Share

Ingat! Aku Istri Papamu!

Leta tampak berjalan mengendap-endap dari pintu belakang. Ia sangat berharap jika aksinya itu tidak diketahui oleh ibunya. Namun, semua itu hanya hayalan semata. Baru saja dia membuka pintu belakang, dia memejamkan mata ketika melihat ada yang menjulang tinggi tepat di hadapannya.

"Ibu, hehehe. Ibu ngapain di sini?" tanya Leta kikuk.

"Harusnya Ibu yang tanya, kenapa baru pulang sekarang? Kenapa pulangnya lewat pintu belakang? Bukankah pintu depan terbuka lebar?"

Serentetan pertanyaan ibunya membuat Leta menelan salivanya dengan susah payah.

"A--aku mau--"

"Langit dari tadi nungguin kamu, tapi kamu malah mau menghindar dari dia? Di mana letak sopan santunmu itu, Ibu sama sekali tak pernah mengajari kamu seperti itu."

"Maaf, Bu. Aku akan segera menemui Langit. Tapi, Bu, aku masih belum mandi, aku malu kalau ketemu sama dia tapi penampilanku seperti ini."

"Nggak usah alasan. Biasanya kalau Langit ke sini bahkan kamu baru bangun tidur aja langsung nemuin dia. Cepat lewat pintu depan. Segera temui dia, dari tadi dia selalu mencemaskan kamu."

'Cih! Mencemaskan? Itu hanya kamuflase saja, Bu,' decak Leta dalam hati.

"Aku--"

"Leta," tegur ibunya.

"Iya, iya, Bu. Aku akan lewat pintu depan."

Leta berjalan menuju ke arah pelataran rumahnya, dia menghela napas panjang ketika sudah berada di depan pintu.

"Hufft! Semoga saja ...."

"Habis dari mana saja kamu?"

Leta memundurkan langkahnya ketika Langit mencoba mendekatinya.

"Bajumu ... kenapa lebih rapi dari sebelumnya? Siapa yang berbaik hati meminjamkanmu? Atau jangan-jangan ketika habis tidur denganku, kamu juga tidur dengan pria lain?" tanya Langit dengan senyum remeh.

"Tutup mulutmu, Langit!" geram Leta. Wanita itu mengepalkan tangannya.

"Kenapa marah? Apakah ucapanku benar?"

Tangan Leta terasa gatal, rasanya ingin memukul Langit sekeras-kerasnya, sayangnya hati dia tak sejalan dengan pemikirannya.

Wajah Langit mendekat ke telinga Leta.

"Aku semakin yakin kalau dirimu itu wanita murahan," bisik pria itu. Langit pun menjauh.

"Tujuan kamu datang ke sini hanya untuk menghinaku?" tanya Leta dengan raut wajah amarah.

Langit tak menjawab, dia hanya menatap Leta dari atas sampai bawah dengan tangan melipat di depan dada.

"Sepertinya aku kurang kejam untuk menyiksamu, terbukti saat ini kamu terlihat baik-baik saja."

Leta membuang pandangannya. "Sebaiknya kamu pergi dari sini."

"Kamu ngusir aku?"

"Menurutmu?"

Langit tampak manggut-manggut. "Sepertinya aku harus lebih kejam lagi untuk menyiksamu agar kamu tidak lancang lagi terhadapku!"

Leta tertawa miris, menurutnya Langit benar-benar berubah. Dulu tatapan pria itu terlihat begitu lembut, kini sangat jauh berbeda, tatapan pria itu seperti ingin membunuh dirinya.

"Ingat! Saat ini kamu tidak bisa berkutik. Aku mempunyai video panas kita. Setiap aku membutuhkanmu segeralah datang padaku, kalau tidak ...." Langit menoleh ke arah dapur seraya menyunggingkan senyumnya, "omong-omong ibumu punya serangan jantung, kan?"

"Langit! Bisakah kamu tahu batasan? Ingat, bahwa saat ini aku adalah istri dari papamu," geram Leta.

Langit mengedikkan bahunya acuh.

"Aku suka melihat raut wajahmu yang begitu ketakutan. Kalau semuanya tidak mau terjadi, patuhlah terhadapku, mengerti?"

Leta tak menjawab, dia hanya menatap pria itu dengan penuh kekecewaan.

"Nanti malam jangan lupa datang," bisik pria itu. Setelah itu Langit pergi dari hadapan Leta seraya bersiul senang.

Sementara Leta, mata wanita itu tampak berkaca-kaca.

"Langit, kenapa kita jadi jauh seperti ini," lirih wanita itu pilu.

***

[Aku nggak bisa datang. Aku harus berkunjung ke tempat suamiku, aku harap kamu paham.]

Selesai mengirim pesan, Leta tampak berjalan mondar-mandir, dia berharap jika Langit masih berbaik hati.

Sebenarnya itu hanya alasan Leta saja agar dia tak bertemu dengan Langit.

[Begitu ya?]

Leta mengusap dahinya secara perlahan. Dia membaca balasan pesan dari Langit dengan seksama. Dari ketikan pria itu sungguh tidak bisa ditebak. Apakah Langit akan membiarkan atau melarangnya?

Leta pun kembali membalas pesan pada pria itu.

[Iya.]

Satu menit, dua menit, hingga lima belas menit Leta menunggu balasan dari Langit, tapi sampai saat ini tak ada lagi pesan dari pria itu.

"Oke, sepertinya dia tidak mempermasalahkannya. Ya sudahlah, bagus dong karena aku nggak ketemu sama dia. Eh, tapi ... aku akan tetap ke rumah sakit," lirih Leta.

Sudah lama dia tidak pergi mengunjungi suaminya, bukan karena dia peduli, hanya saja Leta ingin tahu bagaimana kondisi suaminya itu, apakah lebih baik atau tidak.

Wajah Leta menengadah ke atas sembari memejamkan mata. "Hah! Sampai saat ini aku beneran nggak nyangka kalau aku ini udah menikah, bahkan aku menikah dengan orang yang sama sekali tak kucintai. Namun, biar bagaimanapun aku harus tetap peduli dengannya. Kalau tidak ada dia, mungkin kakakku tidak akan tertolong. Kenapa hidupku jadi serba salah gini sih. Napas aja kayaknya aku salah deh," keluh wanita itu.

Leta pun bersiap-siap pergi. Ya, dia yakin akan pergi ke rumah sakit.

"Mau ke mana?"

Leta meringis pelan ketika mendengar pertanyaan ibunya yang menurutnya sangat horor.

"Aku mau--"

"Apa kamu mau bohong lagi sama Ibu?" sergah Tika.

"Ah, mana mungkin. Aku mau pergi sebentar, Bu. Langit ngajakin aku ke rumah sakit mau lihat kondisi papanya," kata Leta meyakinkan.

Tika menatap Leta dengan curiga. Sementara yang ditatap seperti itu menghela napas berat.

"Ibu nggak percaya sama aku? Ya ampun, Bu, ngelihatinnya jangan begitu dong," rajuk Leta.

"Ibu cuma--"

"Ibu tenang aja, aku keluarnya nggak akan lama kok, habis antar Langit aku janji langsung pulang."

Tika menghela napas panjang. "Ya udah sana pergi."

"Makasih banyak, Bu. Aku pergi dulu ya," pamit Leta dengan senyum sumringah.

***

Leta memandangi suaminya itu dengan tatapan nanar. Tatapan wanita itu antara benci dan juga kasihan.

Di satu sisi dia ingin sekali suaminya itu sadar dari komanya agar ia bisa terbebas dari Langit. Namun, di sisi lain juga dia tidak ingin rahasianya terbongkar oleh suaminya karena pernah tidur dengan pria lain.

Kriieett ...

Leta menghela napas panjang ketika mendengar suara pintu terbuka. Wanita itu menduga pasti dokterlah yang ingin mengecek kondisi suaminya itu.

"Dokter, bagaimana kondisi suami sa-- Langit? Untuk apa kamu datang ke sini?" Leta terkesiap, tanpa sadar dia memundurkan langkahnya.

"Memangnya aku nggak boleh jenguk papaku sendiri?" Pria itu tersenyum sinis.

Suasana di dalam ruangan itu terasa begitu mencekam.

"Di sini ada papa, di luar juga ada banyak orang yang lalu lalang, pintu juga tidak terkunci, besar kemungkinan ada seseorang yang akan masuk. Aku jadi penasaran, gimana rasanya jika kulit kita saling bersentuhan dengan momen seperti itu, Leta."

"Apa yang akan kamu lakukan?" Leta tampak ngeri mendengarnya.

"Aku akan memberitahu pada papa bahwa sebenarnya aku sudah tidur dengan istrinya. Gimana menurutmu?" Senyum jahat Langit membuat Leta merinding.

"Jangan gila, Langit!" geram Leta.

"Sudah kubilang, jangan pernah berani membantah ucapanku. Tapi apa yang kamu lakukan, hah?! Sekarang rasakan akibatnya."

Tangan Leta ditarik kasar menuju ke arah sofa, lalu pria itu mendorong tubuh Leta hingga wanita itu terjerembab di sofa tersebut.

"Langit, jangan! Aku mohon jangan!"

"Kau sendiri yang memulai."

"Aku akan mengikuti kemauanmu, tapi aku mohon jangan di sini," mohon Leta.

"Oke, aku setuju dengan usulmu. Tapi ... seperti ucapanku tadi, aku akan memberitahu papaku."

Leta menelan salivanya dengan susah payah ketika melihat senyum pria itu yang menakutkan.

"Langit, kamu mau apa?" Suara Leta tampak bergetar.

"Menurutmu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status