Bagaimana, Guys? Tanggapannya dongヾ(❀╹◡╹)ノ゙
Hari pertama selalu terasa menegangkan, tapi bagi Mila, ketegangannya berlipat ganda karena ia diterima di perusahaan bergengsi. Ia berdiri di depan gedung menjulang dengan kaca yang berkilauan, memantulkan sinar matahari pagi. Gedung itu, tempat markas besar PT. Arka Group di mana ia diterima di sub company yakni RBI (Ravenspire Beauty International), perusahaan kecantikan dan fashion ternama yang kini menjadi tempat ia bekerja. Tangannya yang memegang map terasa dingin karena keringat. Bukan hanya karena gugup, tapi juga karena ia tahu betul bahwa di dalam sana, dirinya bukan siapa-siapa. “Mulai dari nol, Mila…” gumamnya lirih, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk melewati pintu kaca otomatis. Resepsionis menyambut dengan senyum profesional. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” “Selamat pagi. Saya Mila… karyawan baru, ditempatkan di divisi administrasi RBI,” jawabnya, suaranya sedikit bergetar. Beberapa menit kemudian, ia digiring ke lantai 12, tempat
Ting! Mila mengusap keringat di dahinya, saat sebuah pesan masuk di ponselnya. Awalnya ia kira pesan biasa dari Hani atau keluarganya, tapi setelah melihat isinya. Ia terkejut setengah mati. From: HRD PT. Arka Cemerlang Group “Selamat sore, Saudari Mila Rahmadani. Lamaran Anda telah lolos tahap administrasi. Kami mengundang Anda untuk mengikuti proses wawancara kerja di kantor pusat kami pada hari Senin, pukul 10.00 WIB.” Mila membeku. Tangannya bergetar hebat hingga ponsel hampir jatuh. “Gila… ini beneran? Aku lolos?” Air matanya nyaris tumpah. Sudah ratusan bahkan ribuan lamaran ia kirimkan, tak satu pun yang membuahkan hasil. Kini, di saat ia sudah menyerah, saat ia sudah berencana kembali ke kampung dengan segala rasa kalah, tiba-tiba… dunia memberinya secercah cahaya. . Malam itu, Mila tak bisa tidur. Pesan undangan wawancara ia baca berulang kali. Rasanya seperti mimpi. Tapi setelah euforia awal mereda, rasa cemas perlahan menyusup. “Bagaimana kalau aku gaga
Mila masih suka berharap jika ia akan kembali ke dunia novel. Dunia nyata ini terlalu membuatnya sulit bernapas. "Bolehkah aku bermimpi saja?" gumamnya hampir menangis. Bagaimana tidak? Setiap kali ia ingin bersantai, Ibu dan adik-adiknya menghubunginya meminta dikirimi uang. Padahal ia juga sudah berusaha menghemat di perantauan. Tubuhnya kurus kering, sampai pipinya agak cekung. Ia ingin menyerah saja. Namun ingat bahwa ia tak bisa terlarut pada masalah, tapi harus fokus pada solusi. Ratusan email ia kirim ke perusahaan, tapi tak ada yang tembus ke sana. Dirinya seolah hidup dalam bayang-bayang lelah dan membutuhkan. Andai ia bertemu Revan di dunia nyata, ia bisa memiliki teman yang bisa ia ajak berkeluh kesah. Saking menyatunya dengan dunia novel itu, Mila sampai lupa kalau ia punya Hani--sahabatnya. Hani mengajaknya hangout sehabais kerja ke pasar malam yang ada di daerah Jakarta Pusat. "Lu keliatan lesu banget, ih! Gue jadi prihatin ama elu. Lu yakin gak papa?"
Mila membuka matanya dengan perasaan aneh. Udara yang ia hirup tidak lagi dipenuhi wangi parfum mahal, aroma bunga segar, atau roti hangat dari dapur apartemen mewah milik Bella di dunia novel. Yang ada hanyalah bau tikar berjamur yang sudah lama tidak dicuci, bercampur dengan aroma lembap dari dinding kosannya yang retak. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup lampu bohlam kecil yang menggantung seadanya. Pandangannya jatuh pada lemari tua yang catnya sudah mengelupas, kursi plastik yang satu kakinya diganjal batu bata, serta setumpuk buku kuliah yang berdebu di sudut kamar. “Aku… balik?” gumamnya lirih. Kepalanya terasa berat. Jantungnya berdegup kencang, seakan tubuhnya masih belum sepenuhnya percaya bahwa ia kini benar-benar terbangun di dunia nyata. Dunia di mana ia hanyalah Mila, gadis biasa yang berjuang keras mencari pekerjaan setelah lulus kuliah, bukan Bella yang difasilitasi sugar daddy dan hidup di lingkaran elit. “Benar-ben
Langkah Bella terasa berat ketika ia meninggalkan rumah Leon sore itu. Langit tampak mendung, dan udara seakan lebih dingin dari biasanya. Ia tahu, waktu yang tersisa makin sedikit. Sejak peringatan terakhir dari wanita tua di lukisan itu, ia sudah bertekad untuk menyelesaikan semua yang belum sempat ia lakukan di dunia ini. Salah satu hal yang mengganjal di pikirannya adalah… Sheryl. Sheryl—pemeran utama wanita di dunia novel ini. Gadis yang namanya sering ia dengar dari berbagai obrolan, gosip, dan bahkan dari Revan. Jika jalan cerita novel ini sudah sesuai seperti yang ditakdirkan penulisnya, maka Sheryl pasti sudah bersama Alex, pria yang digambarkan sebagai pasangan sempurna dalam kisah ini. Dan benar saja. Saat Bella mencari informasi dengan cara yang sederhana tapi efektif—mengamati media sosial, membaca artikel, dan mendengar obrolan orang di kafe. Tak butuh waktu lama sampai ia menemukan foto-foto Sheryl dan Alex di pesta pernikahan sahabat mereka, bergandengan tangan, sal
Sejak kejadian di pameran lukisan, Bella tidak pernah benar-benar merasa tenang lagi. Setiap langkahnya, tatapan Leon, dan senyum hangatnya… kini dibayang-bayangi oleh satu kenyataan pahit--waktunya bersama pria itu akan segera habis. Ia mencoba bersikap normal, tapi dunia di sekelilingnya mulai menunjukkan tanda-tanda aneh. Hari itu, Bella dan Leon duduk di sebuah kafe kecil di dekat komplek. Mereka memesan kopi dan roti, lalu mengobrol ringan. Awalnya semua terasa biasa saja—hingga Bella menyadari sesuatu. Pelayan yang sama terus lewat di depan meja mereka. Awalnya ia pikir itu kebetulan, tapi gerakannya persis sama, langkahnya sama, bahkan ekspresi wajahnya sama persis. Seolah-olah seseorang sedang menekan tombol replay pada adegan itu. “Leon…” bisik Bella sambil menyentuh lengannya. “Kamu lihat nggak? Pelayan itu—” Namun sebelum ia selesai bicara, pelayan itu… hilang. Bukan pergi ke arah dapur, bukan pula menunduk. Ia seperti menguap begitu saja di udara, meninggalkan r