“Kau… sejak kapan kau bisa memakai sepatu seperti itu?” tanya Paula bingung. “Tidak seperti biasanya kau juga dandan dan memakai korset.”
Alis Winter sedikit bergerak. “Kak Vincent mendandaniku.”
“Kak Vincent pulang?”
“Ya.”
“Senangnya...” senyum Paula terlihat bahagia. “Pasti dia membawa banyak hadiah untukmu.”
Winter menyeringai, Vincent memang membawa banyak hadiah untuk Winter, Namun itu semua tidak terlepas dari makanan yang sangat mengganggunya.
“Winter, mengenai Hendery, aku sudah menemui dia memarahinya, Hendery tampak menyesal atas apa yang telah dia perbuat padamu, Hendery juga sudah mendapatkan hukumannya dari sekolah. Dia berharap bisa berbicara denganmu dan meminta maaf atas kejadian waktu itu.”
“Kau atur saja waktunya.”
“Baiklah.”
Paula dan Winter kembali berjalan, kebersamaan mereka tidak luput dari sorotan banyak orang yang melihat. Mereka sedikit mengolok-olok perbedaaan jauh penampilan Paula dan Winter yang tidak ada bedanya dengan bumi dan langit.
Dulu, seorang Winter Benjamin mungkin boleh saja tertunduk malu dan berjalan dengan gemetar ketika berada di samping Paula yang cantik jelita dan pandai bergaul. Namun Winter yang sekarang tidak lagi seperti itu, Winter akan mengangkat kepalanya dengan percaya diri, karena Winter yang sekarang adalah seorang Kimberly.
Kimberly adalah wanita yang sangat mencintai dirinya sendiri dan menganggap dirinya berharga. Kimberly selalu menganggap dirinya sendiri sangat cantik tanpa menganggap jelek orang lain.
Jika kini jiwa Kimberly memiliki tubuh Winter Benjamin, maka Kimberly juga akan mencintai tubuh Winter dan memperbaikinya dengan cara yang baik.
***
Beberapa orang tampak berbisik melihat Winter dan Paula yang baru keluar dari lift menuju kelas.
“Winter, kau mau aku temani sampai kelasmu?” tanya Paula penuh perhatian.
Kepala Winter terangkat melihat beberapa anak tangga di lorong yang mengarah pada ruangan kelas khusus anak-anak yang mendapatkan fasilitas khusus karena membayar biaya sekolah yang lebih mahal.
“Tidak perlu,” jawab Winter dengan senyuman setulus mungkin.
“Baiklah, sampai jumpa” Paula melambaikan tangannya dan pergi ke sisi lain menuju gedung sekolah lain yang di sambungkan dengan sebuah jembatan.
Begitu Paula pergi, Winter berbalik sambil mengusap bajunya yang sudah di sentuh Paula.
Winter langsung melangkah pergi menuju kelasnya.
Sejenak gadis itu terdiam di depan pintu, tiba-tiba Winter mendengus geli merasa rindu dengan suasana sekolah setelah sekian lama menjalani kehidupan sebagai model.
Begitu pintu kelas di buka, keramaian kelas yang di isi banyak anak-anak yang berinteraksi, kini mendadak langsung diam dan melihat ke arah Winter, semua orang terlihat kaget karena Winter sudah kembali ke sekolah dalam waktu yang cepat.
Sementara Winter yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, dia tidak menunjukan rasa malu dan gugup sama sekali. Winter hanya mengedarkan pandangannya menebak-nebak di mana mejanya.
“Permisi, kau menghalangi jalanku.” Suara seseorang yang berada di belakang membuat Winter begeser dan sedikit mendongkak melihat orang yang berbicara padanya.
Winter sedikit terperangah melihat pria berambut cokelat keemasan dan bermata hijau, pria itu terlihat sangat tampan dan memiliki proporsi tubuh seperti atlit. Kakinya yang panjang dan dada yang bidang itu membuat Winter berdecak kagum.
“Kau” panggil Winter pada pria itu.
Pria itu langsung menengok dan menatap Winter terlihat sedikit kaget, reaksi pria itu sama seperti anak-anak yang lainnya.
“Kau tahu di mana tempat dudukku?” tanya Winter dengan nada dinginnya.
Marvelo menunjuk bangku paling ujung dan paling belakang dekat loker.
Begitu sudah mengetahui tempat duduknya di mana, Winter segera pergi begitu saja meninggalkan Marvelo yang masih berdiri mematung di tempatnya.
***
Semua orang yang ada di dalam kelas semakin bungkam begitu melihat Winter yang berpenampilan baru tengah berjalan dengan santai dan penuh percaya diri menuju bangkunya.
“Tidak aku sangka, kau memiliki keberanian untuk kembali menunjukan diri.” Sambut gadis berambut kemerahan dengan cat kuku yang sangat cantik, gadis itu duduk bersedekap melihat Winter yang melangkah melewatinya.
Winter yang malas menjawab langsung duduk di mejanya yang kini sedikit berantakan, bahkan komputer miliknya di corat-coret dan mendapatkan pesan makian dari lembaran surat yang di simpan.
Merasa di abaikan, gadis berambut merah yang bernama Selina itu segera bangkit dan melewati orang-orang yang hanya diam dan menonton.
Selina menggebrak meja Winter dengan keras. “Setelah tebal muka dan tidak tahu malu, sekarang kau juga tuli?” tanya Selina dengan tajam.
Kepala Winter terangkat membalas tatapan tajam Selina. “Berhentilah bicara omong kosong. Jalang,” jawab Winter penuh peringatan.
Wajah Selina sedikit memucat kaget, Winter yang selalu tertunduk dan hanya meminta maaf meski di ganggu dengan berlebihan, kini dia membalas tatapannya dengan tajam dan membalas ucapannya dengan makian.
Selina langsung tersenyum meremehkan, “Sejak kapan kau memiliki keberanian? Apa rasa malu menumbuhkan keberanianmu?” tanya Selina dengan sedikit keras. “Pecundang tetaplah pecundang, kau harus tahu itu! Meski kini kau berani bicara dan menatapku, kau tidak akan pernah berubah karena semua orang akan tetap mengingatmu sebagai badut sekolah yang terlalu berhayal untuk menerima cinta dari seorang laki-laki hingga membuatmu menjadi seperti gadis gila tidak tahu malu.”
Hinaan Selina membuat beberapa orang sedikit tertawa teringat keberanian Winter yang menyatakan perasaannya begitu saja di depan umum kepada seorang pria.
Selina sedikit membungkuk dan menatap tajam Winter. “Bukan kesalahan Hendery jika dia menolakmu, Hendery juga pantas malu dan memakimu saat kau menyatakan cinta kepadanya. Siapapun akan merasa tidak nyaman jika mendapatkan pengakuan cinta darimu.” Tambah Selina lagi menggertak mental Winter.
Alih-alih tergertak, Winter hanya berkedip santai. Menghadapi sepuluh sampai seratus orang yang membencinya, itu bukan masalah.
Saat menjadi Kimberly, dia sudah pernah merasakan di benci jutaan orang.
Ini bukan apa-apa.
“Kau sudah selesai bicaranya?” Tanya Winter dengan tenang terlihat tidak tergertak sama sekali dengan apa yang telah di lakukan Selia kepada dirinya. “Kalau masih mau bicara, agak mundurlah sedikit. Aku tidak suka aroma parfume di bajumu.”
Selina mengepalkan tangannya, semua ucapan yang keluar dari mulutnya langsung di patahkan oleh Winter hanya dengan beberapa patah kata murahan.
“Kau benar-benar bersikap menyebalkan” geram Selina marah. “Aku benar-benar muak hanya dengan melihatmu.”
Winter langsung bersedekap dan memakan sebuah permen karet, Winter harus melatih rahangnya agar sedikit berbentuk dengan cara memakan permen karet secara teratur.
Andaikan saja dia sudah dewasa, dia akan melatih rahangnya dengan memaki dan menghardik orang-orang yang menyebalkan.
“Jika muak, pindah kelaslah dan berhenti membullyku.”
Sontak Selina tertawa begitu pula beberapa orang lainnya. Mereka tidak merelai namun mendorong Selina untuk terus semakin jauh mengganggu Winter.
“Seharusnya kau yang pindah, kau tidak pantas berada di level kelas ini!” bentak Selina dengan keras seraya menggebrak meja lagi.
“Oh astaga” Winter mulai kesal karena harus adu mulut, gadis itu langsung berdiri dan bertolak pinggang. “Biarkan aku beritahu kau, seorang pembully biasanya suka mengganggu orang lain karena dia iri dan merasa posisinya terancam. Kau dan aku memang tidak satu level karena aku terlalu tinggi. Jika aku ada di bawah levelmu, kau tidak akan menggangguku. Kau menggangguku karena posisiku lebih tinggi darimu.”
Selina bungkam dengan ucapan Winter yang sangat lantang dan percaya diri.
“Satu lagi, orang sepertimu itu adalah pecundang besar, kau tahu kenapa? Kau dan teman-temanmu yang di ada di belakangmu hanya berani merundung satu orang secara beramai-ramai. Kalian menganggap diri kalian keren? Astaga lihat wajah-wajah sampah kalian! Sikap kalian seperti setumpuk pecundang yang tidak memiliki keberanian melawan satu orang manusia sepertiku.” Winter berbicara dengan percaya diri seraya menunjuk satu persatu orang yang sudah menertawakannya.
Semua orang di buat bungkam dengan ucapan pedas yang keluar dari mulut Winter.
“Bicaralah dengan pengacaraku jika merasa tidak nyaman atas keberadaanku. Aku tidak akan mau berbicara dengan kalian karena aku terlalu sempurna,” kata Winter lagi terlihat sangat tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Winter kembali duduk di kursinya dan menyalakan komputernya, sementara Selina yang kehabisan argument segera mundur dan kembali duduk. Selina terlihat sedikit shock dengan perubahan Winter yang sangat tidak dia kenal.
To Be Continue..
Dua tahun kemudian.. Kota Den Haag Sebuah gedung hotel tampak sibuk dan ramai malam ini karena ada pesta besar yang sedang merayakan ulang tahun hotel Lessy yang berpusat di kota Neydish. Di dalam sebuah ruangan besar orang-orang berkumpul, mereka terlihat anggun dan tenang, saling berbicara satu sama lainnya menikmati pesta yang sedang berlangsung. Seorang wanita bergaun putih memainkan cello opera di tengah pesta, wanita itu memainkan musik Romeo & Julliet Love Theme. Para tamu undangan yang berdiri dan sibuk bicara di buat terkesima mendengarkan alunan musik yang begitu dalam menghiasi malam pesta. Mereka berbalik melihat sepenuhnya ke arah orang-orang yang bermain musik dan sejenak menghentikan pembicaraan mereka. Di antara banyak orang yang melihat musik, seorang pria berdiri di depan jendela, pria itu sibuk dengan kesendiriannya, memandangi langit malam yang begitu gelap. Alunan musik dalam pendengarannya membawa dia dalam sebuah ingatan indah ketika dia belajar menari di
Sebuah photo terbingkai di pajangkan di atas meja belajar, Winter menopang dagunya melihat photo dirinya saat pelulusan sekolah di hadiri Benjamin dan Vincent. Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak kematian Marius dan kepergian Marvelo, kini Winter bisa duduk santai di meja belajarnya, tidak tahu apa yan harus dia lakukan karena semua tujuan hidupnya yang dia cari sudah berada dalam genggaman, yaitu kebahagiaan dan balas dendamnya yang sudah di tuntaskan. Setiap akhir pekan Winter akan mengunjungi makam Kimberly dan Marius, sudah dua kali juga Winter bertemu Jenita akhir-akhir ini. Keadaan Jenita terlihat lebih baik dari sebelumnya, Jenita bersama Levon membangun lebih luas panti asuhan tempat tumbuhnya Kimberly. Keduanya tampak mulai menikmati masa-masa tua mereka, Felix menjaga mereka dengan baik sebagaimana keinginan Marius. Sejak hukuman Paula di tetapkan, kini Winter tidak lagi bertemu dengannya. Untuk Marvelo, sejak kepergiannya ke Belanda, dia tidak memberikan kabar
Satu bulan setelah kepergian Marius, kini Winter kembali harus melanjutkan kehidupannya seperti biasa, sedikit demi sedikit gadis itu berusaha menyembuhkan hatinya dan kembali menemukan kekuatannya lagi. Winter harus berjuang lebih kuat karena Marvelo juga sudah menghilang dari sisinya, tidak ada lagi seseorang yang bisa menjadi teman penghapus kesedihannya. Jiwa Kimberly sempat berpikir, melepaskan Marvelo akan membuat perasaan dia lebih baik karena tidak lagi membuat Marvelo tersiksa karena memendam perasaannya. Rupanya tidak semudah itu, karena jiwa Kimberly merasakan kekosongan besar di dalam hatinya. Ternyata, Marvelo memiliki tempat yang begitu spesial dia dalam hati Winter Benjamin. Meski kini mereka berpisah jauh, kini Winter hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk Marvelo. Hari ini adalah hari persidangan pertama Paula, persidangan akan di adakan secara terbuka sehingga siapapun dapat menyaksikannya. Winter sudah siap untuk menghadirinya. Winter berdiri di depan jende
Marvelo menarik kopernya melewati beberapa orang yang ada di depannya, sekilas pria itu melihat ke belakang, Marvelo tersenyum hangat melihat Charlie dan Lessy melambaikan tangan mereka mengantar kepergian Marvelo. Marvelo kembali melangkah, pria itu tetap tersenyum menyembunyikan suatu perasaan yang mengganjal di hatinya. Kepergian Marvelo terasa tidak begitu menyenangkan karena dia meninggalkan Winter dalam keadaan sedang terluka. Tidak ada maksud untuk dia meninggalkan Winter sendirian, namun keadaan yang memaksa Marvelo harus mengambil keputusan ini. Meski Marvelo ingin menemaninya dan membantu gadis itu bangkit dari kesedihannya, namun Marvelo juga tidak berani terus mendekat karena dia harus segera melenyapkan perasaannya. Marvelo tidak ingin menjadi pria lemah yang hidup tanpa tujuan dan tidak berani mengambil keputusan karena sebuah keraguan. Marvelo harus melangkah ke depan. Andaipun suatu hari nanti dia masih tidak bisa melupakan Winter dan masih memiliki kesempatan un
Payung yang meneduhi Winter menghilang, Nai pergi ke belakang dan berdiri dengan para pengawal lainnya. Sementara Winter, gadis itu masih tetap berdiri di tempatnya melihat makam dirinya dan Marius yang berdampingan berada di tempat yang jauh dari pemakaman yang lainnya. “Aku akan merindukanmu Marius, sama seperti saat kau merindukanku ketika aku hilang. Namun aku juga akan bangkit Marius, seperti apa yang kau inginkan, aku akan bahagia dan menjalani kehidupanku dengan baik. Terima kasih telah menjadikanku cinta pertama dan terakhirmu, aku merasa begitu terhormat.” Winter membungkuk,meletakan bunga yang sejak tadi tidak lepas dari pelukannya. “Aku tidak akan melupakanmu Marius, aku mencintaimu.” Matahari yang turun mulai kehilangan cahayanya, pohon-pohon besar yang berdiri menjulang mengelilingi area pemakaman mulai menghalangi sore terakhir hari ini. Angin berhembus lebih kuat menggerakan rumput-rumput dan bunga liar di sekitarnya. Winter tercekat kaget, samar dia melihat bayang
Marvelo terduduk di kursinya melihat keluar jendela, memperhatikan Irina yang kini tengah makan siang bersama Lessy dan juga Charlie. Marvelo menghela napasnya dengan berat, dua hari ini terakhir ini dia sempat di buat galau karena mendengar pengakuan Winter, rupanya gadis itu sudah tahu mengenai perasaannya, sayangnya Winter tidak ingin mendengarkan pengakuan cinta Marvelo. Marvelo sedikit marah dan kecewa, jika saja Winter tidak terlalu menggodanya dan menunjukan sikap seperti seseorang yang suka kepadanya, mungkin Marvelo tidak akan menaruh harapan yang banyak dan berpikir bahwa gadis itu memiliki perasaan juga kepadanya. Marvelo malu karena ternyata dia terlalu terbawa perasaan dengan kebaikan yang Winter berikan kepadanya. Ini sangat menyakitkan, mengecewakan dan membuat Marvelo beberapa kali harus duduk termenung memikirkan bagaimana cara mengatasi patah hatinya. Kini, tidak ada lagi alasan yang bisa menahan Marvelo berlama-lama di Neydish, Marvelo akan segera pergi. Di am