Malam itu, ketika Regan dan Bella pulang ke apartemen. Di sana Regan mencoba mengungkit apa yang bisa ia berikan pada Bella termasuk membiayai sekolah adiknya sampai mereka bisa lulus.Jika Bella mengakhirinya selama kurang dari dua bulan itu. Bisa jadi tiga adik Bella akan mendapatkan biaya sampai lulus SMA dari Regan bahkan bisa kuliah. Syaratnya adalah Bella harus memperpanjang kontrak dengannya selama 5 tahun. Tentu, Bella pun menolak. Ia bilang, ia akan berusaha sendiri, menjalani hidup dan membiaya adik-adiknya dengan tenaganya sendiri.Namun, Regan tentu tidak akan membuatnya mudah. Ia menawarkan lagi perjanjian dua tahun. Bella menolak lagi, tapi Regan langsung mengancamnya. Kalau Bella tidak menandatangani perjanjian dua tahun itu, ia akan membuat hidup Bella seperti neraka.Awalnya Bella masih berusaha menolak dan bertekad bisa menjalaninya, tapi Regan justru menggunakan cara jahat, dengan mengancam akan mencabut biaya kuliah Bella yang hanya kurang dari dua semester itu.
Di mobil sport mewah itu, Bella merasa khawatir. Akan dibawa kemana dirinya oleh Sheryl. Kali ini, Sheryl tidak kebut-kebutan. Ia menyetir dengan santai dan stabil. Ia sendiri merasa tak nyaman karena suasananya terlalu diam. "Jadi, kita mau ke mana?" "Nemuin seseorang yang mau ketemu lo," jawab Sheryl. "Siapa?" tanya Bella. "Aku gak ada janji sama orang." "Emang gak janjian. Dia pingin ketemu lo. Maminya Om Regan, Tante gue." Deg! "Sheryl, lebih baik gak usah." "Gak usah khawatir, lo gak mungkin dibunuh kok." "Aku lebih baik mati daripada harus ngadepin dia," gumam Bella. Sheryl samar-samar mendengar, meski ia bersimpati, tapi ia tak bisa melakukan lebih. . Di sebuah Rumah mewah lantai 3 dengan eksterior Mewah seperti Kastil Tua di Eropa--versi modern dan lebih terang. Sheryl memarkirkan mobilnya di sana, lalu mereka berdua keluar untuk kemudian masuk lewat pintu utama rumah mewah itu. Bella menelan ludah saat memasuki rumah mewah bergaya Eropa itu. Dinding-
Bella terdiam di balkon kamar, mengamati pemandangan pusat kota di kejauhsn sana. Suara misterius dari penelpon tak dikenal itu masih menghantui pikirannya. Meski Regan sudah membantah dan memberi somasi pada penyebar berita itu, ia masih belum tenang. Perempuan itu jelas merupakan orang yang tau aslinya Bella dan Regan. Kecemasan Bella bertambah saat Regan bilang ia tidak bisa ke apartemennya hari ini. Itu melegakan tapi juga bencana di situasi ini. Sejak tadi, Bella sudah menahan diri untuk tidak membuka media sosialnya tapi ia sudah tak bisa menahan diri. Ia ingin melihat opini publik secara langsung. Baru saja ia membuka media sosialnya, akunnya sudah banyak dibahas. Banyak yang masih tidak percaya dengan ucapan Regan. Bahkan masih memandangnya dengan pandangan paling rendah di dunia ini. Apakah ia perlu klarifikasi juga?Tidak. Semakin mereka berbohong, akan banyak kebohongan lainnya. Lagipula kalau ia salah langkah, nanti Regan akan kerepotan lagi. Ia ingin sekali menghub
Sore harinya, Bella baru keluar dari perpustakaan saat ponselnya berdering. Nama Regan muncul di layar. Ia menjawab dengan suara rendah. “Halo?” “Kamu di mana?” “Baru selesai kuliah. Mau langsung pulang.” “Jangan pulang dulu. Kita ketemu. Sekarang.” Nada Regan datar, tapi Bella tahu itu bukan nada biasa. Sesuatu sedang terjadi. Di dalam mobil, suasana hening. Bella duduk dengan tangan di pangkuan, menatap Regan yang menyetir tanpa suara. Udara di antara mereka tegang. Akhirnya, Regan bicara. “Kamu liat media sosial?” Bella menggeleng. “Aku belum buka medsos, langsung ngerjain tugas sejak Kelas selesai. Kenapa?” Regan mengarahkan ponsel ke Bella. Ia melihat layar itu dengan mata membulat. Nafasnya tercekat membaca caption yang menyudutkannya. “Oh my God… Ini...” “Ada yang sengaja nyebar ini,” ujar Regan pelan tapi tajam. “Dan mereka tahu kamu dulu dijual ke diskotik. Mereka tahu kamu Sugar Baby-ku.” Bella tak bisa berkata apa-apa. Tangannya gemetar. Kepalanya
Usai makan siang sederhana bersama anak-anak dan pengurus, Bella masih sibuk dikerubungi oleh balita yang tak rela ia pulang. Salah satunya malah memeluk erat lehernya sambil menangis. Bella tertawa, mencium pipinya. “Yang ini bisa ikut pulang nggak?” godanya ke Regan. “Kalau bisa sih, bawa semua aja. Tapi kita butuh suster dua lusin,” jawab Regan, mencoba ringan, tapi suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. Mereka yang mendengar pun ikut tertawa. Para pengasuh dan Pengurus Panti terlihat mengagumi pasangan itu yang tampak sangat mencintai satu sama lain. . Dalam perjalanan pulang, mobil terasa sunyi. Bella menyender ke jendela sambil memainkan ujung rambutnya. Regan tetap fokus pada tabletnya, tapi pikirannya melayang-layang ke waktu sebelum mereka masuk ke dalam mobil ini. “Kenapa?” tanya Bella pelan. Ia peka dengan Regan yang sepertinya tak fokus dengan apa yang ia kerjakan. “Cuma mikir aja. Tentang kamu. Tentang tadi.” Bella mengangkat alis. “Tadi yang mana?” “Kamu
Mobil hitam Regan berhenti mulus di halaman sebuah rumah asri bertuliskan “Yayasan Bunda Ilyas”. Tempat itu tampak bersih, rindang, dan hangat—dengan suara tawa anak-anak kecil yang menyambut dari balik pagar. Bella turun lebih dulu, mengenakan midi dress biru muda yang jatuh manis di tubuhnya. Rambutnya disisir rapi dan hanya dikuncir satu ke samping. Sepatu flat warna putih dan tas selempang kecil melengkapi penampilannya yang sederhana tapi tetap anggun. Regan menyusul dari pintu pengemudi. Ia memakai kemeja linen warna krem, lengan digulung hingga siku, dengan celana bahan abu-abu terang. Casual, tapi tetap mencolok sebagai pria tajir. “Gugup?” tanya Regan pelan. “Enggak juga. Tapi… belum pernah sih ke tempat kayak gini,” jawab Bella, menarik napas dalam. Regan tersenyum kecil. “Yaudah, anggap ini simulasi kalau kita punya anak banyak nanti.” Bella menoleh cepat, kaget. “Hah?!” “Bercanda…” katanya sambil membuka pintu pagar dan memberi jalan untuk Bella. Mereka disambut ol