Leta menangis sejadi-jadinya di bawah guyuran air shower. Wanita itu merasa jijik dengan tubuhnya sendiri.
Beberapa kali dia menggosok bagian tubuhnya yang usai dicumbu oleh Langit. Beberapa kali digosok bukannya menghilang tapi yang ada tubuhnya malah semakin sakit. Kulit tubuhnya tampak kemerahan bahkan ada juga yang sudah terluka. Namun, semua itu tak sebanding dengan rasa sakit hatinya.Leta masih ingat betul bagaimana Langit terus saja mencacinya ketika pria itu berada di atas tubuhnya."Kau memang wanita menjijikkan, Leta. Kau sungguh wanita murahan. Lihatlah dirimu, bahkan ketika aku menidurimu, kamu sama sekali tak berkutik, kamu hanya pasrah. Dulu, ketika kita masih pacaran aku sangat menyesal karena selalu mendengar kata-katamu untuk tidak menyentuhmu. Tapi kali ini aku sangat bersyukur karena ternyata akulah pria pertama yang menidurimu, hahahaha.""Arrgghhhh!" Leta berteriak kencang ketika bayangan Langit terus saja menghantuinya.Ucapan kasar Langit terus terngiang di telinganya membuat wanita itu terus menutupi kedua telinganya. Dia berharap jika bayang-bayang Langit segera pergi dari pikirannya, sayangnya tak bisa.Tok ... tok ... tok ...Leta terkesiap, dia buru-buru mematikan air keran itu."Kenapa kamu lama sekali di dalam, huh?!" bentak Langit.Leta sama sekali tak menyahut, dia berusaha menelan suara tangisnya dengan cara membungkam mulutnya menggunakan tangan."Leta, kamu dengar aku tidak, cepat buka pintunya!" Lagi-lagi suara Langit meninggi.Karena tak ada tanggapan dari Leta, Langit pun langsung membuka pintu itu dengan kasar.Pria itu tersenyum sinis ketika melihat Leta masih tak memakai pakaian, tubuh wanita itu hanya memakai handuk saja. Langit mencoba mendekati Leta, membuat wanita itu memundurkan langkahnya."Kamu mau apa?" tanya Leta waspada."Menurutmu?""A--aku mau pulang." Leta tampak begitu ketakutan karena melihat tatapan Langit yang begitu menakutkan."Pulang saja.""Aku ingin memakai pakaianku."Leta baru ingat kalau pakaian yang tadi ia kenakan sudah tak terbentuk lagi, semua itu karena ulah Langit. Pria itu merobeknya tanpa belas kasih. Entah apa maksud pria itu.Leta sangat berharap jika Langit berbaik hati meminjamkan pakaian untuknya, sayang seribu sayang, itu hanya harapan Leta saja, pria itu nyatanya hanya diam acuh tak acuh.Tak ada tanggapan dari Langit, Leta pun memberanikan diri melangkah ke arah pintu.Leta berteriak karena tiba-tiba Langit menarik tangannya dengan kasar."Lepas! Aku mau pulang!""Jangan harap!"Langit membopong tubuh Leta lalu tubuh wanita itu dibanting dengan keras di atas ranjang, jelas saja itu membuat Leta terpekik."Sakit, Langit," rintih wanita itu."Sakit? Ini nggak seberapa dari pada rasa sakitku, sialan!" bentak pria itu."Ampun, Langit," kata Leta lemah."Rasakan ini!""Arrgghhhh! Sakit, Langit. Tolong!' teriak wanita itu."Berteriaklah sekeras mungkin. Kali ini tidak akan ada yang menolongmu, wanita sialan!"***"Astaga, Leta! Apa yang sudah terjadi? Kenapa kamu berantakan seperti ini?" Sisi tampak terkejut karena melihat kondisi Leta yang tampak tak karuan."Izinin aku nginep di sini dulu ya, Si. Aku malu kalau pulang ke rumah sementara penampilanku berantakan seperti ini," lirih wanita itu."Ya udah, ayo masuk. Astaga!"Sisi menarik tangan Leta agar segera masuk ke dalam rumahnya. Dia langsung membawa Leta ke dalam kamarnya."Sekarang kamu pakai baju aku dulu. Nah, cepat pakai. Ada banyak pertanyaan dariku, dan aku menunggu jawaban darimu.""Terima kasih, Sisi.""Haish! Cepat ganti baju, aku tunggu di luar." Sisi pun meninggalkan Leta seorang diri.Kini hanya ada Leta di kamar itu, dia menatap pakaian yang diberikan oleh Sisi itu dengan tatapan sedih. Tak lama setelah itu, Leta pun mengganti pakaiannya, kini baju yang ia pakai terlihat lebih layak daripada sebelumnya.Leta pun segera menemui Sisi. Dia tersenyum tipis karena ternyata temannya telah menunggunya di meja dapur."Terima kasih dan aku minta maaf untuk hari ini karena sudah merepotkanmu," ungkap Leta.Sisi memutar bola matanya malas. "Nih makan dulu, bicara juga butuh tenaga, kan?""Eeee .... tapi ...."Leta tak melanjutkan ucapannya karena melihat tatapan horor dari Sisi. Dia pun langsung duduk di depan temannya itu."Oke, aku makan sekarang."***"Jadi ... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sisi penasaran.Leta mencengkeram gelas yang saat ini dia pegang dengan erat, sebenarnya dia belum siap jika harus menceritakan semuanya pada Sisi. Namun, dia juga tak enak hati karena Sisi terus saja mendesaknya."Ini karena ulahku sendiri," jawab Leta ragu."Emangnya kamu habis berbuat apa? Kenapa datang-datang penampilanmu berantakan? mata kamu juga bengkak, pasti habis nangis, kan? Nggak mungkin kamu habis digigit tawon," celetuk Sisi, membuat Leta tanpa sadar tertawa namun hanya sebentar."Tadi malam aku habis ketemu sama Langit." Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Leta memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya.Mata Sisi melebar. "Habis ketemu sama Langit? Jangan bilang kalau kalian tadi malam--""Aku tahu kalau Langit sangat kecewa denganku, makanya dia begitu dendam denganku.""Jadi tadi malam kamu habis disiksa sama dia?" tanya Sisi dengan mata melotot."Ini tak sebanding dengan apa yang aku lakukan padanya.""Nggak, ini nggak boleh dibiarin. Kita harus segera laporkan dia ke polisi. Kalau dibiarin terus nanti malah membahayakan nyawa kamu, Let.""Langit nggak akan bertindak sejauh itu, Si."Sisi tertawa terbahak-bahak, jenis tawa yang tengah mengolok Leta."Kondisimu dalam bahaya, tapi kamu masih peduli sama dia? Kecintaan banget kamu sama dia?" sarkas Sisi."Bukan gitu, maksud aku--""Halah! Udahlah! Intinya kamu kecintaan sama dia!""Terserah kalau kamu anggap aku seperti itu. Tapi menurutku dia sedang membalas apa yang telah aku perbuat terhadapnya. Aku yakin dia pasti akan berhenti dengan sendirinya.""Intinya kalian sama-sama salah. Kalau kamu masih cinta sama dia, terus kenapa kamu malah nikah sama bapaknya sih, Let. Benar-benar nggak habis pikir deh aku sama kamu," decak Sisi."Ya, aku mengakui kalau aku ini salah. Tapi ... aku rasa Tuhan nggak adil deh sama aku, kenapa dia selalu kasih aku kesedihan terus sih," keluh Leta.Sisi menatap Leta sinis. "Kamu yang bodoh, kenapa jadi salahkan Tuhan? Emang aneh kamu ini.""Aku ...." Leta tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.'Aduh, ibu nelpon lagi, aku harus cari alasan apa ya?' batin wanita itu."Pasti Langit ya? Sini biar aku aja yang ngomong," sahut Sisi."Bukan, ini ibuku.""Oh, aku kira Langit berengsek itu. Padahal kalau dia yang nelepon, aku akan berikan dia kata-kata mutiara biar dia kena mental."Leta meringis pelan.'Bukan kena mental, yang ada dia akan menghukumku lebih berat dari sebelumnya.'"Ya, halo, Bu. Ada apa?""Ada apa gimana? Kenapa sampai jam segini kamu belum pulang?" omel Tika dari ujung sana."Aku ... lagi di rumah Langit," bohong Leta."Nggak usah bohongin Ibu, Leta. Sekarang cepat pulang, Langit dari tadi nungguin kamu, dia begitu cemas karena kamu belum pulang."Leta terkesiap. "Apa, Bu? La-Langit ada di situ?"Tubuh Leta mendadak menjadi berkeringat hanya karena ibunya menyebut nama Langit.'Untuk apa Langit ke rumah? Rencana apa lagi yang akan dia lakukan?'Leta tampak berjalan mengendap-endap dari pintu belakang. Ia sangat berharap jika aksinya itu tidak diketahui oleh ibunya. Namun, semua itu hanya hayalan semata. Baru saja dia membuka pintu belakang, dia memejamkan mata ketika melihat ada yang menjulang tinggi tepat di hadapannya."Ibu, hehehe. Ibu ngapain di sini?" tanya Leta kikuk."Harusnya Ibu yang tanya, kenapa baru pulang sekarang? Kenapa pulangnya lewat pintu belakang? Bukankah pintu depan terbuka lebar?"Serentetan pertanyaan ibunya membuat Leta menelan salivanya dengan susah payah."A--aku mau--""Langit dari tadi nungguin kamu, tapi kamu malah mau menghindar dari dia? Di mana letak sopan santunmu itu, Ibu sama sekali tak pernah mengajari kamu seperti itu.""Maaf, Bu. Aku akan segera menemui Langit. Tapi, Bu, aku masih belum mandi, aku malu kalau ketemu sama dia tapi penampilanku seperti ini.""Nggak usah alasan. Biasanya kalau Langit ke sini bahkan kamu baru bangun tidur aja langsung nemuin dia. Cepat lewat pintu depan. Sege
"Apa yang sedang kalian lakukan?"Langit menggeram kesal, dia menoleh ke arah pintu, matanya mendelik tajam ketika melihat seorang pria memakai jas putih tengah menatap ke arah mereka."Sedang main-main," jawab Langit acuh. Pria itu menatap ke arah Leta, yang saat ini penampilannya begitu acak-acakan, "cepat rapikan dirimu, kita pindah ke tempat lain.""Langit, aku nggak--""Apa? Kamu mau melawanku lagi? Ya sudah, lebih baik kita lakukan di sini saja. Kayaknya seru juga karena disaksikan oleh papaku dan dokter. Bukan begitu Pak Dokter?" ujar Langit seraya melepaskan sabuknya.Mata Leta membulat sempurna karena ucapan Langit, ditambah lagi ketika melihat Langit akan melepaskan celananya. Buru-buru wanita itu mencegahnya."Apa yang kamu lakukan, Langit? Jangan gila! Sebaiknya kita pergi dari sini.""Bagus! Itulah yang dari tadi aku harapkan, tetapi kamu selalu mengulur waktu. Pak Dokter, tolong periksa keadaan papaku ya, takutnya malah lebih buruk dari yang sebelumnya. Oh ya, apa Pak Do
Mata Leta perlahan terbuka, ia menatap langit-langit kamar itu dengan samar. Beberapa kali wanita itu mengerjapkan matanya, setelah nyawanya benar-benar terkumpul dia langsung terduduk."Aku di mana?" lirih wanita itu. Ya, dia sudah sadar kalau ini bukanlah tempat tidurnya.Leta mengingat kejadian tadi malam secara perlahan-lahan, tak lama setelah itu dia menutupi mulutnya menggunakan kedua tangannya. Leta langsung menoleh ke samping tempat tidurnya, dan benar saja ada seorang pria yang sedang tidur begitu pulasnya.Leta menggosok-gosok badannya karena merasa kedinginan, detik kemudian matanya membulat sempurna karena tak ada satu pun pakaian yang melekat pada tubuhnya."Astaga! Apa yang kami lakukan semalam. Kenapa aku harus melakukan kesalahan lagi," ucap Leta pelan."Kamu bisa diam nggak sih. Aku lagi tidur, bisakan nggak usah berisik?" omel pria itu dengan mata masih terpejam."Maaf.""Aish! Lebih baik kamu pulang saja," usirnya kemudian."Iya, tapi ... bolehkah aku meminjam bajum
"Nggak ada.""Bohong.""Bener, Bu. Aku nggak ada sembunyiin apa-apa dari Ibu."Tika menghela napas berat. "Ibu tahu kalau kamu lagi bohong."Leta terdiam cukup lama, berpikir jawaban apa yang tepat untuk ibunya."Sebenarnya aku lagi bingung, Bu. Aku sama Langit pacaran udah cukup lama, tapi hubungan kami masih stuck di situ-situ aja," bohong Leta."Apa Langit sama sekali belum pernah membahas untuk ke jenjang yang lebih serius, Let?" tanya Tika penasaran."Dulu sudah, tapi aku yang selalu mengulur waktu. Ditambah lagi dengan keadaan papanya sekarang, pasti itu yang membuatnya terpukul. Aku nggak mau tanya-tanya soal itu, Bu. Saat ini dia lagi fokus pada kesembuhan papanya. Kita doakan saja semoga papanya segera pulih seperti sedia kala." Lagi dan lagi Leta membohongi ibunya.Entah sampai kapan dia akan seperti ini, setidaknya biarkan saja dulu. Suatu saat ia berjanji akan memberitahukan semuanya pada ibunya secara pelan-pelan."Amin. Nanti biar Ibu aja yang bilang ke Langit tentang hu
Usai mendengar perkataan Langit yang begitu kejam, Leta langsung membelakangi pria itu. Menatap ke bawah, melihat pakaiannya berserakan di dekat kakinya.Mata wanita itu berkaca-kaca, sekali mengedipkan mata saja pasti air matanya akan keluar. Namun, sekuat tenaga ia tahan.Buru-buru dia memunguti pakaiannya itu dengan tangan gemetar.Sudah sering kali dia dipermalukan oleh Langit, tapi untuk kali ini ucapan Langit menurutnya sangat menyakitkan."Siapa yang menyuruhmu memunguti pakaian itu?""Kamu sendiri yang bilang kalau tubuhku ini terlalu murah untuk orang sepertimu," sahut Leta dengan suara gemetar."Aku memang bicara seperti itu, tapi aku tidak menyuruhmu untuk memakai pakaianmu," tandas Langit.Leta menghela napas berat. "Sebenarnya mau kamu itu apa, Langit?""Menghukum kamu," ucap pria itu gamblang."Perlakuanmu saja sudah sangat menghukumku, apalagi yang kamu inginkan dariku?""Membuatmu menderita, itulah yang aku inginkan. Seperti itulah aku menderita karena dirimu. Aku tida
"Cepat woi, kalau lama nanti aku tinggal nih," ancam Sisi dari ujung sana."Iya, iya. Sabar dulu, aku lagi siap-siap nih. Jangan bikin aku gugup dong, nanti aku lupa apa-apa aja yang mau dibawa," sahut Leta sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. "Duh, apalagi ya yang aku bawa.""Nggak usah bawa banyak-banyak kali, Let. Kita cuma mau liburan bukan pindah," peringat Sisi."Aish! Apa salahnya kalau aku ingin menikmati masa liburanku, Si. Udah ya, aku mau otw ini. Sampai ketemu nanti." Leta langsung mematikan sambungan teleponnya.Leta tersenyum puas ketika melihat barang-barangnya sudah siap. Dia pun langsung merapikan dirinya lalu keluar dari kamarnya.Wanita itu terkejut ketika membuka pintu, ibunya berdiri tepat di depan pintunya."Ibu kenapa berdiri di sini? Ngagetin aja," ucap Leta seraya mengusap dada."Kamu jadi pergi?" Bukannya menjawab, Tika malah balik bertanya.Leta mengangguk. "Jadi, ini udah siap-siap tinggal berangkat. Kenapa, Bu?"Tika tampak terlihat resah dengan
"Hai."Tanpa Leta sadari, dia menjatuhkan ponselnya dari samping telinganya, dia memundurkan langkahnya tatkala melihat Langit berjalan mendekatinya."Ke-kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Leta gugup, dia terus saja memundurkan langkahnya hingga terpojok di tembok.'Ah! Sial! Kenapa bisa ada tembok di belakangku?' keluh wanita itu dalam hati."Kenapa? Hak aku dong mau ke mana pun," sahut Langit santai. "Kenapa kau menghindar dariku, apa kamu takut? Santai dong, aku nggak bakal gigit kamu kok." Langit menutup pintu itu diselingi seringai tajam."Jangan macam-macam, aku akan teriak!" ancam Leta.Langit mengedikkan bahunya acuh. "Teriak saja, memangnya aku takut?""Sekali lagi aku tanya, ngapain kamu ke sini?" tanya Leta, dia berusaha mengalihkan perhatian agar Langit tak berbuat macam-macam padanya."Sekarang aku yang tanya. Kenapa kamu pergi sejauh ini tanpa sepengetahuanku? Pasti kamu ingin menghindariku, kan?" Langit balik bertanya."Aku mau ke mana pun itu bukan urusanmu, apa hak
Tok ... tok ... tok."Siapa sih?" keluh Langit.Mata Leta pun ikut terbuka, matanya melotot ketika dia menyadari sesuatu."Astaga! Aku melakukannya lagi?" Wanita itu menjambak rambutnya frustrasi.Dia melihat pakaiannya dengan pakaian Langit berserakan di lantai."Leta! Buka pintunya. Kamu lagi ngapain sih? Kenapa betah banget di dalam kamar, emangnya kamu nggak lapar, hah?!" teriak Sisi dari pintu kamar itu."Ya Tuhan, itu Sisi."Ketika Leta mau bangun dari tempat tidur, Langit mencegahnya."Biarkan saja.""Dia temanku," bantah Leta."Ya sudah, silakan saja buka pintunya kalau kamu ingin dia melihat kita berdua dalam keadaan seperti ini," ujar Langit masa bodo.Leta pun mengurungkan niatnya untuk membukakan pintu."Leta! Ya Tuhan anak ini. Cantik-cantik kenapa telinganya tuli sih," keluh Sisi dari luar. "Let! Leta! Aleta!" teriak Sisi lagi.Leta masih bergeming di tempat. Dia jadi serba salah. Kalau dia terus saja diam, pasti Sisi tidak akan berhenti berteriak, sedangkan kalau dia me