Mila terbangun dan mendadak ada di tubuh karakter antagonis novel yang ia baca sebelum tidur! Masalahnya tak hanya itu, Mila yang polos ini harus menjadi Sugar Baby dari Paman Pemeran Utama Wanita dan akan mati karena dibunuh oleh Pemeran Utama Pria! Tentu Mila tidak ingin semua itu terjadi! Mila mulai melarikan diri, tetapi ia terlambat menyadari jika Paman dari Pemeran Utama Wanita itu terlanjur terobsesi dengannya? Ia dipaksa melayani nafsu pria tampan nan kaya itu...! Lantas, bagaimana rencana Mila selanjutnya? Note: kalian bisa cek visualnya di aku IGe @by_bluerose
View More"Engghhh...."
Mila terbangun dari tidurnya, tapi entah kenapa saat ia bangun kali ini rasanya lebih nyaman dari biasanya. Biasanya ia tidak tidur di atas kasur, di bawah selimut, atau di ruangan ber-AC. Namun kali ini, ia merasakan semuanya ada dan jangan lupakan udara dan wanginya yang berbeda. Wangi parfum impiannya Rose & Oud—karena harganya mahal. Tak hanya itu, ia merasakan sedang memeluk bantal guling yang hangat, keras tapi tak sekeras kayu apalagi batu, itu lebih seperti... tunggu, teksturnya seperti kulit manusia. Sepertinya ia tak sedang tidur bersama Hani—temannya yang sering menginap? Tapi kenapa ada kulit manusia. Ia juga merasa tak memakai pakaian, minimal celana dalam, tapi ini tidak. "Han?" gumamnya masih menutup mata. "Hem? Siapa itu Han, cowok lain?!" 'Suara siapa itu?' Merasakan keanehan itu, Mila membuka matanya dan langsung disuguhi dada berotot seorang pria. Kemudia iq mendongak ke atas dan melihat seorang pria bule sekitar 27 tahun, sedang menatapnya. "Kamu siapa?!" teriaknya kaget. Ia spontan bangun dari berbaringnya dan menatap pria itu dengan ngeri. Pria dewasa itu terlihat sekali bingung, terlihat dari alisnya yang naik sebelah. "Haha... Sayang, Pagi-pagi sudah menggodaku, hem?" ujarnya mencolek dagu Mila. Mila langsung menepisnya dan menatapnya tajam. "Jangan gila deh Om, Om perkosa aku?!" tanyanya to the point. Tunggu, suaranya? Mila baru menyadari kalau suaranya berbeda, lebih serak dari yang biasanya halus. Pria itu masih bingung mengamati tindakan perempuan di depannya. Lalu, Mila menyadari sesuatu. Ia langsung menoleh ke segala penjuru ruangan, mencari cermin. Cermin itu ada di meja rias, ia langsung ke sana dan melihat dirinya yang telanjang dan yang terpenting wajahnya bukan miliknya dan tubuh itu terlalu seksi untuknya yang tepos. "Siapa ini?" gumamnya ketakutan. Ia langsung mencari pakaiannya dan mengambilnya dengan panik, tanpa mendengarkan pertanyaan pria itu yang terus menanyakan kenapa dirinya. "Baby, tunggu. Kenapa kamu begini?" tanyanya. Mila memakai pakaian yang ada di lantai itu dengan buru-buru, dan juga pakaian itu terlalu seksi untuk gayanya yang biasanya tertutup. "Hey!" Pria itu mencekal tangan Mila yang sedang mengancingkan celananya, tapi ditepis lagi oleh Mila. Merasa tidak diperhatikan, pria itu langsung menangkup wajah Mila dan menatapnya serius. Sangat berbeda saat pertama kali Mila menatap wajahnya, itu terlihat lembut dan penuh kasih sayang. "Baby, tolong jelaskan kenapa? Kenapa kamu begini?" tanyanya lembut. Meski suaranya panik, itu tetap terdengar lembut dalam pendengaran Mila. "Oke... aku tidak tau apa masalahmu, tapi, kenapa kamu buru-buru?" tanyanya. "Mau kuliah, udah telat?" "Kuliah?" tanya Mila balik. Seingatnya, ia baru saja Wisuda dan bekerja di restoran sambil mencari kerja yang lebih baik. "Apakah bimbingan?" tanya pria itu lagi. "Kamu siapa sih?" tanya Mila sambil menurunkan tangan pria itu dari pipinya. Pria itu langsung berdiri dan duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya. Sepertinya pria itu juga frustasi, lalu kenapa Mila ada di sini? "Bella, aku tidak tau salahku apa, tapi bagaimana bisa kamu berpura-pura tidak tahu?" tanya pria itu dramatis. "Sini peluk dulu, kamu minta apa? Liburan ke Bali, Swiss, Paris, atau... mau Mobil baru, apartemen baru, atau rumah, saham?" Mila terkejut mendengar itu, hal-hal mewah yang hanya akan ia bayangkan tanpa ada kemungkinan memilikinya. "Apa sih yang kamu katakan, kamu siapa? Aku benar-benar tidak tau kamu siapa, tiba-tiba tidur di sampingku dan kenapa aku di sini? Tunggu... namaku Mila, bukan Bella!" "Mila? Sayang jangan bercanda," ujar pria itu tersenyum ragu. Mila pun terkejut sendiri dengan situasi ini saat sebuah ingatan merayap di kepalanya, ia merasa pusing dan berkunang-kunang. Detik berikutnya, ia ambruk. "Bella!" •• Saat membuka mata, Mila merasakan bau obat dan suasana yang cukup ramai. Ia melenguh dan membuka matanya, seperti tebakannya, ia ada di Rumah Sakit. "Apa yang terjadi?" gumam Mila. Tiba-tiba pria yang tadi pagi ia lihat sudah ada di sana, ia menatapnya dengan khawatir. "Sayang, apa yang kamu rasakan sekarang?" tanyanya sambil menggenggam tangannya. Setelah dilihat di cahaya terang, pria itu sangat tampan, tapi tubuh yang sekarang ia tempati memang lumayan cantik, tapi agak aneh kalau pria itu memilihnya. Maksudnya, ada yang lebih cantik dari tubuh yang ia tempati untuk ukuran ketampanan pria itu. 'Pria itu terlalu tampan, apa mungkin ia aktor Hollywood? Tapi bisa bahasa Indonesia, atau mungkin blasteran,' batin Bella sibuk dengan pikirannya sendiri. Kemudian ia tersadar dan melihat pria itu dengan tatapannya yang sayu. "Aku hanya sedikit pusing," jawab Mila dingin. Pria itu kemudian duduk di samping ranjangnya dan menggenggam tangannya dengan penuh kehangatan. Meski Mila tidak kenal, tubuh itu terasa sangat familiar seolah ini bukan pertama kalinya mereka saling berpegangan tangan. "Dengar, aku tidak tau persis apa yang terjadi padamu karena dokter tidak menemukan tanda amnesia. Tapi... jika kamu stres, kita bisa ke psikiater. Apakah kamu bersedia?" Mila mengangguk, sepertinya benar, ia harus ke psikiater, ia harus memastikan apa yang terjadi.Pagi itu, desa kecil tempat tinggal Mila berubah menjadi lautan putih. Tenda sederhana dipasang di halaman rumahnya, dihiasi bunga melati dan mawar yang dipetik dari kebun tetangga. Semua orang sibuk, para ibu-ibu desa menyiapkan hidangan, bapak-bapak mengatur kursi, dan anak-anak berlarian bermain dengan gembira. Mila duduk di kamar dengan kebaya putih sederhana, wajahnya dihiasi riasan tipis. Ia terlihat cantik sekali, tapi matanya terus berkaca-kaca. “Tenang, Nak. Jangan gemetar begitu. Semua akan baik-baik saja,” kata ibunya sambil menggenggam tangan Mila. Di luar, Deva sudah siap dengan beskap putih dan peci hitam. Jantungnya berdebar kencang. Ia melihat wali dari Mila--paman dari pihak ayah sudah menyiapkan kursi dan meja akad. Warga desa pun sudah berkumpul, penuh rasa penasaran. Akhirnya, prosesi dimulai. Penghulu membuka acara dengan suara khidmat. Deva duduk di kursi akad, di sampingnya ada Paman Agus--wali Mila. “Ijab kabul akan segera dilakukan. Saudara Deva Arkan
"Pih, izinkan aku menikahi Mila." Hari itu, Deva berdiri tegap di hadapan ayahnya. Jantungnya berdebar, seakan setiap detik berjalan lambat. Mila di sampingnya, terlihat menunduk dengan tangan yang dingin. Ia memegang erat jemari Deva, seakan itu satu-satunya kekuatan yang bisa membuatnya tidak goyah. Deva yakin hari ini akan menjadi hari paling berat dalam hidupnya. Ia sudah membayangkan wajah sang ayah, Teo, yang penuh amarah, penuh gengsi, menolak mentah-mentah permintaannya untuk menikahi Mila. Namun, siapa sangka jawaban yang datang justru mengejutkannya. Teo duduk di kursi empuk ruang kerjanya, menyilangkan kaki, tatapannya tajam namun tenang. “Papi tidak menolak hubungan kalian.” Deva menahan napas. Mila pun langsung mengangkat wajahnya dengan mata membesar. “Tapi…” lanjut Teo, suaranya berat. “Kalau kamu benar-benar ingin menikahi gadis ini, dia harus siap menjadi pendampingmu. Tidak hanya sekadar istri yang duduk manis di rumah.” Deva merasakan dadanya menegang.
Deva berdiri mematung di lorong rumah. Punggungnya merapat pada dinding dingin, napasnya memburu. Kata-kata ibunya masih terlintas jelas di telinganya. "Kamu kira kamu beda jauh dari Deva? Bahkan saat kamu sudah punya aku sebagai istri, kamu tetap mengejar wanita yang kamu cintai kan? Jangan sok suci! Biarkan Deva memilih, daripada menikahi orang yang tidak ia cintai, lalu mencampakkannya seperti kamu padaku." Deg. Itu adalah kali pertama Deva mendengar Imelda benar-benar melawan Teo. Selama ini, yang ia tahu, ibunya hanyalah sosok anggun, kalem, dan selalu menjaga kehormatan keluarga. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan bahwa wanita yang ia kagumi itu menyimpan luka begitu dalam. Suara ibunya bergetar, penuh luka. “Hampir empat puluh tahun kita bersama, dan aku hidup denganmu hanya sebagai pajangan. Kamu tidak pernah menanyakan perasaanku saat kamu bahagia dengan wanita lain, sementara aku kesepian sampai akhir. Saat ini aku sudah tidak peduli lagi, tapi tolong jangan ego
Udara siang itu terasa berbeda bagi Deva. Tidak hanya karena sinar lampu sorot yang menyorot tajam di atas panggung kecil, tapi juga karena beratnya keputusan yang sebentar lagi ia dan Keyla akan umumkan. Di aula besar perusahaan baru yang akan diluncurkan hari itu, tamu undangan sudah ramai berdatangan. Wajah-wajah familiar dari para rekan bisnis, pejabat daerah, hingga media memenuhi ruangan. Balon-balon silver dan putih menghiasi dinding, sementara pita merah besar terbentang di depan pintu masuk kantor pusat perusahaan baru mereka. Deva menatap Keyla di sampingnya. Mereka masih terlihat serasi, sama-sama mengenakan pakaian formal elegan. Senyum profesional terpampang di wajah mereka, seakan semua baik-baik saja. Mereka bahkan bergandengan tangan—seperti pasangan idaman yang hendak meresmikan kerja keras mereka. Namun hanya mereka berdua yang tahu, genggaman itu bukanlah genggaman cinta. Itu genggaman terakhir sebelum mereka melepaskan peran yang selama ini mereka mainkan. "
Ruang rawat itu terlalu putih, terlalu hening, dan terlalu mengintimidasi bagi Mila. Aroma obat-obatan menyeruak tajam begitu ia melangkah masuk bersama Edric. Langkahnya tertahan di ambang pintu, jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena cemas dengan keadaan Deva, melainkan juga karena seseorang yang berdiri tak jauh dari ranjang rumah sakit itu. Wanita itu. Imelda. Ia tampak anggun seperti biasa, mengenakan blus putih sederhana namun berkelas, rambutnya disanggul rapi, dan senyumnya terjaga seolah dunia ini baik-baik saja. Padahal Mila tahu betul, di balik senyum itu tersimpan ancaman yang masih menancap dalam kepalanya. Ancaman agar ia menjauh dari Deva. Ancaman yang membuat Mila beberapa kali menangis sendirian. Langkah Mila melemah, hampir tak mampu mengangkat kakinya untuk masuk lebih jauh. “Masuklah,” bisik Edric, mencoba memberi dorongan halus. Ia sendiri menatap Imelda dengan sorot mata penuh kehati-hatian. Namun berbeda dari perkiraan Mila, Imelda sama sek
Malam itu, angin Jakarta berhembus lembut. Lampu-lampu jalan menyala, menyoroti wajah Mila yang masih tegang. Ia duduk berhadapan dengan Edric di sebuah café kecil dekat kantor. Tempat itu sepi, hanya ada mereka berdua dan beberapa pengunjung yang sibuk dengan urusan masing-masing. Edric diam cukup lama. Tangannya memainkan gelas kopi yang sudah dingin, seakan mencari kata-kata yang tepat. Mila menatapnya dengan waspada, hatinya diliputi rasa penasaran sekaligus cemas. “Jadi… kamu serius waktu itu? Soal Leon?” suara Mila pecah dalam keheningan. Edric menghela napas panjang. Ia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Mila dengan tatapan yang dalam, tak lagi dengan senyum liciknya seperti biasanya. “Aku nggak bercanda, Mila.” ia berhenti sebentar. “Aku memang Leon.” Darah Mila seakan berhenti mengalir. Bibirnya terkatup rapat, jantungnya berdegup keras. “Aku… Leon di dunia novel itu?” ia berbisik, masih berusaha mencerna. Edric—atau Leon—mengangguk pelan. “Aku sendiri baru sadar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments