yang sembab bertemu dengan mata Lorenzo yang penuh dengan kekhawatiran menyadari tindakannya lebih parah dari yang ia duga. Betapa hancurnya kepercayaan diri gadis itu, betapa dalam luka yang mengoyak jiwanya. Lorenzo merasa tercekat, merasa seperti sedang menggali kuburannya sendiri sekarang. Ia menahan diri untuk tidak berteriak mengatakan bahwa ia bukan Daren. Ia ingin mengatakan bahwa ia bisa menjadi tempat yang aman untuk Ella, bahwa pelukannya bisa menjadi rumah yang paling nyaman di dunia. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia bisa menjadi obat unt
Sinar matahari pagi menembus celah-celah tirai tebal membelah kegelapan kamar. Mata Daren terbuka perlahan, kelopaknya mata terasa berat. Kesadarannya kembali secara bertahap, kepalanya terasa berdenyut. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya terfokus. Matanya membelalak terkejut mendapati suasana kamar yang berantakan. Pakaiannya berserakan, kemeja putihnya tergeletak tidak di lantai, jasnya ada di tepi meja nakas. Sepatu kulit terlempar begitu saja di sudut ruangan. Aroma parfum manis namun asing itu menusuk hidungnya. Detik pertama, kebingungan melanda pikirannya. Lalu ingatan-ingatan semalam mulai bermunculan yang membuat dadanya berdegup cepat. Kesadarannya mulai utuh, kepanikan melandanya. Daren bangkit terduduk dengan gerakan tergesa-gesa, tubuhnya hanya terbalut celana boxer. Dadanya yang telanjang naik turun dengan napas tidak teratur. Ia ingat wajah wanita dengan rambut bergelombang—Anne, yang mengantarnya pulang, yang menawarkan bantuan ketika langkah kakinya go
Awan tebal yang menghalangi cahaya bulan menembus kaca jendela suite mewah. Lorenzo berdiri tegak di hadapan jendela besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit. Matanya yang tajam menatap ke arah cakrawala yang gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuh, rahangnya mengeras menahan ketegangan yang memenuhi dadanya. Ia merasakan tekanan yang luar biasa di dadanya, antara antisipasi dan kegelisahan. Otaknya terus berputar, memikirkan setiap detail rencana yang telah tersusun. Apakah semua akan berjalan sesuai keinginannya? Apakah Ella akan datang padanya? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya Di belakangnya, Lessa duduk dengan anggun di sofa, kakinya yang jenjang dilipat santai sambil sesekali menyeruput wine. "Tenang saja, Lorenzo," ujar Lessa dengan suara yang lembut namun penuh kepastian. "Percayalah padaku. Rencana kita sempurna. Daren sudah terjebak dalam perangkap yang kita buat. Sekarang tinggal menunggu Ella mengetahui kenyataan tentang tun