Di koridor devisi administrasi, Bella masih memikirkan apa yang dikatakan Revan tadi, ada seseorang yang mungkin sengaja menimbulkan masalah itu. "Bella!" Tiba-tiba saja suara seseorang memanggilnya. Itu sudah biasa, tapi tidak biasa kalau Fano yang memanggil. Ada masalah apa lagi? Bella pun segera datang dan Fano mengajaknya ke ruang CEO untuk membicarakan sesuatu. Sampai di ruang CEO, Fano bertanya. "Boss ada bilang tentang gue gak?" tanyanya. Bella berpikir sejenak. "Ya tentang Kakak yang bantuin aku nyelesein masalah ini." "Dia gak bilang kalo gue suka sama lu kan?" Bella shock mendengarnya. "Kakak suka aku?!" "Buset! Enggak, gue tanya sama lo. Bos bilang gitu gak?" Bella mengelus dadanya lega, ternyata bukan. "Enggak. Dia cuma ngomongin soal Kakak yang bantu kasus, gak ada pembahasan kek gitu. Emnag kenapa?" "Bos cemburu ama gue gegara lo pura-pura jadi pacar gue. Buruan klarifikasi biar dia gak ngomel-ngomel terus ama gua!" Fano terlihat frustas
Bella baru membuka handphonenya saat sarapan. Notifikasinya langsung masuk seperti spam. Di sana ada puluhan panggilan dari Regan dan notifikasi chat lain. Ia pun langsung menelpon Regan, ia pasti khawatir. Regan langsung mengangkat teleponnya dan berkata dengan penuh tekanan. "Kenapa baru telepon sekarang, hp-mu buat pajangan doang?!" Bella menghelan nafas. Ia tidak menyalahkan kalau Regan marah-marah, mungkin ia khawatir. "Maaf, tadi malam aku capek banget. Terus langsung tidur," balas Bella suara lembut. Salah satu trik untuk membuat Regan kasihan dan tidak memarahinya lagi. Regan terlihat diam sejenak, tapi Bella tau mungkin ia sedang mengatur emosinya. "Maaf ya ... aku bener-bener butuh istirahat kemarin. Aku baru buka HP juga. Ini mau berangkat dan lagi sarapan. Kamu udah selesai kerja?" tanya Bella. Ia mengalihkan topik agar Regan tidak marah lagi. "Belum lah, ini baru jam setengah lima sore," jawabnya masih ketus. Bella baru ingat kalau waktu di sana beda dar
Saat Bella menoleh dengan wajah syok dan marah, seorang pria paruh baya dengan senyum menyebalkan justru menatapnya balik. "Eh, maaf Mbak. Nggak sengaja," katanya enteng, padahal jelas-jelas itu bukan kecelakaan. Bella merasa darahnya mendidih. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar. "LU NGAPAIN PEGANG-PEGANG GUE?!" Semua mata langsung menoleh ke arah mereka. Suasana gym yang tadinya hanya dipenuhi suara mesin dan musik, kini berubah hening. "Udah Mbak, jangan lebay. Cuma kesenggol kali." "Kesenggol dari belakang sambil senyum-senyum gitu?! GUE BAKAL LAPORIN LU ANJING!" Petugas gym mendekat, berusaha menengahi. Bella masih syok, tapi juga marah luar biasa. Pria itu terlihat gusar namun masih mencoba terlihat santai. "Tolong bereskan orang ini. Saya mau liat rekaman CCTV!" bentak Bella. Petugas dengan sigap mengajak si pria menjauh. Bella dikelilingi oleh beberapa perempuan lain yang prihatin dan menawarkan dukungan. "Mbak, beneran diliat CCTV-nya aja. Kalo dia beneran
BELLA, KAMU TIDAK MEMPERHATIKAN PERINGATANKU YA? "HAH!!!" Bella terbangun dengan kaget ketika menemui mimpi aneh. Bisikan mengerikan itu terus menekannya di dalam mimpi, seolah ia memang harus bertanggungjawab pada sesuatu. Taoi ia tak melakukan kesalahan apapun. "Kenapa lu, Bell?" tanya senuah suara. Bella baru ingat ada Sheryl yang menginap di apartemen. Sheryl juga terbangun karena Bella terbangun dengan heboh. "Lu ngapa tidur di sofa, malah gue yang tidur di kasur sendirian?" gerutu Sheryl. "Gue lupa naik semalam." "Oh gitu, tidur lagi yuk!" Bella menggeleng. "Gue mau beli bubur ayam dulu di depan, kalo nanti bisa pergi dia." "Emang gak mangkal." "Enggak. Tukang bubur keliling. Duluan ya!" Bella menyambar cardigan-nya sebelum akhirnya pergi dengan baju tidur dan sendal jepit itu. Saat Bella membeli bubur ayam itu, seseorang tiba-tiba memanggilnya. "Bell!" Bella menoleh dan mendapati Yasha yang baru datang, ia sepertinya juga akan beli bubur ayam.
Kasus antara Alex dan Jessica rupanya tak kunjung usai. Gosip tentang kehamilan Jessica masih membuat hidup Sheryl tidak tenang. Ia jadi lebih sering mengeluh, bahkan sampai datang ke kantor Bella hanya untuk makan siang sambil curhat. Bella mendengarkannya dengan sabar, meberi saran jika diminta, dan tak pernah menolak kehadiran Sheryl yang kini makin sering berada di sekitarnya. Terkadang, jika benar-benar sedang tak punya kegiatan, Sheryl ikut membantu pekerjaan Bella. Meski bantuannya tak seberapa, kehadiran Sheryl cukup membuat suasana kerja Bella jadi lebih ringan. Sheryl juga merasa lebih tenang di dekat Bella, apalagi sejak Regan pergi ke luar negeri. Ia tahu Bella sedang merasa kehilangan, meskipun tak pernah diucapkan secara langsung. Sahabat-sahabat Sheryl sedang sibuk dengan dunia barunya di perkuliahan. Beberapa bahkan sudah punya pacar dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan pasangan masing-masing. Sheryl pun hanya memiliki Bella sebagai tempat pelarian. Malam itu,
Kalung. Kalung yang dulu ia lihat saat di rumah sakit. Tapi sekarang... kalung itu memancarkan cahaya samar yang menari di permukaan logamnya. Seolah memberi sinyal. Seolah memanggil sesuatu. Bella menelan ludah, tangannya gemetar saat hendak menyentuh kalung itu. Tapi sebelum jari-jarinya menyentuh liontinn tersebut, terdeangar suara ketukan ringan. Dan tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka. Regan masuk dengan langkah tergesa. "Bella, aku—" Ia tak sempat melanjutkan. Pandangan Bella membuat langkah Regan terhenti. Perempuan itu menatapnya seolah melihat hantu. Matanya membelalak, wajahnya pucat. Regan menyipitkan mata. "Kamu kenapa?" Bella masih menatapnya tanpa suara. Ia perlahan melirik ke arah laci, dan secepat ia membukanya... cahaya itu menghilang. Kalung itu kembali biasa. Tak ada cahaya. Tak ada pancaran aneh. Hanya logam diam yang tergeletak di tempatnya. Bella mengatupkan bibir, bingung harus berkata apa. Sesuatu dalam dirinya ingin menceritakan apa yang barusa