Thank's udah baca. Semoga suka♪~(´ε` )
Langkah Bella terasa berat ketika ia meninggalkan rumah Leon sore itu. Langit tampak mendung, dan udara seakan lebih dingin dari biasanya. Ia tahu, waktu yang tersisa makin sedikit. Sejak peringatan terakhir dari wanita tua di lukisan itu, ia sudah bertekad untuk menyelesaikan semua yang belum sempat ia lakukan di dunia ini.Salah satu hal yang mengganjal di pikirannya adalah… Sheryl.Sheryl—pemeran utama wanita di dunia novel ini. Gadis yang namanya sering ia dengar dari berbagai obrolan, gosip, dan bahkan dari Revan. Jika jalan cerita novel ini sudah sesuai seperti yang ditakdirkan penulisnya, maka Sheryl pasti sudah bersama Alex, pria yang digambarkan sebagai pasangan sempurna dalam kisah ini.Dan benar saja.Saat Bella mencari informasi dengan cara yang sederhana tapi efektif—mengamati media sosial, membaca artikel, dan mendengar obrolan orang di kafe. Tak butuh waktu lama sampai ia menemukan foto-foto Sheryl dan Alex di pesta pernikahan sahabat mereka, bergandengan tangan, saling
Sejak kejadian di pameran lukisan, Bella tidak pernah benar-benar merasa tenang lagi. Setiap langkahnya, tatapan Leon, dan senyum hangatnya… kini dibayang-bayangi oleh satu kenyataan pahit--waktunya bersama pria itu akan segera habis. Ia mencoba bersikap normal, tapi dunia di sekelilingnya mulai menunjukkan tanda-tanda aneh. Hari itu, Bella dan Leon duduk di sebuah kafe kecil di dekat komplek. Mereka memesan kopi dan roti, lalu mengobrol ringan. Awalnya semua terasa biasa saja—hingga Bella menyadari sesuatu. Pelayan yang sama terus lewat di depan meja mereka. Awalnya ia pikir itu kebetulan, tapi gerakannya persis sama, langkahnya sama, bahkan ekspresi wajahnya sama persis. Seolah-olah seseorang sedang menekan tombol replay pada adegan itu. “Leon…” bisik Bella sambil menyentuh lengannya. “Kamu lihat nggak? Pelayan itu—” Namun sebelum ia selesai bicara, pelayan itu… hilang. Bukan pergi ke arah dapur, bukan pula menunduk. Ia seperti menguap begitu saja di udara, meninggalkan ruang
Siang itu, langit Jakarta sedikit mendung, tapi udara justru terasa panas. Bella baru saja keluar dari sebuah gedung tinggi setelah menjalani wawancara kerja. Ia belum tahu hasilnya, tapi di wajahnya tidak ada beban. Leon sudah menunggu di luar, bersandar santai di mobil hitam besarnya, dan tersenyum lebar menyambutnya. “Gimana?” tanya Leon sambil membukakan pintu mobil. Bella masuk, menaruh tas di pangkuan, lalu menarik napas panjang. “Lumayan. Aku udah ngasih yang terbaik sih... tapi masih ragu.” Leon mengangguk puas. “Aku yakin kamu keterima. Mereka pasti butuh orang kayak kamu—rajin, pintar, dan… cantik.” Bella tersenyum tipis, tapi hatinya justru terasa berat. Ia menatap Leon yang sedang fokus menyetir. Begitu damai wajah itu, begitu tenang, seolah hidupnya kini hanya punya satu tujuan, menjaganya. Itu yang membuatnya khawatir. “Leon,” ucap Bella pelan. “Hm?” Leon menoleh sebentar, lalu kembali menatap jalan. “Aku mau kamu janji satu hal.” Leon mengernyit, agak penasaran
Sejak hari wisuda Bella itu, Regan seperti punya kebiasaan lama yang tidak pernah ia rencanakan. Mengawasi Bella. Bukan menguntit secara harfiah, tapi mata dan telinganya seperti selalu peka kalau menyangkut gadis itu. Kadang lewat unggahan di media sosial, kadang dari kabar yang tak sengaja ia dengar di kampus atau lingkar pertemanan mereka. Yang membuatnya gelisah adalah bagaimana Leon—si pelukis yang kini ia kenal namanya. Ia selalu ada di sisi Bella. Seakan setiap momen penting dalam hidup gadis itu adalah potongan puzzle yang disusun oleh tangan Leon. Beberapa kali Regan tanpa sengaja melihat mereka di kafe sekitar kampus. Leon duduk santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, sambil memandang Bella seperti tokoh utama pria dalam drama Korea. Pandangan hangat, lembut, namun penuh klaim diam-diam. Dan Bella? Ia tertawa, menunduk malu setiap kali Leon membisikkan sesuatu. Puncaknya, suatu sore, Regan melihat Leon menuntun Bella turun dari mobil hitam besarnya.
Regan menatap senyum Bella dari kejauhan. Senyum itu bukan untuknya—sudah lama bukan untuknya—tapi tetap saja, ada sesuatu di dalam dirinya yang tertarik, tertahan, dan terjerat di sana. Bella sedang berdiri di pelataran kampus, menunduk sedikit sambil tertawa kecil saat mendengar lawan bicaranya bercanda. Cahaya sore menimpa wajahnya, membuat kulitnya tampak berpendar hangat. Hari itu sebenarnya adalah hari pertama Regan kembali ke rutinitas normalnya setelah pesta pernikahan yang melelahkan, dan pekerjaan yang menumpuk di kantor. Ia hanya ingin melihat Bella sebenarnya. Semua orang bilang Yola adalah pasangan yang sempurna untuknya—cantik, anggun, dan berasal dari keluarga terpandang. Tidak ada alasan untuk ragu, apalagi menolak. Pernikahan itu disambut penuh restu dari keluarga dan kolega. Namun, Regan tahu bahkan di hari pernikahannya sosoknya pun sempat mampir sebentar di benaknya. Hari-hari pasca pernikahan membuat Regan sibuk luar biasa. Ia harus kembali mengajar di kampus s
“Aku mau kamu jadi pacarku.” Hati Bella berdegup kencang. Ia mengalihkan pandangan ke pemandangan kota, mencoba menyusun kata. “Leon… aku… belum bisa buka hati untuk orang lain sekarang.” Leon tidak memaksakan. “Aku ngerti. Tapi… aku tetap mau kamu jadi pacarku. Kalau kamu setuju, aku akan leluasa menunjukkan siapa aku sebenarnya. Aku nggak akan menuntut kamu langsung balas perasaan ini. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku serius.” Bella menggigit bibirnya. “Aku… butuh gwaktu.” Leon mengangguk. “Aku akan menunggu.” Malam itu mereka menghabiskan waktu dengan makan sambil menikmati angin malam, tanpa banyak kata-kata lagi. Namun suasana di antara mereka terasa berbeda. Ada jarak yang mulai hadir, dan ada janji tak terucap bahwa hubungan ini akan terus berkembang. ••• Tiga hari berlalu sejak malam di rooftop itu. Tiga hari di mana Bella memikirkan kata-kata Leon berulang kali. Tiga hari di mana ia mencoba menimbang, menimbang, dan menimbang lagi—apakah ia siap membuka pint