Rain mengalami kecelakaan, kepalanya terbentur. sejak itu dia mulai dapat melihat makhluk makhluk tak kasat mata di sekitarnya, anehnya Rain seringkali merasa lelah dan mengantuk, saat itulah Rain bertemu Tarun, teman sekelasnya. Tarun situkang tidur ternyata memiliki kemampuan yang sama dengan Rain, Tarun pun mengajari Rain cara untuk mengendalikan kekuatannya. Namun itu hanyalah awal, ternyata kekuatan mereka justru menghubungkan Rain dengan dunia para Jin dan bertemu dengan jin berwujud anak kecil yang mengajaknya bekerja sama untuk menyelamatkan dunia jin dan dunia manusia yang terancam oleh sebuah kekuatan kuno pada ribuan tahun lalu. dapatkah Rain dan Tarun menyelamatkan dunia, dan kekuatan apakah yang tersembunyi di dunia jin. cover art by Putra
Lihat lebih banyakHanya persekian detik, tubuh Rain mendadak menjadi kaku. Ketika seluruh teman sekelasnya bergerak dengan konstan, Rain seperti terhenti dipusat bumi. Gadis berkacamata itu merasakan degup jantungnya mendadak menjadi cepat. Lalu, seolah tanpa jeda, sebuah kendaraan bermotor menabraknya dari samping. Laju motor dengan kecepatan sedang langsung oleng karena mengenai lobang di samping jalan. Sang pengendara tidak bisa mengendalikan laju kendaraannya, bagian depan roda bergoyang dan sang pengendara banting stang ke arah trotoar, dan menghantam Rain dari sisi samping. Tubuh Rain yang sesaat menjadi beku, tanpa terkendali mundur secara cepat ke belakang akibat hantaman sepeda motor, dan Rain terpelanting tanpa mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Lalu, dalam pandangan Rain semua menjadi gelap.
**
Bau anyir terasa menguar di udara, bercampur dengan bau kayu putih, aspal basah dan sampah beraroma busuk. Pusaran aroma tersebut memaksa sebagian isi perut Rain keluar. Rain muntah. Dia terbangun, memegang perutnya, dan seseorang dengan lembut menepuk nepuk punggung rain.
“Kamu nggak apa apa Rain??” Tanya Amelia, sambil terus mengusap punggung Rain dengan cemas.
Rain muntah lagi, yang kedua kali.
Bau kayu putih sudah mulai menguap, berganti bau anyir dan sampah. Rain pusing, dan muntah untuk yang ketiga kalinya. Amelia cemas. Disekeliling mereka masih ramai orang, berkerumun. Di sudut yang lain, pengendara motor yang menabrak Rain sedang terpincang pincang. Setelah motornya menabrak Rain dari samping—yang menyebabkan Rain terhindar dari luka fatal—motor si pengendara langsung menerobos tanpa terkendali dan terjungkal di selokan trotoar yang tidak berpagar. Tubuh si pengendara motor terjungkal dan hampir melorot jatuh ke dalam aliran got, namun tersangkut di tengah diantara lapisan penutup selokan jalan. Beberapa orang segera membantu si pengendara motor. Tubuhnya lecet, biru dan sepertinya ada yang retak karena hantaman, namun kepala si pengendara motor baik baik saja, helm sudah melindungi kepalanya dari cidera parah.
“Anak gadis itu bagaimana? Dia muntahkan? Takut ada cidera” seorang berujar sambil mendekat ke arah Rain, seorang bapak-bapak dengan tubuh penuh dan padat dari pinggang ke atas. Rain mencoba melihat dari garis matanya, terkesiap sesaat dan kemudian menegakkan wajahnya lebih tinggi. Bau anyir itu semakin merebak, dan Rain melihat sesuatu, bayangan hitam besar, bentuknya kabur dan tidak jelas, serta seolah olah transparan. Bau anyir semakin menguar jelas, dan bayangan tersebut semakin pekat. Rain merasa pusing.
---
Rain terbangun di atas tempat tidur ruang UGD. Pertama yang dirasakannya adalah aroma antiseptic langsung memuaskan indra penciumannya, bau anyir yang semula melumpuhkan rasa sudah berganti sehingga paru paru Rain terasa penuh oleh aroma pekat rumah sakit yang kuat. Amelia, kawan satu kelasnya berdiri sambil tersenyum lega melihatnya membuka mata. Seorang suster mendekat, memegang lengannya dan membalut alat ukur tensi.
“Ini….” Suara Rain tercekat.
“Ini, Rumah sakit, UGD. Kamu dibawa barengan sama yang nabrak. Sama polisi” bisik Amelia
Rain mengangguk, paham. Dia melihat suster yang sudah melepas alat ukur tensi, melipat lalu menggulungnya sebelum memasukkan ke dalam kotaknya. Suster tidak banyak bicara, dia berdiri dan berjalan menyibak tirai, lalu menutupnya kembali. Meninggalkan Amelia dan Rain.
“Saya mau pulang” ucap Rain, mencoba duduk.
“Iya, tunggu dokter dulu. Aku sudah telepon ke rumahmu Rain.”
“Saya nggak apa apa kok.”
“Apanya yang enggak apa apa, habis muntah, kamu langsung pingsan lagi. Tadi perawatnya juga bilang takut ada gegar otak” tukas Amelia, menahan Rain yang sudah bersiap turun dari ranjang.
“Saya beneran enggak apa apa kok Mel, Saya mau pulang” ucap Rain cepat, kali ini karena Rain merasa perasaannya menjadi tidak enak, dan perasaan tidak nyaman itu semakin meluas. Mendadak tirai jendela dibuka, dokter datang. Mendekat sambil tersenyum pada Rain.
“Bagaimana?” Tanya dokter sambil menaikkan stestoskop ke telinga, lalu kemudian duduk di samping Rain. “Coba, agak dilonggarkan kancing baju atasnya”
Rain membuka dua kancing baju atas, dokter segera memasukkan stetoskop diantara celah pakaiannya, memeriksa sebentar. Lalu, mengeluarkan senter dan menyuruh Rain untuk melihat ke atas, dia memeriksa bagian mata Rain.
“Pusing?” Tanya dokter. Rain menggeleng. “Sempat jatuh kena kepala?” Rain mengangguk. “muntah dan pandangan berkunang-kunang?”
“Tadi iya, sekarang enggak.”
Dokter berdiri kembali, melepaskan stetoskop dan meletakkannya ke dalam kantong.
“Bagaimana dia dok?” Tanya Amel.
“Sejauh ini, kalau tidak mengalami pusing, tidak masalah. Tapi untuk pastinya, saya khawatir ada gegar otak, baiknya di rontsen.”
“Enggak usah…saya udah enggak apa apa kok dok…” buru buru Rain menyela.
Dokter mengangkat bahu sedikit, “Untuk sementara ini dipantau saja. Tapi ingat, kalau nanti setelah sampai rumah terasa pusing dan mual kembali, dan gejala tidak hilang dalam tiga hari, segera kemari, nanti kita akan cek lagi.”
Dokter pun keluar dari ruangan yang hanya terpisah dengan tirai putih. Amelia menatap Rain, wajahnya masih terlihat khawatir.
“Saya tidak apa-apa kok, sungguh.” Ucap Rain dengan wajah berupaya meyakinkan kawan baiknya tersebut. Amelia menggaruk kepalanya dan sedikit menelengkan kepalanya, berusaha membaca air muka Rain. Keduanya saling tatap sedikit lama. Rain tetap memaksa untuk bersikap keras dengan memandang Amelia tanpa berkedip. Amelia menghela nafas. Masalah adu pandangan jelas dia akan kalah, matanya lebih cepat perih kalau harus menatap tanpa berkedip.
“Terserahlah,” jawab Amelia yang disambut dengan seringai Rain. Rain segera turun ranjang, mengambil sepatunya dan memasangnya sambil berjongkok. Lalu aroma anyir kembali tercium, baunya seperti darah yang sudah agak lama. Rain mendongakkan kepalanya, baunya terasa mengganggu.
“Apa ada yang kecelakaan?” Tanya Rain.
“Kenapa?”
“Habis, ada bau darah, nyengat banget.”
“Bau darah?” Amelia mengernyit, lalu kemudian mencoba mengendus, kembali terlihat bingung.
Rain berdiri, menutup hidungnya, bau anyir itu terasa kuat dan pekat. “Bau banget..”
“Bau apa?”
“Kayak bau darah gitu deh. Masa kamu enggak nyium Mel?”
“Enggak…” jawab Amel dengan gelengan kepastian.
Rain segera menyentuh tirai putih yang menutupi mereka, menariknya sedikit untuk mengintip. Ruangan UGD agak lengang, dengan beberapa ruang yang tertutup tirai. Terlihat siluet pada tirai tirai yang tertutup. Rain mencondongkan kepalanya lebih dulu, melihat ke arah yang lebih lebar. Dia hanya melihat tiga orang suster berada di belakang meja dekat pintu keluar. Meja panjang tersebut menutupi separuh tubuh suster tersebut. Kedua suster tersebut tampak saling berbicara. Sedang suster yang lain sedang menulis catatan di atas meja.
“Ada apa sih?” Amelia mendadak menekan tubuh Rain dari belakang, ikut mengintip dari balik tirai.
Amelia melihat ke arah pintu keluar tempat suster suster tersebut berkumpul. Suster yang sedang menulis kemudian menutup lembar kertasnya, berdiri dan kemudian keluar dari pintu samping meja panjang.
“Eh, susternya mau pergi, ayo dikejar dulu, nanti kita terpaksa nunggu lagi.”
“Kan, masih ada suster yang dua lagi, bisa kita lapor pada mereka kan?” jawab Rain
“Dua lagi? Yang mana? Susternya Cuma ada satu kok.” jawab Amelia.
Rain merasa seolah kebekuan menyeruak diantara bulu bulu halus tangannya, masuk sampai terasa membekukan ruas darah uratnya dan membuat degub jantungnya berlomba. Rain membanting tirai, membalikkan wajahnya yang pucat, lalu kembali mengintip lagi.
Diruangan tersebut hanya ada dua suster yang sedang berbicara, sedang suster yang satu telah pergi. Keduanya membelakangi Ruangan Rain dan Amelia—dan keduanya hanya dapat dilihat oleh Rain.
“Apa saya harus menagih pada si tukang tidur itu lagi?” tanya Rain pada Amelia.“Ya, kamu kan bendahara kelas ini.” Jawab Amelia tersenyum. Dia selalu merasa geli kalau mendengar omongan Rain yang terlihat paling enggan berhadapan dengan si tukang tidur, Tarun.“Kamu saja deh Mel.” Ucap Rain enggan.“Apaan sih, bulan lalu kamu kan nagih sendiri, malah kelihatannya setelah itu kalian jadi dekat.”“Saya? Dekat sama tukang tidur itu?….ooow, please deh.”“Oh, jadi salah ya? Padahal bulan lalu ada yang ngasih bocoran kamu jalan pulang sekolah bareng Tarun dan tampak akrab. Sering juga aku lihat dia curi curi pandang ke arahmu lho.”“Kapan?! Jangan ngarang ya Mel. Udah, deh daripada dengerin halukamu, mending saya ke sana, nagih tukang tidur itu.” Rain segera beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah meja Tarun. Gadis itu menolak untuk m
Langit membuka tangannya, sinar berwarna merah menyala dan kemudian melesat ke arah jin ifrit, jin tersebut langsung menghilang dan berpindah pada sisi lainnya. Tangan jin tersebut yang melar ditariknya kembali dan digunakan untuk menyerang Langit dengan cara meliuk dan berubah menjadi tajam dalam sekejap. Laki-laki tersebut langsung membuat tameng dimensi untuk menangkis lengan runcing tersebut. Terdengar suara benda beradu yang dasyat.Aji segera mengambil posisi berdiri, dan kemudian berlari. Diikuti Tarun dari belakang. Jin ifrit melihat keduanya berlari, tampak tidak senang, lalu mengulurkan satu tangannya lain yang bebas. Tangan tersebut menyentak, kemudian melar dan bergerak sangat cepat mengejar punggung Tarun.Langit segera membuka tangannya dengan cepat. Sebuah benda merah terlontar dari ujung telapak tangan Langit dan menyelubungi Tarun, Aji dan Rain tepat sebelum tangan runcing tersebut menyentuh punggung Tarun. Ketiganya terkurung dalam membran merah milik
“Apa tuan menginginkan kedua orang ini dibunuh?” tanya Razel sambil mendekat ke arah jin tersebut.“Apakah kau menginginkan mereka mati?” mahkluk tersebut bertanya kembali pada Razel.“Buatku, mereka sudah tidak berguna.”“Begitukah? Kalau begitu kau pun sama Nak.” Mendadak makhluk tersebut menusuk perut Razel. Razel mendelik, antara tidak percaya, dan rasa sakit. Tangannya mendekap perutnya yang ditusuk oleh makhluk tersebut. “Bagiku, kau pun sudah tidak diperlukan lagi.”Razel terjatuh sambil mengerang, wujudnya berubah perlahan. Dari atas kepalanya muncul tanduk yang panjang seperti tanduk rusa. Cuping hidungnya membesar. Lalu, kedua kakinya berubah menjadi seperti kaki kuda. Dalam keadaan kesakitan, razel tidak bisa mempertahankan bentuk penyamarannya dan memperlihatkan bentuk aslinya.“Sudah aku katakan Nak, hidup selama ribuan tahun akan membuatmu lebih bijaksana. Tidak mungkin
“Ah, ternyata diantara kalian bertiga masih ada yang tetap jernih.” Jin raksasa tersebut menyahuti.“Bocah, jangan pengaruhi Rain. dia harus menyelesaikan ini sesuai rencana!” Razel menghardik Tarun dengan kesal.Rain memandang ke arah Tarun, Tarun menggeleng. Lalu, dipandangnya Razel yang memberi isyarat untuk segera melakukan sesuai yang dikatakan jin raksasa tersebut. Hati gadis tersebut ditimpa keraguan.“Saya pikir ucapan Tarun ada benarnya,” ujar Rain perlahan. “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi bila mahkluk sebesar itu dilepaskan ke permukaan. Pasti ada alasan tersendiri mengapa mahkluk tersebut dikurung di sini, bukan?”“Rain. kita sudah sejauh ini, tidak ada jalan mundur kembali!”“Selalu ada!” sentak Tarun, “Pilihan untuk mundur selalu ada, dan Rain berhak memutuskan untuk itu!”Razel mengeram marah, lalu kemudian dia melompat dan memukul Tarun.
“Tapi penjelasanmu tidak menjawab pertanyaanku?”“Sedikit banyak sudah terjawab wahai gadis manusia. Namun, memang kenyataan bahwa aku terkurung disini bukan karena kehendakku pribadi. Nah, cukup penjelasannya dari pertanyaanmu, sekarang kau jelaskan yang kau sebut smartphone itu.”“Baiklah,” ucap Rain mengalah. Dia memandang ke arah Tarun dan berbisik. “Ru, pinjamkah saya Hp.”Tarun membalas bisikannya, “Bukannya kamu punya?”“Ketinggalan di rumah.”Tarun kemudian mengeluarkan hanphone dari tas ranselnya dan menyerahkannya pada Rain. Rain mengambil handphone tersebut dan menaikkan tangannya sambil memperlihatkan handphone tersebut.”Kau lihat ini,” tunjuk Rain sambil mengacungkan hanphone milik Tarun. Dari balik jeruji, satu tangan jin tersebut menjulur, dengan kuku jarinya yang besar makhluk tersebut mengambil handphone yang disodorkan oleh Rain.&ld
Tarun dan Rain memandang dengan terperangah. Sekitar jarak lima meter, Razel memunggungi mereka. Dihadapan razel, dan juga mereka terdapat sebuah jeruji besi raksasa. Tinggi jeruji itu hampir sebesar gerbang yang mereka masuki.“Itu apa? Jeruji besi?”“Seperti itulah.” Sahut Razel ketika dia mendengar suara Rain dari belakang.“Sebesar itu?” Tarun tidak bisa menahan diri untuk bertanya.“Ya. Bayangkan, jeruji sebesar ini, kira kira apa yang dikurung di dalamnya?” ucap Razel masih dalam kondisi memunggungi kedua remaja tersebut.“Apa ini yang kita cari? Bom yang kalian bilang itu?”“Aku bahkan tidak bisa membayangkan bahwa ini yang akan kita temukan.” Komentar Rain.“Benar, kita tidak bisa membayangkannya. Tapi apapun itu, itulah warisan ribuan tahun yang sedang kita cari.” Jawab Razel.Mendadak sebuah tangan besar bergerak menyentuh jeruji besi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen