Gabriella Jovianne tidak tahu apakah keberuntungan ataukah kesialan bahwa dirinya menjadi satu-satunya perempuan yang diinginkan oleh seorang miliarder, Lorenzo De Luca. Ia terperangkap dalam obsesi Lorenzo yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ella telah terikat dengan pria lain dan hatinya telah memilih pria lain. Obsesi Lorenzo melampaui batas-batas normal, membuatnya rela menempuh segala cara untuk mendapatkan Ella, bahkan dengan cara yang tidak bermoral sekalipun. Setiap langkah Ella untuk melepaskan diri dari Lorenzo justru semakin mempererat hubungannya dengan Lorenzo. Sebuah hubungan yang penuh ambiguitas, antara penolakan dan ketertarikan. Setiap pertemuan dengan Lorenzo adalah sebuah medan perang antara perasaan dan logika. Di mana batas antara cinta dan kebencian nyaris tidak terlihat. “Aku tidak akan pernah menjadi milikmu, Lorenzo.” - Gabriella Jovianne. “Dan aku akan membuatmu menarik kata-katamu itu, Sayang.” - Lorenzo De Luca.
Lihat lebih banyakBasseterre, St. Kitts and Nevis
“Kupastikan kau tidak akan mengabaikan hadiahku lagi kali ini, Gabriella Jovianne.” Pesan itu lagi. Tangan kanan Ella mencengkram kuat ponselnya ketika ia membaca sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Sedangkan tangan kirinya mencengkram buket bunga di pangkuannya. Rahangnya mengetat, dengan jengkel ia menghapus pesan itu. Daren—tunangannya—yang sedang mengemudi menoleh heran padanya yang tiba-tiba menjadi pendiam. “Ada apa?” tanyanya lembut. Ella menarik napas sembari memasukkan ponsel ke dalam tas bahunya, kemudian kepalanya menggeleng pelan. “Aku dapat pesan dari nomor tidak dikenal.” Pria itu mengernyit heran, fokusnya dalam mengemudi menjadi terbagi. “Lagi? Kau yakin itu dari orang tidak kau kenal?” Ella terdiam, ada satu nama yang terbesit di otaknya. Seorang pria yang pernah hadir di masa lalunya. Namun, ia terlalu membencinya hingga mengucapkan namanya saja pun ia enggan. “Entahlah, aku malas menebak-nebak,” balasnya lesu sembari bersandar pada jendela. Jujur saja, gadis itu memikirkan hadiah apa yang dimaksud oleh pengirim pesan itu. Tiba-tiba ia merasakan tangan Daren bertumpu di punggung tangannya. Ibu jarinya mengusap lembut, sedikit memberikan ketenangan. Suasana di dalam mobil pun hening hingga mobil hitam itu tiba di depan pelataran luas dari villa mewah lantai dua. Daren turun dari mobil kemudian membukakan pintu untuknya, lalu mengantarkannya sampai ke depan pintu villa. “Terima kasih untuk hari ini. Kau sudah melakukan banyak hal untuk membuatku senang. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan semua kebaikanmu,” kata Ella sembari memberikan pelukan singkat. “Tidak perlu berterima kasih, Ella, bahagiamu juga bahagiaku.” Daren mendekatkan diri pada Ella dan memberikan ciuman lembut di dahinya. Ella mengangguk lalu perlahan melepaskan genggamannya dengan Daren. “Baiklah, sampai jumpa besok.” “Ella, tunggu, aku punya sesuatu untukmu,” kata pria itu, membuat satu alis Ella terangkat. “Bisakah kau pejamkan matamu sebentar?” Ella meragu sesaat, tapi matanya terpejam perlahan. Ia merasakan sesuatu yang bergerak di lehernya. Tanpa diperintah, matanya terbuka. Ia menunduk melihat kalung cantik yang melingkar di sana. “Cantik sekali,” pujinya, sembari mengusap liontin kalung itu dengan senyum haru. Binar di matanya kembali lagi. Lupa dengan pesan misterius sebelumnya. “Terima kasih,” katanya penuh haru sembari mengusap pipi tunangannya itu. “Aku senang kau suka. Sekarang, masuklah, aku akan pergi setelah kau masuk,” balasnya sembari mengusap kepala gadis itu. Ella melambaikan tangan dengan senyum manis. Setelah Daren membalas lambaian tangannya, ia menutup pintu. Begitu tiba di dalam kamar, ia melempar tas dan bunga ke atas ranjang, lalu pergi ke meja rias dan menatap pantulan dirinya pada cermin. Tangannya tergerak menyentuh liontin berbentuk bunga matahari, di tengahnya terdapat batu zamrud kecil berwarna hijau itu. Ini adalah perhiasan pertama yang ia dapat dari Daren, teman masa kecilnya yang sekarang menjadi tunangannya. Kalung ini terasa begitu spesial. Mungkin, ini karena efek jatuh cinta. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya yang mengaburkan lamunan Ella. Ia beranjak membuka pintu, tersenyum tipis kepada pelayan yang berada di hadapannya. “Maaf mengganggu istirahat anda, Nona, barusan ada seorang kurir yang memberikan ini untuk, Nona,” ucap Mariah sembari menyodorkan sebuah kotak. Kening Ella berkerut menatap kotak kecil berwarna hitam yang berbalut pita merah. “Kurir? Di jam segini?” tanyanya heran karena ini sudah cukup malam dan tidak ada kurir yang bekerja selarut ini. Meskipun heran, ia mengambil barang itu. “Terima kasih,” katanya lalu menutup pintu dan duduk di sisi ranjang. Mata cokelatnya mengamati kotak hadiah itu, tidak ada nama pengirimnya. Namun, terlintas Daren di otaknya, ia tersenyum senang karena percaya bahwa pria itu yang memberikannya hadiah, lagi. Dengan antusias ia membuka kotak hadiah tersebut. Namun, begitu melihat isinya, senyumnya hilang. Wajahnya berubah pucat dan pupil matanya membesar. Isi di dalam kotak itu bukan sebuah hadiah yang ia bayangkan. Tangannya gemetar hebat hingga kotak itu terjatuh dengan bunyi gemeretak yang keras. Isi di dalam kotak itu tercecer di lantai. Sebuah cincin perak menggelinding ke arahnya. Cincin perak yang menjadi bukti ikatan pertunangannya dengan Daren itu kini basah oleh noda berwarna merah darah. Gadis itu jatuh tersungkur, ia mundur menjauhi cincin itu hingga punggungnya membentur tembok. Tubuhnya bergetar, air matanya mengalir deras. Ingatannya langsung melompat pada pesan dari nomor tidak dikenal itu. Inikah hadiah yang dimaksud? Mendadak, ia merasa terlempar ke dalam sebuah ingatan masa lalu yang telah ia kubur rapat-rapat. Bayangan wajah seorang pria muncul dalam ingatannya. Wajah tegas, tatapan mata tajam, menyeringai padanya, menyeramkan. Ella ingin berteriak, tetapi suaranya teredam. Perasaan takut membuat tubuhnya tidak berdaya. Suara dering ponsel menyelamatkan jiwanya yang hampir tenggelam dalam bayangan masa lalu itu. Gadis itu merangkak mengambil ponsel di dalam tasnya dengan tangan gemetar. Sebuah telepon masuk dari nomor itu lagi. Dengan terburu dan panik ia menekan ikon berwarna merah berkali-kali hingga sambungan telepon terputus. Tangannya bergulir di atas layar ponsel, berhenti pada nomor kontak Daren. Ia mendial nomor tersebut sambil terduduk di lantai, bersandar di dinding. Air mata masih sesekali menetes di pipinya. “Kumohon angkat teleponmu,” gumamnya harap-harap cemas. Ia menggeram ketika tidak ada jawaban dari seberang telepon. Lalu kembali mendial nomor telepon Daren lagi. Nihil, ia masih tidak mendapat jawaban. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal lagi. Tangannya menekan notifikasi pesan itu. Masuk ke room chat, sebuah video terkirim padanya. Dengan gemetar ia melihat video tersebut. Jantungnya hampir berhenti berdetak. Video tersebut menunjukkan sebuah mobil dalam keadaan terbalik, dengan plat nomor yang sangat ia hafal. Bagian depan mobil itu hancur parah karena menabrak pembatas jalan. Lalu ada satu pesan baru yang masuk ke dalam room chat. “Suka hadiahku, Sayang?” Bunyi pesan itu membuat Ella menjatuhkan ponselnya.Sinar matahari pagi merembes masuk melalui celah-celah tirai tebal, menerangi ruang gimnasium pribadi milik keluarga De Luca. Ruangan luas itu dipenuhi peralatan olahrga seperti matras, ring tinju, samsak, dan berbagai alat olahraga lainnnya. Tercium aroma apek dan pengap yang menunjukkan bahwa tempat ini jarang tersentuh kehidupan. Ella maklum karena rumah ini memang lebih sering menjadi basecamp darurat daripada tempat tinggal. Ella berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi skeptis. Mengenakan kaos abu-abu dan celana legging hitam membalut kaki jenjangnya. Rambut cokelatnya diikat tinggi dengan beberapa helai yang lolos membingkai wajahnya. "Kemarin kau mengajariku menggunakan pistol, sekarang mau mengajariku tinju?" Ella bertanya dengan nada datar sembari menggerakkan tubuhnya untuk melakukan pemanasan. "Apa rencanamu, Lorenzo? Membentukku menjadi petarung atau pembunuh?" Lorenzo yang tengah memeriksa sarung tangan tinju menoleh dengan senyum miring yang penuh makna. Pr
Alfonso terdiam sejenak untuk menarik napas dalam dan menenangkan dirinya. Ia menatap Lorenzo dalam-dalam berharap pria itu mengerti tanpa harus melaki kekerasan dan pertengkaran karena mereka berada di tim yang sama. "Itulah yang harus kita bicarakan dengan sangat hati-hati, Lorenzo. Kita harus membuat rencana yang sematang mungkin. Kita akan membekali Ella dengan peralatan keamanan, seperti kamera tersembunyi, GPS, dan yang lainnya." Lorenzo melipat tangannya di depan dada. Di saat Alfonso mencoba untuk bicara dengan tenang, dengan pikiran yang jernih, tapi Lorenzo masih dengan ketegangan dalam tubuhnya, masih menganggap solusi Alfonso adalah ancaman. "Kita harus mengetahui lebih dulu siapa pengkhianat itu, berapa jumlah mereka. Kau dan aku akan fokus untuk melakukan penyerangan. Lessa akan menjadi koordinator utama yang fokus untuk membawa Ella ke tempat yang aman setelah kita turun." "Bagaimana jika rencanamu gagal?" Lorenzo bertanya dengan suara yang parau. "Maka kita
Ruang tamu itu terasa mencekam di tengah cahaya reman-remang kekuningan. Meskipu remang-remang, cahaya lampu itu menyorot wajah kedua pria yang sedang bersitegang. Lorenzo berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang, punggungnya yang tegap mengarah pada Alfonso. Jari-jari tangannya meremas erat tirai jendela hingga buku-buku jarinya memutih. Alfonso berdiri beberapa langkah di belakangnya, dipenuhi dengan kecemasan karena diamnya Lorenzo yang mencekam. "Tidak ada pilihan lain, Lorenzo," kata Alfonso memecah keheningan. Suaranya yang biasanya tegas kini terdengar rapuh dan penuh permohonan. Ia melangkah lebih dekat, tangannya terangkat menyentuh bahu saudaranya. "Kita membutuhkan bantuan Ella, atau semuanya akan hancur. Bisnis yang telah dibangun ayah kita selama puluhan tahun, keluarga dan hidup kita yang telah kita perjuangkan akan berakhir di sini. Hancur total tanpa tersisa." Lorenzo langsung membalik badannya dengan gerakan yang begitu cepat dan taja
Pintu kamar yang kokoh itu menunjukkan retakan-retakan halus di sepanjang engselnya. Suara hantaman berulang dari luar semakin membabi buta.Tangannya yang gemetar mencengkeram pistol dengan erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan. Telunjuknya masih di pelatuk, siap menariknya kapan saja jika diperlukan. Matanya terpaku pada pintu, tidak berani berkedip sedetik pun, seolah kejapan mata sekecil itu bisa menjadi celah bagi kematian untuk datang. Tubuhnya berdiri tegak, siap menghadapi kemungkinan terburuk jika pintu itu berhasil didobrak. Napasnya tersengal, keringat dingin mengalir di pelipis, bercampur dengan air mata di pipinya. Detak jantungnya bergemuruh, beradu dengan suara hantaman di pintu. Tiba-tiba lampu menyala. Cahaya terang menyilaukan mata membuat Ella terpejam sejenak. Namun, ketika kembali membuka mata, suara gedoran brutal di luar pintu seketika terhenti, meninggalkan keheningan yang malah lebih menakutkan. “Lorenzo, lampunya menyala."" Suaranya bergetar
Kegelapan pekat menelan seluruh rumah dalam sekejap mata. Ella tersentak bangun dari tidurnya. Matanya terbuka lebar, tapi tidak ada yang bisa ia lihat. Hanya kegelapan pekat sejauh mata memadang seolah ia telah berada di dunia lain. Ella tidak pernah bisa tidur nyenyak tanpa adanya sedikit pun cahaya yang menerangi kamarnya. Jantungnya berdetak cepat setiap kali terperangkap dalam situasi gelap gulita seperti ini. Bahkan pendingin ruangan pun tidak berfungsi membuat ruangan terasa pengap dan dadanya terasa sesak. Napasnya mulai pendek dan tersendat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Tangannya tergerak meraba-raba nakas, berusaha menemukan lampu tidur yang biasanya bertengger di sana, menyinari ruangan meski cahaya remang-remang. Dengan gerakan terburu-buru ia mencoba menyalakan lampu tersebut, tapi tidak ada hasilnya. Listri di rumah ini mati total. Ia beralih meraba-raba permukaan tempat tidur dengan gerakan yang semakin panik. Berusaha mencari ponselnya. Dalam kepan
Aroma hangus yang menyengat memenuhi setiap sudut dapur, membuat hidung Alfonso berkerut tidak nyaman. Di atas meja pantry, dua buah cupcake cokelat tergeletak dengan penampilan mengenaskan. Cupcake pertama—hasil karya Lessa—retak-retak seperti tanah kering. Sementara cupcake kedua—milik Ella, tidak lebih baik dari Lessa—warnanya hitam legam seperti arang. Sedangkan sang pemilik maha karya, wajahnya berantakan dengan noda tepung di wajah dan rambutnya. Namun, ekspresi mereka menunjukkan kelegaan karena berhasil menyelesaikan maha karyanya. Suara langkah kaki mendekat terdengar, Alfonso dan dua gadis itu menoleh ke asal suara. Alessio muncul di ambang pintu dapur. Ia refleks menutup hidung menggunakan punggung tangan. Keningnya berkerut dalam. “Astaga, apa baru saja terjadi kebakaran di sini?” tanya Alessio sedikit panik. "Alessio! Kemarilah, cicipi mahakarya kami!” ajak Lessa antusias dengan senyum jahil. Alessio mendekat dengan ragu-ragu. Matanya jatuh pada kedua "mahak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen