Pandangan mata Lita beralih ke bocah yang digendong pria itu. Ia terdiam di tempatnya dan tidak bergerak sedikit pun.
Udara di ruangan tersebut terasa lenyap begitu saja dan membuatnya merasakan tekanan yang menyesakkan.
“Mama!”
Suara riang bocah itu semakin membuat detak jantung Lita menjadi tidak teratur. Ia berusaha mengendalikan dirinya tapi ia tetap terdiam membeku dengan semua kejadian yang tiba-tiba muncul di pikirannya.
“Mama?” Ekspresi bocah itu tampak bingung.
Pria itu menurunkan putranya kemudian ia duduk di sofa pada tengah ruangan tersebut.
“Pa, kok mama diam saja?”
“Hmm mungkin mama sedang terkejut dan menganggap ini mimpi...”
Alen menatap Lita dengan ekspresi bingung lalu mendekat. “Mama kenapa diam saja? Mama tidak merindukan ku ya?”
Lita tergagap saat bocah itu menyentuh tangannya. Ia ingin menegur bocah itu agar tidak memanggilnya mama, tapi ia takut Alen akan bersedih. “Ah maaf… Aku– ya ku pik
Lita bangun terlambat setelah semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan tentang semua hal yang terjadi tiba-tiba. Pikirannya dipenuhi oleh ingatan saat ia pertama kali bertemu Ardan. Meski sudah semalaman memikirkan tentang apa yang harus dilakukannya, Lita tidak menemukan solusi selain mengundurkan diri dan menghilang dari kota itu. ‘Kalau aku menghilang tiba-tiba, apa semua akan lebih baik? Apa bocah itu akan mencari ku?’ gumam Lita dalam hati sambil memandangi jalanan melalui kaca bus trans. Ia sebenarnya enggan berangkat bekerja karena masih tidak siap jika pria itu melakukan hal seperti kemarin. Namun ia tidak bisa izin begitu saja karena hari ini ada rapat dengan para editor. Perempuan itu turun dari bus lalu melangkah dengan perasaan cemas. Ekspresinya semakin buruk begitu ia memasuki tempatnya bekerja. “Selamat pagi Litara.” Lita menoleh ke arah sumber suara. “Pagi Gio.” Pria itu mengernyitkan keningnya. “Pagi begini
Semua perkataan Ardan ketika di Semarang itu kembali terngiang di telinganya. Namun ia mencoba bersikap tenang. “Perkataan waktu itu? Maaf sepertinya anda belum mengatakan terkait pekerjaan saya?” ucap Lita mencoba bersikap sewajar mungkin. Pria itu memandang Lita dengan ekspresi dinginnya. “Apa perlu ku ingatkan?” Lita mengepalkan tangannya erat, menahan rasa tidak nyaman yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. “Jadilah istri ku selama beberapa tahun untuk merawat Alen,” ucap Ardan mengulangi kalimatnya beberapa bulan yang lalu. Lita bergidik ngeri saat pria itu mengucapkan kalimat yang sama. Kata ‘istri’ tersebut berhasil membuat perutnya terasa semakin mual. Kejadian yang sudah sempat dilupakannya, muncul kembali dalam ingatannya. Semua yang dianggap sudah berlalu ternyata sejak awal sudah mengikatnya. “Kenapa anda seperti ini kepada saya? Bukankah anda harus berterimakasih karena saya sudah menolong putra anda?” ucap Lit
Dua hari sudah berlalu sejak pertemuannya dengan Ardan waktu itu. Namun Lita masih belum menemukan solusi yang tepat untuk dirinya sendiri. Ia tidak mengerti kenapa dari banyaknya perempuan di negara ini, dialah yang harus berurusan dengan pria yang tidak memiliki hati itu. ‘Apanya yang tampan dan melelehkan hati? Seharusnya semua orang menyebutnya pria ******** yang tidak punya hati!’ keluh Lita dalam hati. Setelah percakapannya dengan Ardan, perempuan itu sering terbangun tengah malam karena mimpi buruk. Ia bahkan bisa kehilangan nafsu makan hanya karena mendengar nama pria itu dari rekan kerjanya yang sedang bergosip. “Kamu kenapa akhir-akhir ini terlihat tidak bersemangat?” tanya Nia yang saat itu mengajak Lita makan siang bersama. “Terlalu terlihat ya?” “Iya, wajah mu terlihat pucat terus.” Lita mencoba mencari alasan yang tepat, tapi hanya satu hal yang muncul di pikirannya. “Ehmm, aku sebenarnya sudah putus dengan pacar
Alarm ponsel Lita berbunyi tepat pukul 07.00. Ia meraih ponselnya dengan malas lalu mematikan alarm kemudian melanjutkan tidurnya. Semalaman perempuan itu sudah berpikir secara matang dan menganalisa semua kemungkinan alasan yang membuat pria itu sampai memaksanya. Ia akan menunjukkan sifat buruknya dan membuat pria itu menyesal lalu membatalkan penawarannyaa. Itu adalah rencana sempurna yang sudah Lita pikirkan dengan baik. Ponselnya bergetar lagi karena telepon dari kakek neneknya yang biasa menghubungi setiap akhir pekan. /Klik…/ “Ya nek?” “Loh cucu nenek belum bangun?” “Ini sudah… .” “Haduh kamu ini jangan bersikap begitu walau sudah diputuskan, kamu harusnya menunjukkan ke nak Rey kalau kamu juga bisa bahagia tanpa dia.” Lita menyembunyikan wajahnya di selimut. Sejak ia memberitahu kakek dan neneknya tentang hubungan yang sudah berakhir, nenek Kinanti sering menasehatinya untuk tidak tenggelam pada ke
Wajah Lita memucat begitu rencananya berantakan. Tidak hanya keterlambatan dan penampilan mewahnya yang gagal membuat pria itu mundur, tapi permintaan uang dengan nominal fantastis yang disebutkan ternyata tidak menjadi masalah untuk pria itu. “Saya tidak setuju kalau pertahun. Bagaimana kalau anda tidak melakukan seperti yang anda janjikan?” jawab Lita asal. Otaknya sedang berpikir keras untuk menemukan alasan lain. Ardan tersenyum sambil menghela nafas. “Apa kita perlu saksi?” “Tidak… bukan begitu. S-saya hanya ingin merasa yakin.” Pria itu mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya. Beberapa saat kemudian muncul pemberitahuan di ponsel Lita tentang uang masuk sejumlah Rp500 juta yang baru saja diterima. “Aku tidak pernah bermain-main dengan apa yang ku katakan, Lita. Itu uang untuk awal, aku akan mengirim setengahnya lagi besok.” ‘Hahh???’ “Nah karena kamu datang terlambat dan waktu ku terbuang banyak, kita sekarang harus cepat
“Tentu saja ada, dia darah daging mu, cucu ku…” Interaksi dingin antara dua pria itu membuat Lita membeku di tempatnya. Jerry menatap ke arah Lita untuk bertanya, tapi akhirnya Ardan membuka suara lebih dulu. “Arlendra Argantara.” Pria tua itu menggangguk. “Arlendra Argantara Harsato.” Keduanya berpandangan dengan tatapan yang sama dinginnya. “Sudah terlanjur begitu.” “Kita kan bisa mengubahnya.” “Pa!” “Dia cucu ku, Ardan. Seharusnya sejak kamu mengakui secara terbuka bahwa dia anak mu, kamu juga sadar penuh bahwa darah keluarga Harsato mengalir padanya.” ‘Haahh… apa keluarga mereka tidak mengenal yang namanya komunikasi baik-baik?’ Lita langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia menatap ke arah Ardan dan Jerry secara bergantian. “Teruskan obrolan kalian, jika sudah selesai, panggil saya.” Perempuan itu langsung melangkah pergi sambil menenangkan Alen yang tampak kaget dengan suasana yang tidak menyenangk
Ardan sudah duduk dengan tenang saat Lita baru saja keluar dari ruangan tersebut. Ia sempat memandangi perempuan itu dalam waktu lama sebelum kemudian fokusnya teralihkan oleh sapaan seorang fotografer. Lita mendekat ke arah pria itu lalu berbisik pelan. “Anda harus menjelaskan semuanya kepada ku setelah ini.” “Ya,” jawab Ardan singkat. Ia mengeluarkan sebuah kotak cincin dari sakunya lalu memberikan salah satu cincin itu ke Lita. Cincin bermata black shappire dengan hiasan berlian kecil di sampingnya itu dipesan secara khusus oleh Ardan dari Kanada sejak satu bulan setelah pertemuan pertamanya dengan Lita. “Pakai ini dan jangan pernah dilepas sebelum perjanjian kita berakhir,” bisik Ardan pelan. Ia meraih tangan Lita cepat lalu memakaikan cicin itu di jari kanannya sebelum karyawan di studio foto itu mendekat. Pria itu begitu dekat dengannya sampai aroma parfum yang dipakai seolah ikut melingkupi tubuhnya. Ia berusaha mempertahankan ekspresi datarnya meski sedang merasa sangat k
Lita terdiam begitu mendengar ucapan neneknya. Rasa panik yang tiba-tiba muncul kembali membuat perutnya terasa mual. “Ya? ada apa?” “Ada seorang pria yang datang, dia membawakan banyak baju dan makanan. Katanya dia dekat dengan mu sejak lama, tapi memangnya dia siapa, Lita?” “Dia tidak mengatakan sesuatu kan?” tanya Lita cemas. “Memangnya ada apa? Siapa dia? Dia hanya bilang kamu akan menceritakannya sendiri ke nenek dan kakek?” Perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Ia mengutuk pria itu dalam hatinya. “Ehmm, maaf nek, bisa tolong berikan hp nya ke dia sebentar?” Suara menjadi hening sejenak dan hal itu semakin membuat perasaan Lita tidak nyaman. “Kamu bisa menerima telepon ternyata?” Suara dingin pria itu membuat Lita semakin panik. “Aku baru saja bangun… .” “Begitu? Bukannya kamu berniat kabur?” ‘Apa dia sedang tidak di dekat nenek sampai berani bicara begitu?’ “Aku tidak melakukan itu, kalau aku memang berniat kabur pasti aku kembalikan dulu uang yang kamu berikan… .”