Share

Bab 9 Sentuhan Memabukkan

“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.

“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.

Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.

“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”

Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?

“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”

Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.

“Ck, gak gue itung utang, Ra? Takut banget!”

“Tapi tetep aja jadi utang budi!” gerutuku kemudian.

Setelah lima belas menit pesanan selesai. Kami segera meluncur membelah jalanan Kota Hujan yang masih ramai. Sampai di rumah, rupanya Rani dan Ridho belum tidur.

“Ajak adek-adek lo makan duluan. Sisakan seporsi aja buat gue. Gue mau ke depan dulu.” Alex menyerahkan bungkusan berisi sate tadi. Belum juga menjawab pertanyaan, pemuda itu sudah melajukan motornya.

Huft. Dasar bossy!

Aku menoleh ke belakang, Rani dan Ridho berdiri di ambang pintu. “Lihat teteh bawa apa!” seruku sambil mengacungkan bungkusan berisi sate.

“Asyik!” teriak Kedua adikku berbarengan. Mereka segera mencium aroma dari bungkusan tersebut. “Waaah, sateeee!” teriak Rani dan Ridho berbarengan.

“A’ Alex pacar Teteh, ya? Baik banget,” tanya Ridho di sela-sela makannya.

 Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan polos Ridho. “Bukan Idho, ‘A Alex cuma temen.”

Kedua adikku tampak lahap menikmati makanan berbahan daging tersebut. Bisa dibilang kami tidak pernah memakan makanan ini. Kalau pun pernah, itu sudah lama sekali.

Aku membiarkan Rani dan Ridho memakan empat porsi sate. Meskipun akhirnya mereka hanya menghabiskan tiga porsi saja. Tersisa tiga porsi lagi. Aku menunggu agar bisa makan bersama-sama dengan Alex. Entah ke mana dulu dia. Sudah setengah jam belum juga muncul.

“Teh, Rani tidur dulu, ya?”

“Idho juga, Teh.”

Aku mengangguk. Tak lama terdengar motor berhenti di depan rumah. Gegas aku keluar. Mulut spontan melongo melihat tumpukan belanjaan yang terikat di jok belakang kendaraan roda dua milik Alex. Pemuda itu dengan kesusahan memanggul sekarung beras dan meletakkannya di ruang tamu.

“Bawa masuk yang lain, Ra!” perintahnya pelan. Segera aku mengangkat satu piring telur dan satu kardus mie instan. Di kardus lainnya masih ada minyak, gula, susu, sarden dan tepung terigu.

“Lex, ini terlalu banyak.” Jujur aku sungkan dengan sikap baik yang ditunjukkan Alex. Ini terlalu berlebihan.

“Ck, gak boleh ngeluh kalau dapat rezeki.”

“Abis lo suka modus. Gue gak mau makin terikat sama lo.”

“Nyatanya lo emang gak bisa lepas dari gue, kan? Jadi nikmati aja. Ini lo udah makan?” Alex melirik pada bungkusan yang masih tersisa di meja.

Aku menggeleng pelan. Pemuda itu langsung menarikku agar duduk di sampingnya. Kami pun makan dalam diam. Aku sesekali memperhatikan Alex yang makan dengan lahapnya. Sampai-sampai bumbu satenya belepotan di dekat pipi.

“Pelan-pelan, Lex. Ngalah-ngalahin Idho aja sampe belepotan gini.” Aku mengusap pipinya dengan lembut. Alex tertegun, lalu menyunggingkan senyum tipis dan menggenggam jemariku.

Eh! Kok, aku jadi manis begini?

Cepat-cepat aku menarik tangan. Alex terkekeh geli melihatku yang kini salah tingkah.

“Mulai suka, ya, sama gue?” sindirnya senang. Aku hanya mencibir dan melemparnya dengan tisu.

Aku lebih dulu menghabiskan makanan. Malam sudah makin larut. Aku mencuci muka dan gosok gigi bersiap untuk tidur. Selesai makan Alex harus langsung pulang.

Setelah menghabiskan dua porsi sate, Alex mendekati salah kardus dan mengeluarkan sesuatu. Rupanya sikat dan juga pasta gigi. Aku menggeleng saat pemuda itu nyelonong begitu saja ke dalam. Pasti ke kamar mandi.

Aku makin terheran-heran ketika selesai dari belakang, Alex langsung ke teras dan memasukkan motornya. “Jangan bilang lo mau nginep!” seruku tajam.

Alex mengangkat bahunya dengan cuek.

“Lo mau ngapain, Lex?” tanyaku dengan panik saat pemuda itu memasuki kamarku. Cepat aku menyusulnya lalu berkacak pinggang di depannya.

“Gue ngantuk, Ra. Gak berani bawa motor dalam keadaan kayak gini.” Alex dengan santai mulai berbaring di kasur. 

“Gue gak mau cari masalah, Lex. Lo bisa digebuki warga kalau ketahuan tidur di tem–” Badanku terhuyung karena Alex menarikku begitu saja hingga berbaring di sebelahnya. Untung saja posisiku memunggungi pemuda itu. Jadi dia tidak bisa melihat wajahku yang saat ini pasti sudah merona.

“Ssst, nanti adek-adek lo bangun kalau lo berisik.” Tubuhku seketika membeku. Jarak kami sangat dekat. Alex melingkarkan tangannya di perutku. Kurasakan juga dia mencium puncak kepalaku beberapa kali.

“Lex, jangan gini, dong!” cicitku tertahan. Entah kenapa aku tiba-tiba tidak berani berontak. Debaran di dada makin kencang. Apalagi kemudian Alex memutar badanku hingga wajah kami berhadapan.

“Nurut atau gue cium?” Bulu di tubuhku meremang, melihat Alex yang menatapku dengan intens. Jemari pemuda ini dengan berani mulai mengusap lembut bibirku.

“Gue suka bibir lo, Ra!”

Astaga! Perasaan apa ini?

Desiran halus mulai merambat ke seluruh tubuh. Menghadirkan sensasi asing bagiku. Sensasi yang membuatku perlahan mulai memejamkan mata. Menikmati sentuhan lembut jemari Alex di bibirku.

Detik berikutnya, kurasakan sesuatu yang lebih lembut menekan bibirku. Tubuhku menegang. Tangan rasanya hilang tenaga untuk sekedar mendorong pemuda ini menjauh.

Jantungku makin berpatalu-talu. Meskipun ini bukan ciuman Alex yang pertama, tapi rasanya masih sama. Mendebarkan sesuatu di dalam sini.

Otakku berperang. Antara menolak atau membalasnya. Sialnya, reaksi tubuhku menginginkan lebih. Tanganku tanpa bisa dicegah mulai menarik kaus Alex, memintanya agar lebih merapatkan tubuh kami.

Alex begitu hebat dalam hal yang satu ini. Meskipun aku tidak membalasnya, tapi sentuhannya sanggup membuatku melayang. 

Duuuh, kenapa aku hanya bisa pasrah dengan semua perlakuannya?

Astaga! Kenapa ini benar-benar nikmat. Ciuman Alex sangat memabukkan.

“Lex,” lirihku di tengah-tengah ciumannya. Pemuda ini hanya bergumam tak jelas, masih sibuk dengan ciuman yang kini sudah beralih ke leherku.

“Stop, Lex!” seruku berusaha menjauhkan wajahnya. Dan berhasil, Alex kini sudah menyingkir dari leherku. Napasku masih memburu, demikian juga dengan Alex. Maniknya kini menyiratkan sesuatu yang aku tidak tahu apa itu.

Tajam. Seperti ingin menerkamku detik ini juga. Hati mencelos saat satu pernyataan keluar dari bibirnya. “Gue pengen lo, Ra, sekarang!”

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status