Ha! Ha! Ha!Begitu Manda membuka pintu ruangan Raffael, terdengar suara tawa membahana. Sementara itu, Bebby yang mengantarkan teh untuk tamu terlihat terkejut mendengar tawa Damian. ‘Kenapa lagi orang itu? Dia dan Pak Raffael nggak ada bedanya kalau sudah ketemu,’ batin Manda. Ia jadi teringat ucapan Vivian yang mengatakan kalau CEO-nya masih seperti anak-anak muda kebanyakan.“Jangan dekat-dekat Damian, Manda. Dia sedang tidak waras.” Raffael menepuk sisi sofa di sebelahnya, menyuruh Manda untuk duduk di sana.Karena akan membahas terkait rencana mereka menciptakan alibi untuk ke depannya, Manda tak punya pilihan selain menurut.Segera ia membuka laptopnya setelah duduk dan membiarkan Raffael membaca draft yang sudah setengah jalan ia kerjakan. “Jadi, vas mana yang dipecahkan Raffa?” tanya Damian yang masih saja tertawa, walau sudah lebih kecil nada suaranya. Raffael mengedikkan kepalanya ke arah pecahan vas yang masih tersebar di pojok ruangan. “Milik kakek yang dia menang lela
“Cerita apa? Kau ke sini cuma mau curhat?” Raffael terlihat tak terpengaruh dengan pertanyaan yang seharusnya mengejutkan itu. Ia berhasil seratus persen mengelabui sang kakak. Kedatangan Camelia sedikit banyak sudah ia prediksi.Camelia merengut, tak berhasil melihat wajah panik adiknya. “Cih! Nggak seru!”“Berhenti mengganggu pekerjaanku hanya karena kau bosan, Camelia.” Raffael berkata seolah hidupnya tidak punya masalah.Namun, Camelia tidak berniat berpura-pura tidak tahu. “Reinhart bilang kau punya kekasih. Tapi dia nggak yakin apa hubungan itu sungguhan atau pura-pura.”Raffael mendengus sambil tersenyum tipis. “Aku bukan tipe penggosip, Camelia. Berhenti bergosip.”“Apa maksudmu bergosip?!”“Kau bilang suamimu tidak yakin. Jelas kau sedang menggosipkan sesuatu yang tanpa bukti—”“Ini.” Camelia memotong ucapan sang adik sambil membanting beberapa lembar kertas ke atas meja. “Aku punya dokumen perjanjian hubungan kontrakmu dengan perempuan bernama Manda Adinata.”Mendengar itu,
“Ikut saya.”Tanpa menunggu respon Manda, Camelia sudah berbalik menuju pintu keluar. Manda panik. Perasaannya semakin tak enak.Ia berbalik menatap Elena penuh pertanyaan. Namun, belum juga ia bertanya, Elena sudah berkata, “Ikut segera, Manda.”“I–iya, Bu.”Karena sudah mendapat izin dari Elena, setidaknya ia lega mengikuti CEO wanita itu dan meninggalkan pekerjaannya.Tanpa diberitahu, Manda tahu ke mana mereka akan pergi. Ke lantai paling atas, milik CEO seorang. Ia juga bisa menebak apa yang akan mereka bahas, mengingat suami Camelia sudah mengetahui dan memegang bukti perbuatan Raffael dan dirinya.
‘Duh! Mati aku! Ini nggak ada di dalam rencanaku dan Pak Raffael! Aku harus apa?!’Manda hanya bisa menunduk, menyembunyikan raut paniknya.Untungnya, pintu ruangan tiba-tiba diketuk. Seorang office girl mengantar teh untuk mereka. Manda jadi punya waktu untuk berpikir lagi.Sayangnya, ia butuh Raffael untuk memutuskan. Ini bukan urusannya. Ini masalah Raffael. Manda merasa bukan bagiannya menjelaskan semua itu.Tak mendapat respon dari Manda, Camelia kembali melanjutkan kalimatnya.“Saya sempat berpikir, mungkin Reinhart salah paham. Mungkin dia bermaksud membantu Raffael dengan cara ini, supaya ia punya senjata menolak
‘Ha! Apa juga yang perlu kubicarakan dengan Camelia?’Raffael menghela napas panjang. Ia tidak suka ide Manda, tapi entah kenapa penolakan tak bisa keluar dari mulutnya. Anak kedua keluarga Indradjaya itu menatap sang kakak dengan pandangan kesal. “Kalau kau masih ingin tahu soal dokumen yang kau pegang, aku akan jawab di sini. Semua itu benar. Aku dan Manda melakukan semua ini untuk menghindari perjodohan.”Walau sudah tahu, Camelia tetap saja tampak terkejut ketika Raffael benar-benar menjawab semua keraguannya. Namun, konsentrasinya tidak berhenti di sana. “Raff, kamu nggak berpikir Mom akan berhenti begitu saja karena kamu punya seorang kekasih kan? Mom menuntut pernikahan.”“Bukan urusanmu, Camelia. Berhenti mengurusiku!”Camelia ingin membuka mulut, melanjutkan pembicaraan mereka walau kemungkinan hanya berisi perdebatan. Namun sangat disayangkan, Raffael begitu saja berbalik dan pergi dari hadapannya. ‘Ugh! Susah sekali punya adik satu ini. Temperamen! Kalau begini caranya,
“Terserah aja!” Manda sedikit memekik, walau suaranya kecil. Ia tidak mau perdebatannya terdengar sampai ke luar.“Terserah?” Wajah jahil Raffael semakin jelas. “Jangan sembarangan bilang terserah pada laki-laki, Manda. Pikiran mereka terlalu banyak kotornya.”Manda segera menarik tangannya kemudian berbalik menuju pintu keluar. Sebelum membuka pintu, ia berkata dengan kesal, “Bapak juga laki-laki!”Blam!Raffael terkekeh. Masih menatap pintu yang sudah tertutup itu. “Itulah makanya kubilang jangan sembarangan bilang terserah. Aku kan juga laki-laki.”Sementara itu, Manda yang sudah kembali ke mejanya mulai diserang banyak pertanyaan terkait dirinya yang langsung dipindahkan sebagai sekretaris pribadi Raffael. Elena bahkan tidak tahu alasan presdir mereka memilih Manda. “Mungkin karena kau cantik, Manda,” tebak Melly, salah satu senior sekretaris di sana. Elena ikut menimpali, “Atau karena masih fresh graduate? Jadi, bisa dibentuk.” Manda hanya bisa terkekeh canggung. ‘Jangan samp
“Apartemen?” Manda tertegun setelah turun dari mobil. Tara mematikan mesin kendaraan di parkiran lobi, di mana sebuah apartemen mewah berdiri di belakangnya.“Mh-hm! Ayo, masuk!” ajak Raffael. Tanpa ragu ia meraih tangan sekretarisnya, seolah itu adalah hal paling alami yang biasa mereka lakukan. Manda tak bisa membantah maupun menarik tangannya. Ia sudah diingatkan oleh sang atasan untuk bersikap layaknya kekasih selama pergi dengannya kali ini.Genggaman tangan Raffael terasa menggelitik sepanjang urat nadi di tangan dalam Manda. Ia mencoba memejamkan mata kuat-kuat untuk mengusir rasa itu, tapi percuma. Entah kenapa, ia hanya bisa mengabaikan rasa itu. “Kita mau ketemu siapa di apartemen ini, Raffa?” Manda menghela napas lega karena ia berhasil menyebut nama si bos tanpa tergagap. Pria yang menyisir rambutnya dengan acak itu tersenyum miring. “Ketemu sales apartemen.”“Mau beli apartemen?”Raffael mengangguk. “Buat kamu.”Ia memilih salah satu sofa di dalam ruang pemasaran, me
“Manda!” Suara Raffael menggema memanggilnya. “Kamu di mana?”Tergesa, Manda keluar dari kamar mandi ruang tidur utama, sambil membalas, “Di sini, Raff!”Wajah pria berusia 34 tahun itu tersenyum manis. Ia melihat dari mana sekretarisnya itu keluar dan mulai menjahilinya.Ia berjalan mendekat, kemudian melingkarkan tangannya di pinggul Manda. “Kamu lagi apa di kamar mandi? Lagi membayangkan sesuatu?”“Lima ratus ribu!” tukas Manda sambil cemberut.Namun, sepertinya Raffael menikmati wajah kesal gadis yang hari ini menguncir rambutnya ke belakang.
Hai! Romero Un menyapa!Novel ini akhirnya tamat ya ^_^Terima kasih buat para pembaca yang mendukung novel ini sampai selesai. Terima kasih juga untuk pembaca yang sudah memberikan komentar dan hadiah. Sampai ketemu di novel selanjutnya ya!Sayonara!
“Bos, sudah keluar hasilnya.”Bintang mengangguk. Ia segera mengecek hasilnya dan menemukan komposisi larutan yang tertulis dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Ia pun langsung memberitahu Dennis. “Segera suruh Luna menemui dokter Gilian. Kuharap belum terlambat memperbaiki pita suaranya.”“Black, tangkap Kanya dan 2 temannya. Bawa mereka ke kapten. Aku sudah malas mengurusi mereka.”“Baik, Bos!”Sepeninggalan Black, Bintang langsung menyandarkan kepala, sambil memijat-mijat dahinya yang mulai pusing. Dengan posisi tak berubah, ia mencoba meraih gagang telepon dan menghubungi Tiara. “Auntie, tolong ke ruanganku.”2 menit setelahnya, Tiara sudah duduk di hadapannya. “Ada apa, Pak Bintang?”“Aku mau keluarkan berita dan juga peraturan baru.”Sang sekretaris senior itu mengangguk.‘Apa ini masalah artis Luna itu? Kurasa memang sudah keterlaluan sekali Kanya itu.’ Tiara membatin, sementara tangannya membuka laptop di pangkuan.Dalam berita internal itu, Bintang menjelaskan perka
“Oh! Lex, aku cari kamu. Ayo, ikut!”Bintang mengambil kesempatan untuk lepas dari Kanya. Ia segera pamit, menggeret adik perempuannya bersama. “Kau dikerjai si Kanya?” tanya Alexa setelah mereka cukup jauh dari target pembicaraan.Bintang menggeleng. “Sepertinya dia nggak suka dengan Lia dan membuat skandal untuk menghancurkan karir Lia sebelum debut.”Alexa mengerutkan dahi. “Kukira sasaran Kanya si Luna. Dia sering banget dipanggil Kanya sebelum latihan mulai. Dan pagi ini Luna kena marah karena suaranya tiba-tiba hilang.”Kali ini dahi Bintang yang berkerut tak mengerti. “Kenapa kau diam saja? Kanya sepertinya bukan perempuan yang baik, Lex. Hati-hati.”Alexa mendengus geli. “Siapa yang berani denganku?!”“Jadi, ini yang kemarin kakak tanyain ke aku? Skandal itu disengaja oleh Kanya?” Alexa kembali bertanya. Kepala Bintang bergerak naik-turun. “Kebetulan aku melihatnya.”Mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya Bintang memutuskan untuk pergi menemui Dennis. “Kau juga hati-hati. A
“Aku nggak peduli.” Bintang membalas pertanyaan Adelia dengan pernyataan keras kepala. “Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini, untuk sementara.”“Buat apa?” tanya Adelia tak mengerti. “Kalau aku menikah, aku ingin bisa menceritakannya pada semua orang.”Mendengar itu Bintang tak bisa berkelit. Ia tak menyangkal. Mungkin dirinya yang paling sulit untuk menyembunyikan hubungan mereka. Bahkan sejak awal, dirinya lah yang tak bisa menahan diri untuk mengumbar kedekatannya dengan Adelia. “Tapi kalau tunangan, kurasa aman. Gimana?” usul Adelia yang merasa bersalah setelah pertanyaannya tadi. Bagaimanapun, saat ini, seorang CEO besar melamarnya. Dia, yang hanyalah seorang gadis biasa.Namun, Bintang menolak usulannya. “Aku ingin menikahimu karena aku mau semalam-malamnya kamu pulang, aku ada di rumah.”Wajah Adelia bersemu merah. Sebuah senyum tak sadar terbentuk di sana. “Hanya karena alasan itu?” gumamnya tak percaya.“Itu bukan ‘hanya’, My dear.” Bintang memeluk tubuh sang kekasih er
“Bos, Regan mengitrogasiku. Sepertinya Bos Raffael mencari Anda.”Black melapor pada Bintang, tepat di saat ia yakin kalau Adelia sudah masuk ke kamar mandi hotel. Ini adalah hari kedua Bintang dan Adelia berada di hotel. Seharian kemarin mereka menikmati renang dan layanan spa dari hotel itu. Dan pagi ini, seperti yang sudah ia perkirakan akan terjadi. Foto dirinya melangkah keluar dari apartemen para artis RAFTEN sambil merangkul seorang perempuan tak dikenal, menghiasi halaman depan media berita artis ibukota.Tentu saja, Raffael dan Manda akan marah besar, mengira bahwa putranya berselingkuh di belakang Adelia. “Mereka pikir Anda membalas dendam atas skandal Nona Adelia.”“Ah ….” Bintang terkekeh geli dengan tebakan orang tuanya. “Aku mematikan ponselku. Kau saja yang beritahu mereka kalau foto itu adalah fotoku dengan Lia.”Black mengangguk. “Baik, Bos.”“Tapi, jangan kasih tahu kami di hotel ini,” tambah Bintang, mengingatkan. “Aku dan Lia sedang liburan.”“Siap, Bos!”Sege
Ha! Ha! Ha! “Pertanyaan dari mana itu?” Bintang tergelak mendengar kenyataan bahwa Adelia tak merasakan cintanya.CEO RAFTEN bahkan tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya, karena sudah membuat Adelia bertanya demikian. Cinta yang ia berikan sepertinya tidak nyata. Seperti apa kata sang ibunda. Hambar.“Kau nggak tahu saja, tiap malam aku datang ke sini. Tapi kau nggak pernah ada.”Netra Adelia membulat kaget. “Bohong! Aku nggak pernah ketemu kamu! Nggak pernah ada tanda-tanda kamu mengunjungi apartemenku.”Bintang mengecup bibir sang kekasih, singkat. Kemudian berkata, “Aku malas kalau harus mengakui perbuatanku. Jadi, terserah kamu percaya atau nggak. Aku nggak masalah, Lia.”Melihat Bintang tidak bersikeras membuktikan ucapannya, Adelia memutuskan untuk percaya. “Terus, kenapa kau ke apartemenku nggak bilang-bilang?” tanyanya heran. Bibir Bintang bergerak ke kanan lalu ke kiri, menimbang apa juga yang membuatnya datang ke apartemen Adelia.“Awalnya mau kasih kejutan. Tapi
‘... dia nangis karena sudah lama nggak bisa ketemu kamu, Kak.’Ucapan Alexa tadi kembali terngiang di telinga Bintang, walau sambungan telepon sudah terputus sejak tadi. Senyuman lebar tak bisa ia tahan. ‘Kurasa aku terlalu percaya pada hubungan kami. Percaya bahwa kami mengerti satu sama lain, tanpa perlu banyak interaksi.’“Ternyata aku salah,” keluhnya menyimpulkan apa yang terjadi. Dengan cepat ia mengirim pesan pada Tiara, sekretarisnya. To Tiara:Besok saya libur satu minggu. Jangan cari saya!Pesan terkirim!Kemudian ia juga mengirim pesan yang sama pada Theo, tetapi terkait Adelia. To Theo:Besok Adelia libur 3 hari. Jangan cari dia!Pesan terkirim!Bintang mematikan ponselnya dan juga Adelia begitu saja dan mulai fokus mengurus sang kekasih. Ia menggulung lengan kemejanya dan mulai menyeka bagian tubuh Adelia yang terlihat. Malam itu ia memutuskan untuk menemani sang kekasih, tidur di ranjang yang sama.‘Ah … sebaiknya aku juga ganti saja itu!’*** Keesokan paginya, Ad
‘Kalau diingat-ingat … aku terakhir lihat Lia dari jendela pintu ruang latihan. 3 minggu lalu, kalau nggak salah.’Bintang menatap lurus tanpa berkedip. Pandangannya kosong, sementara ia menggenggam gelas wine di tangannya. Ia sedang duduk di sofa apartemen sang kekasih. Masih terdiam, pikirannya kembali mengingat hari itu. ‘Setelah itu, aku pergi dinas. Dennis bilang kalau Lia sangat bersemangat siap debut.’“Nggak ada yang salah dengan kami. Kurasa.”Pria yang tengah bingung dengan komentar ibu dan rekan kerjanya itu kembali menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang membuat hubungannya dicap hambar. Sejauh mereka belum menikah, jelas tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pergi kencan. Sesekali berciuman atau tidur di kasur yang sama. “Apa aku harusnya menikahi Lia?” Lagi, ia berbicara dengan diri sendiri. “Tapi dia sedang bersiap debut. Bagaimana kalau langsung hamil dan merusak karirnya?”Sudah pukul 11 malam dan Adelia tak juga tiba di rumah. Mungkin penantian Bintang ma
“Dia tidur sambil berendam.”Bintang menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan absurd sang kekasih kecilnya. Sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengangkat tubuh Adelia tanpa melihat. “Lia.” Bintang mencoba membangunkannya. “Adelia!”Dengkuran halus malah menjadi jawaban dari panggilan itu. Membuat Bintang mulai kehabisan akal setelah beberapa kali mencoba membangunkannya. Ia memutuskan untuk mengambil handuk dan menutupi tubuh gadis itu setelah berhasil mengangkatnya dengan menutup mata. Setelah bekerja keras, Bintang pun berhasil membaringkannya di tempat tidur. Namun, sampai di sana, Adelia malah terbangun. “Kenapa kau baru bangun sekarang, hm?” keluh Bintang. “Kau mengerjaiku ya?”Adelia mengerjapkan netranya beberapa kali, kemudian tersadar bahwa ia sudah ada di kasurnya, masih dengan tubuh yang basah. “Astaga! Apa aku ketiduran?”Melihat dari respon Adelia, Bintang tahu kalau gadis itu pasti kelelahan setelah beberapa minggu terus berlatih dan hanya bisa tidur 2