Share

Langit Berengsek

Leta menangis sejadi-jadinya di bawah guyuran air shower. Wanita itu merasa jijik dengan tubuhnya sendiri.

Beberapa kali dia menggosok bagian tubuhnya yang usai dicumbu oleh Langit. Beberapa kali digosok bukannya menghilang tapi yang ada tubuhnya malah semakin sakit. Kulit tubuhnya tampak kemerahan bahkan ada juga yang sudah terluka. Namun, semua itu tak sebanding dengan rasa sakit hatinya.

Leta masih ingat betul bagaimana Langit terus saja mencacinya ketika pria itu berada di atas tubuhnya.

"Kau memang wanita menjijikkan, Leta. Kau sungguh wanita murahan. Lihatlah dirimu, bahkan ketika aku menidurimu, kamu sama sekali tak berkutik, kamu hanya pasrah. Dulu, ketika kita masih pacaran aku sangat menyesal karena selalu mendengar kata-katamu untuk tidak menyentuhmu. Tapi kali ini aku sangat bersyukur karena ternyata akulah pria pertama yang menidurimu, hahahaha."

"Arrgghhhh!" Leta berteriak kencang ketika bayangan Langit terus saja menghantuinya.

Ucapan kasar Langit terus terngiang di telinganya membuat wanita itu terus menutupi kedua telinganya. Dia berharap jika bayang-bayang Langit segera pergi dari pikirannya, sayangnya tak bisa.

Tok ... tok ... tok ...

Leta terkesiap, dia buru-buru mematikan air keran itu.

"Kenapa kamu lama sekali di dalam, huh?!" bentak Langit.

Leta sama sekali tak menyahut, dia berusaha menelan suara tangisnya dengan cara membungkam mulutnya menggunakan tangan.

"Leta, kamu dengar aku tidak, cepat buka pintunya!" Lagi-lagi suara Langit meninggi.

Karena tak ada tanggapan dari Leta, Langit pun langsung membuka pintu itu dengan kasar.

Pria itu tersenyum sinis ketika melihat Leta masih tak memakai pakaian, tubuh wanita itu hanya memakai handuk saja. Langit mencoba mendekati Leta, membuat wanita itu memundurkan langkahnya.

"Kamu mau apa?" tanya Leta waspada.

"Menurutmu?"

"A--aku mau pulang." Leta tampak begitu ketakutan karena melihat tatapan Langit yang begitu menakutkan.

"Pulang saja."

"Aku ingin memakai pakaianku."

Leta baru ingat kalau pakaian yang tadi ia kenakan sudah tak terbentuk lagi, semua itu karena ulah Langit. Pria itu merobeknya tanpa belas kasih. Entah apa maksud pria itu.

Leta sangat berharap jika Langit berbaik hati meminjamkan pakaian untuknya, sayang seribu sayang, itu hanya harapan Leta saja, pria itu nyatanya hanya diam acuh tak acuh.

Tak ada tanggapan dari Langit, Leta pun memberanikan diri melangkah ke arah pintu.

Leta berteriak karena tiba-tiba Langit menarik tangannya dengan kasar.

"Lepas! Aku mau pulang!"

"Jangan harap!"

Langit membopong tubuh Leta lalu tubuh wanita itu dibanting dengan keras di atas ranjang, jelas saja itu membuat Leta terpekik.

"Sakit, Langit," rintih wanita itu.

"Sakit? Ini nggak seberapa dari pada rasa sakitku, sialan!" bentak pria itu.

"Ampun, Langit," kata Leta lemah.

"Rasakan ini!"

"Arrgghhhh! Sakit, Langit. Tolong!' teriak wanita itu.

"Berteriaklah sekeras mungkin. Kali ini tidak akan ada yang menolongmu, wanita sialan!"

***

"Astaga, Leta! Apa yang sudah terjadi? Kenapa kamu berantakan seperti ini?" Sisi tampak terkejut karena melihat kondisi Leta yang tampak tak karuan.

"Izinin aku nginep di sini dulu ya, Si. Aku malu kalau pulang ke rumah sementara penampilanku berantakan seperti ini," lirih wanita itu.

"Ya udah, ayo masuk. Astaga!"

Sisi menarik tangan Leta agar segera masuk ke dalam rumahnya. Dia langsung membawa Leta ke dalam kamarnya.

"Sekarang kamu pakai baju aku dulu. Nah, cepat pakai. Ada banyak pertanyaan dariku, dan aku menunggu jawaban darimu."

"Terima kasih, Sisi."

"Haish! Cepat ganti baju, aku tunggu di luar." Sisi pun meninggalkan Leta seorang diri.

Kini hanya ada Leta di kamar itu, dia menatap pakaian yang diberikan oleh Sisi itu dengan tatapan sedih. Tak lama setelah itu, Leta pun mengganti pakaiannya, kini baju yang ia pakai terlihat lebih layak daripada sebelumnya.

Leta pun segera menemui Sisi. Dia tersenyum tipis karena ternyata temannya telah menunggunya di meja dapur.

"Terima kasih dan aku minta maaf untuk hari ini karena sudah merepotkanmu," ungkap Leta.

Sisi memutar bola matanya malas. "Nih makan dulu, bicara juga butuh tenaga, kan?"

"Eeee .... tapi ...."

Leta tak melanjutkan ucapannya karena melihat tatapan horor dari Sisi. Dia pun langsung duduk di depan temannya itu.

"Oke, aku makan sekarang."

***

"Jadi ... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sisi penasaran.

Leta mencengkeram gelas yang saat ini dia pegang dengan erat, sebenarnya dia belum siap jika harus menceritakan semuanya pada Sisi. Namun, dia juga tak enak hati karena Sisi terus saja mendesaknya.

"Ini karena ulahku sendiri," jawab Leta ragu.

"Emangnya kamu habis berbuat apa? Kenapa datang-datang penampilanmu berantakan? mata kamu juga bengkak, pasti habis nangis, kan? Nggak mungkin kamu habis digigit tawon," celetuk Sisi, membuat Leta tanpa sadar tertawa namun hanya sebentar.

"Tadi malam aku habis ketemu sama Langit." Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Leta memberanikan diri mengatakan yang sebenarnya.

Mata Sisi melebar. "Habis ketemu sama Langit? Jangan bilang kalau kalian tadi malam--"

"Aku tahu kalau Langit sangat kecewa denganku, makanya dia begitu dendam denganku."

"Jadi tadi malam kamu habis disiksa sama dia?" tanya Sisi dengan mata melotot.

"Ini tak sebanding dengan apa yang aku lakukan padanya."

"Nggak, ini nggak boleh dibiarin. Kita harus segera laporkan dia ke polisi. Kalau dibiarin terus nanti malah membahayakan nyawa kamu, Let."

"Langit nggak akan bertindak sejauh itu, Si."

Sisi tertawa terbahak-bahak, jenis tawa yang tengah mengolok Leta.

"Kondisimu dalam bahaya, tapi kamu masih peduli sama dia? Kecintaan banget kamu sama dia?" sarkas Sisi.

"Bukan gitu, maksud aku--"

"Halah! Udahlah! Intinya kamu kecintaan sama dia!"

"Terserah kalau kamu anggap aku seperti itu. Tapi menurutku dia sedang membalas apa yang telah aku perbuat terhadapnya. Aku yakin dia pasti akan berhenti dengan sendirinya."

"Intinya kalian sama-sama salah. Kalau kamu masih cinta sama dia, terus kenapa kamu malah nikah sama bapaknya sih, Let. Benar-benar nggak habis pikir deh aku sama kamu," decak Sisi.

"Ya, aku mengakui kalau aku ini salah. Tapi ... aku rasa Tuhan nggak adil deh sama aku, kenapa dia selalu kasih aku kesedihan terus sih," keluh Leta.

Sisi menatap Leta sinis. "Kamu yang bodoh, kenapa jadi salahkan Tuhan? Emang aneh kamu ini."

"Aku ...." Leta tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.

'Aduh, ibu nelpon lagi, aku harus cari alasan apa ya?' batin wanita itu.

"Pasti Langit ya? Sini biar aku aja yang ngomong," sahut Sisi.

"Bukan, ini ibuku."

"Oh, aku kira Langit berengsek itu. Padahal kalau dia yang nelepon, aku akan berikan dia kata-kata mutiara biar dia kena mental."

Leta meringis pelan.

'Bukan kena mental, yang ada dia akan menghukumku lebih berat dari sebelumnya.'

"Ya, halo, Bu. Ada apa?"

"Ada apa gimana? Kenapa sampai jam segini kamu belum pulang?" omel Tika dari ujung sana.

"Aku ... lagi di rumah Langit," bohong Leta.

"Nggak usah bohongin Ibu, Leta. Sekarang cepat pulang, Langit dari tadi nungguin kamu, dia begitu cemas karena kamu belum pulang."

Leta terkesiap. "Apa, Bu? La-Langit ada di situ?"

Tubuh Leta mendadak menjadi berkeringat hanya karena ibunya menyebut nama Langit.

'Untuk apa Langit ke rumah? Rencana apa lagi yang akan dia lakukan?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status