Dua hari kemudian, di pagi itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Beberapa staf terlihat lalu-lalang membawa berbagai katalog, bahan kain, dan papan moodboard besar. Tak sulit bagi Bella menebak kalau itu untuk proyek produk baru yang kolaborasi dengan brand fashion milik Yola. Ia baru ingat memang diadakan mulai hari ini produksinya. Hal yang membuat ia malas kalau ada produk baru apalagi kolaborasi dengan brand milik Yola. Itu karena ia harus lebih sering bertemu dengan Yola karena mereka menggunakan studio produksi di gedung perusahaan itu. Itu bagus untuk kemajuan perusahaan, tapi itu menyesakkan untuk Bella. Karena ia takut Yola akan punya kesempatan menindasnya, apalahi Regan tak ada di Indonesia. Dan benar saja. Saat ia baru menaruh map laporan di atas mejanya, seorang staf datang menghampirinya tergesa-gesa. “Bella, Nona Yola udah datang. Beliau nanya kamu.” Jantung Bella langsung mencelos. Secepat itukah? Yola. "Kenapa harus Yola, sih Regan?" gerutu Bella.
"Hellow! Aduh maaf ya, Bell. Aku baru jenguk kamu sekarang. Gimana kabarmu sekarang?" tanya Sheryl yang datang tiba-tiba. Bella yang sedang makan pun tersenyum dengan tenang di atas ranjang. "Udah baikan." "Gue dapet kabar dari Rumah Sakit, katanya ada temenku yang sakit! Kok lu gak kabarin gue sih?" tanya Sheryl. Agak aneh bagi Bella, bagaimana bisa Rumah Sakit membocorkan informasi dengan mudah pada Sheryl. "Kok RS ngabarin kamu?" Bella masih penasaran. Sheryl pun mengedikkan bahu santai, meletakkan buah yang ia bawa, lalu duduk di kursi dekat ranjang. "Bokap gue Direktur di RS." Bella baru ingat. "Oh iya."Padahal di novel aslinya, hal sekecil ini pun ditulis. Tapi bukan ini yang mengganggu Bella. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Bukankah seharusnya Sheryl tidak semudah itu tahu? Atau mungkin... memang harus begitu jalannya cerita?Logikanya, Sheryl hanyalah anak pemilik rumah sakit. Karyawan mana yang tau kalau ia teman Sheryl dan harus menginformasikan itu pa
Bella tersadar di ruang putih. Aroma antiseptik menyengat. Suara mesin monitor berdetak tenang di sisi tempat tidurnya. Seseorang duduk di kursi samping ranjang. Revan. "Syukurlah.. sadar juga akhirnya." Bella menoleh lemah. "Kenapa kamu di sini?" "Kamu pingsan. Di halte dekat kantor. Kebetulan aku nelpon kamu. Petugas halte dan orang-orang yang nolongin kamu bawa ke rumah sakit dan mereka hubungi nomor terakhir yang kamu terima. Itu aku." Bella menelan ludah. Tenggorokannya kering. Kepalanya masih berat, tapi pelan-pelan ia mencoba duduk meski tubuhnya belum kuat menopang beban penuh. "Minum," gumam Bella. Revn segera memberi Bella minum air putih yang ia beli sebelumnya. "Kenapa aku begini?" tanya Bella setelah nyaman bersandar di kepala ranjang. "Kamu muntah darah, Bella. Tapi dokter bilang semua organ dalammu normal. Nggak ada pendarahan dalam. Hasil lab juga bagus." "Terus kenapa aku...?" Revan menatap dalam. Ia tidak langsung menjawab. Ia membetulkan po
Bella jadi penasaran apa yang ingin dibicarakan oleh Regan. Ia sudah bangun sejak pagi, membuat teh dan membuka jendela agar udara masuk. Namun hingga jam 6 Pagi, tidak ada kabar dari Regan. Ia mencoba menghubungi, tapi teleponnya tak diangkat. Sebenarnya Bella terbiasa menunggu, tapi perasaannya terganggu dengan pesan terakhir Regan tadi malam. Namun Bella menahan diri. Ia tahu betapa padat dan rumit kehidupan Regan. Tetapi tetap saja, ada rasa mengganjal. Ia terus bertanya-tanya, Regan jujur soal apa? Apa yang dikatakannya semalam membuatnya tidak tenang. Kesibukan Regan yang makin padat dan kerjanya yang gila-gilaan, itu membuat perasaan Bella tambah tak karuan. Sore, pukul setengah lima tepat--setengaj jam setelah jam pulang kantor, Bella bersiap meninggalkan ruangannya di lantai lima belas kantor pusat. Ia mengenakan mantel panjang warna krem, menggantungkan ID card di saku, dan memasukkan laptop ke dalam tas jinjing kecil. Ia baru saja akan masuk lift menuju lantai dasar ke
Hari ini berbeda. Hari ini adalah hari Regan seharusnya berada bersama keluarganya. Hari di mana ia harus menghadiri acara penting sebagai pewaris dari keluarga yang memiliki perusahaan besar. Dan karena keputusannya menemani Bella seharian kemarin, ia terlambat satu hari. Harusnya sudah dimulai dari kemarin. Siangnya, di rumah utama keluarga besar Regan—sebuah bangunan mewah bergaya kolonial dengan taman luas dan kolam renang pribadi ayahnya, menunggunya di ruang kerja yang sunyi. Regan datang satu jam lebih awal dari jadwal yang diminta, berharap bisa menenangkan suasana. Namun wajah sang ayah tetap dingin. "Kamu udah di Jakarta dari kemarin, kan? Tapi kamu tidak datang ke rumah ini," ucap Tuan Wirya tanpa melihat wajah anaknya. Ia menutup folder laporan, lalu mengangkat pandangan. "Maaf, Pi. Aku ada urusan mendesak." "Urusan mendesak itu bernama Bella, aku tahu." Tuan yang berkuasa itu berdiri, berjalan pelan ke arah jendela. "Sebagai pewaris, kamu bukan hanya punya tan
Keesokan harinya, Bella bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya naik, namun cahaya oranye sudah menyelinap dari balik tirai jendela apartemennya. Ia membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke samping. Regan. "Regan?!!!" teriaknya kaget. Regan yang tertidur di sebelahnya pun terbangun kaget juga. "Pagi--" Belum selesai Regan berkata, Bella sudah memotong. "Kok kamu di sini?!" Regan meregangkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar sejenak. Bella masih menunggu jawabannya tapi, sentuhan Regan seolan menjadi jawabannya. Regan memeluknya dengan lembut memberinya ciuman hangat di bibir, dan sialnya Bella tak berdaya. Regan selalu tau bagaimana cara menghadapinya. Perlahan, Bella melepaakan diri dari Regan. "Apaan sih aku tanya, kamu kenapa di sini?" Regan menghela napas, "Wajar kan aku di sini?" Ia duduk dan memeluk Bella lagi seolah takut Bella kabut. Bella merasa bersalah dengan bentakkannya, tapi juga sedang tak mau melihat Regan. "Aku awalnya