LOGINDi dalam kamar, Raisha memandang foto pernikahannya dengan Stevano. Foto itu tampak biasa saja dan terkesan dingin, Stevano sama sekali tidak terlihat tersenyum atau pun senang dalam foto itu. Memang pernikahan mereka berlandasan kecelakan satu malam, tapi Stevano benar-benar terlihat tidak menganggap pernikahan itu sakral. "Kok dada aku sesak begini, ya?" Raisha menyentuh dadanya sendiri. "Ternyata lebih sakit tidak di anggap, di saat aku mulai paham dengan situasi ini." Sebelum kembali ke kamar, Raisha sempat mendengar perkataan Stevano yang menohok seperti sebilah pisau yang mengoyak hatinya. Raisha tahu ia tak pantas mengharapkan cinta Stevano, tapi setiap kata yang keluar dari mulut pemuda itu selalu menyakitinya tanpa sadar. "Apa aku sanggup bertahan di pernikahan ini?" Beberapa saat berlalu, tiba-tiba Raisha merasa mual dan berlari ke arah kamar mandi. Kebetulan saat itu juga Stevano muncul di kamarnya. "K-Kak..." panggil Raisha serak. Stevano melangkah memasuki
Suara bel di apartemen milik Stevano terdengar berkali-kali. Pemuda itu yang sedang duduk santai di sofa ruang keluarga spontan berseru, tanpa niat untuk beranjak dari tempat duduknya. "Bi, bukain pintu," ujarnya santai. "Baik, Den," sahut Bi Jumi dari arah dapur, lalu bergegas menuju pintu depan. Perempuan paruh baya itu baru mulai bekerja di rumah Stevano sejak pagi tadi. Sebelumnya, ia merupakan pelayan lama di kediaman keluarga besar Kenzo, ayah Stevano. Begitu pintu dibuka, Bi Jumi sontak terlonjak karena disambut teriakan kompak tiga pemuda yang berdiri di ambang pintu. "HALO!" seru mereka bersamaan. "Ya Tuhan…" Bi Jumi hampir mundur saking kagetnya. Ryker menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kirain Stevano yang bakal muncul. Maaf ya, Bi." Bi Jumi hanya mengangguk pasrah, lalu mempersilakan mereka bertiga masuk ke dalam apartemen. Raisha yang baru keluar dari kamar langsung terkejut begitu melihat kedatangan teman-teman suaminya. Padahal baru kemarin mereka pindah,
Hari telah berganti dan malam telah menjadi pagi, di parkiran sekolah terlihat para sahabat Stevano tengah bermain teka-teki sambil menunggu kedatangan pemuda itu. "Coba tebak, apa yang ada tapi tidak dianggap?" tanya Ryker pada Axel. "Apaan? Aku malas mikir." "Kamu, haha!" Ryker tertawa mengejek. "Sialan!" Axel menimpuk kepala Ryker cukup keras. Ryker terkekeh, menyisir rambutnya dengan jari saat melihat beberapa siswi lewat di depan mereka. Tapi tiba-tiba, tatapan mereka tertuju pada sosok Nathan dan Vera yang datang berboncengan. Begitu Vera turun dari motor Nathan, keduanya bergandengan tangan menghampiri Axel dan Ryker. Raut wajah keduanya menunjukan kebahagiaan, seakan baru saja mendapat jackpot hadiah. "Halo, sayangku!" seru Ryker pada Nathan, hampir saja membuat pemuda itu meninju kepalanya. "Cari pacar sana, biar motormu tidak kosong terus," ejek Nathan sambil merangkul Vera. "Enak aja! Kamu pikir cari pacar semudah cari kerupuk?" dengus Ryker. "Banyak, kok. Cari aj
Jantung Raisha berdebar cepat, terlebih saat Stevano melingkarkan sebelah tangannya di pinggangnya yang sedikit berisi. Tidak dipungkiri, Raisha merasa senang. Ia tersenyum malu-malu lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya itu, kemudian mendongak menatap jakun Stevano yang naik turun setiap kali bernapas. Tanpa malu, Raisha mengangkat tangannya, mengelus lembut jakun Stevano. Dari jarak sedekat itu, baru kali ini ia menyadari betapa tegas dan seksinya wajah pria itu. Ia bahkan tidak pernah memikirkan bahwa tindakan cerobohnya tersebut bisa membuat Stevano bertindak seperti serigala yang lapar. Namun beberapa menit berlalu, Stevano masih terlihat tak terusik oleh gerakan tangan Raisha. Tanpa sadar, gadis itu mendekatkan wajahnya, mencium jakun Stevano, lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher pria itu. Stevano tetap diam. Tak ada reaksi berarti seolah sentuhan lembut itu tidak menggugahnya sedikit pun. Ekspresinya tetap datar, matanya menatap lurus ke depan tanpa e
Hening sejenak di antara mereka berdua. Raya menatap malas ke arah Raisha yang tampak bingung dengan ucapannya tadi. Raya berdecak, menunjuk ke arah Raisha. "Tadi siang, kamu sudah mengadu tentang kelakuan ibuku. Dan kamu pasti tahu kalau ibuku jadi kena amukan suamimu itu. Sekarang, kamu sudah menerima balasannya, kan?" Raisha yang muak dengan sikap Raya langsung mendekat. "Kamu sendiri, apa kamu nggak malu numpang di rumah suamiku?" Tatapan Raya yang semula diwarnai rasa puas langsung berubah sengit. Ia tersinggung oleh ucapan Raisha. "Bukan aku yang numpang, tapi kamu!" Raya menoyor kening Raisha kasar. "Dasar murahan! kamu rela naik ke ranjang Stevano lalu pura-pura hamil biar dia mau tanggung jawab. Dasar jalang nggak tahu diri--" Plak! Tanpa sempat diduga, Raisha menampar pipinya hingga sudut bibir Raya berdarah. Raya menyentuh pipinya yang berdenyut nyeri, masih terkejut dengan tamparan itu. Perasaan Raisha sangat sensitif hingga emosinya meledak begitu mendengar Raya m
Raisha meraih tangan Stevano, lalu menggenggamnya saat mereka keluar dari dalam kamar. Dia bersenandung kecil sambil menggoyang-goyangkan tautan tangan mereka. Rasa canggung yang sempat dia rasakan kini sudah hilang. Raisha mulai merasa nyaman berada di dekat Stevano, bahkan perasaan itu lebih dalam dari yang bisa dia ungkapkan. Terlebih sekarang, Stevano tidak terlihat terganggu dengan semua tingkahnya yang bisa di bilang kekanakan. Saat mereka tiba di lantai satu, mereka langsung disambut oleh Kenzo dan Helena yang sudah duduk manis di meja makan. Namun ekspresi wajah mereka terlihat aneh yang membuat Raisha sedikit heran. Awalnya Stevano menolak untuk makan malam bersama, tapi ayahnya terus memaksa dan mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan mereka berdua. Stevano menarik kasar kursi meja makan, lalu duduk bersebelahan dengan Raisha. Tatapan dinginnya tertuju pada ayahnya, yang kini juga sedang menatapnya. "Mau bicara apa sama aku?" tanya Stevano tanpa be







