Se connecterPagi ini, Bella tidak melihat Regan di sisinya, padahal ia tau, harusnya pria itu di sana karena tadi malam mereka tidur bersama.
Harusnya Bella menyadari kalau Regan memang harusnya bersikap demikian kan, mengingat Bella bukan orang penting di hidupnya. Ia pun segera bersiap untuk kuliah, menjalani kehidupan seorang Bella. Pagi ini ada kuliah dan ia harus bergegas. Entah kenapa ia bisa mengendarai mobil, hanya sana ia sedang tidak mood untuk memakainya. Jadi ia memilih berjalan menuju halte dan naik Bus Trans Kota menuju ke kampusnya yang memiliki posisi sangat stratehis itu. "Bella!" Suara itu, "Yash?" gumamnya menoleh. Benar saja, ia bersama teman-temannya di sana. "Gue ke kelas dulu!" ujarnya. Bella tersenyum dan mengacungkan jempol. Yasha sendiri hanya nyengir dan berjalan pergi, ia kelihatan digoda oleh teman-temannya tentang hubungan mereka. Rasanya lega melihat itu, Yasha tidak benar-benar menjauhinya. Ia tak berharap lebih dan merupakan hak Yasha untuk meninggalkannya setelah memgetahui jati dirinya, jadi ia merasa sangat senang ketika tau ternyata Yasha masih mau menyapanya. Sederhana tapi bermakna. Di dunia yang asing ini, mendapati orang yang tulus pada Bella yang asli sudah merupakan hal membahagiakan baginya. Meskipun ia hidup dari uang Regan, tapi rasanya ia tak mendapatkan rasa aman darinya. Hanya seperti bos dan karyawan, tidak ada ikatan pasti. Andai Bella yang asli tidak punya perasaan pada Regan, mungkin ia sudah sangat membenci pria dewasa itu. Meski begitu, Bella juga menyadari kalau Regan juga menyelamatkan hidup Bella yang asli, kalau tidak mungkin sekarang ia sudah menjadi pekerja seks di Kasino tempat pertama kali mereka bertemu. . Menjalani hari-hari sebagai Bella adalah hal yang sulit bagi Bella versi Mila yang sederhana. Hidup hedon Bela dan teman-temannya yang suka menghambur-hamburkan uang itu bikin ia semakin tertekan. Tiap pulang ke kampus, teman-temannya selalu mengajak ke Mall. Belum lagi dengan standar-standar makanan yang harus mahal. Bagi Bella, itu buang-buang uang. Ia terbiasa makan apapun yang penting kenyang, tapi sekarang harus ikut teman-teman Bella yang asli ke restoran. Makan Sushi yang harganya satu biji saja 100.000 lebih, sudah begitu mereka sering pesan banyak menu yang akhirnya tidak habis. Ia sampai berpikir, apa sih yang mereka pikirkan dengan uang sebanyak itu dan hanya untuk makanan yang tidak habis mereka makan? Habis ke retoran mereka ke Mall lagi dan lagi. Bella hanya duduk di kursi kecil di sebuah butik yang ada di dalam Mall, menonton teman-temannya heboh memilih baju. Ia sangat malas melihatnya, tanpa sadar ia menghela napas dan menarik perhatian seorang pramuniaga. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanyanya. Bella menatapnya kemudian tersenyum tips, "Enggak ada, saya cuma nemenin teman-teman saya." "Anda bukannya Pacar dari Tuan Regan ya?" tanya Pramuniaga itu. Bella tersenyum tak yakin, "Hem...." "Kami ada produk Lingerie terbaru yang bisa Anda pilih, Nona." Bella bingunya, "Lingerie?" Ia memproses nama itu di kepalanya dan terkejut sendiri ketika mengingat benda apa itu. "Ya... Anda biasanya mencari itu di sini," jelas Pramuniaga tersebut. Akan tetapi Bella malah hanya terkekeh dan kemudian berdiri. "Makasih Kak, tapi gak dulu." Ia lalu menghampiri teman-temannya dan berkata pada mereka. "Gue duluan ya, ada urusan." Mereka yang pikirannya hanya uang dan sumber uang, pun langsung menyeringai dan mengizinkan Bella pergi dari sana. "Sebel banget! Kek udah melekat banget vibes Lontai-nya nih tubuh anjrit!" gumamnya kesal sendiri. Bahkan sampai rumah ia badmood dan tidak mau keluar kamar. Itu disebabkan oleh kejadian tadi, ia sangat malu. . Niatnya sih setelah sampai ia akan tidur, tapi Bi Yeyen mengetuk pintu dan bilang kalau Regan memintanya untuk ikut ke acara nanti malam. Tidak hanya itu, seorang penata rias dan penata bsana sudah datang jam 17.50 WIB dan segera mengajaknya berdandan. Ia bingung sendiri tapi tak tau harus bagaimana, karena ia tidak bisa menolak. Namun seolah tubuhnya terbiasa dengan itu, Bella langsung menempatkan diri di depan meja rias dan membiarkan seorang penata rias meriasnya dengan baik. Ia juga diminta memilih gaun, tapi karena terlalu terbuka ia harus bernegosiasi dengan Regan dulu. Untunglah Regan menyetujuinya dan membiarkannya memakai pakaian sesuai keinginannya. Awalnya dress itu seksi, dadanya seolah tergencet sehingga menonjolkan setengah payudaranya, punggungnya terpampang, dan ada belahan panjang di kakinya, setelah dress itu dirombak jadinya agak tertutup terutama bagian dadanya. Sekarang penampilannya terlihat lebih manis tapi memperlihatkan kesan kuat. Hair Style-nya Half Updo dengan pita Merah maroon di belakangnya, ia juga membawa tas selempang merah kecil, dengan dress selutut berwarna merah maroon dengan potongan dada yang tidak terlalu rendah dan tidak memperlihatkan belahan dadanya, tentu itu setelah hasil revisi. Setelah Regan sampai apartemen untuk menjemput pasangannya, ia terkjut melihat hasilnya. "It's very beautiful, Baby."Pagi itu, desa kecil tempat tinggal Mila berubah menjadi lautan putih. Tenda sederhana dipasang di halaman rumahnya, dihiasi bunga melati dan mawar yang dipetik dari kebun tetangga. Semua orang sibuk, para ibu-ibu desa menyiapkan hidangan, bapak-bapak mengatur kursi, dan anak-anak berlarian bermain dengan gembira. Mila duduk di kamar dengan kebaya putih sederhana, wajahnya dihiasi riasan tipis. Ia terlihat cantik sekali, tapi matanya terus berkaca-kaca. “Tenang, Nak. Jangan gemetar begitu. Semua akan baik-baik saja,” kata ibunya sambil menggenggam tangan Mila. Di luar, Deva sudah siap dengan beskap putih dan peci hitam. Jantungnya berdebar kencang. Ia melihat wali dari Mila--paman dari pihak ayah sudah menyiapkan kursi dan meja akad. Warga desa pun sudah berkumpul, penuh rasa penasaran. Akhirnya, prosesi dimulai. Penghulu membuka acara dengan suara khidmat. Deva duduk di kursi akad, di sampingnya ada Paman Agus--wali Mila. “Ijab kabul akan segera dilakukan. Saudara Deva Arkan
"Pih, izinkan aku menikahi Mila." Hari itu, Deva berdiri tegap di hadapan ayahnya. Jantungnya berdebar, seakan setiap detik berjalan lambat. Mila di sampingnya, terlihat menunduk dengan tangan yang dingin. Ia memegang erat jemari Deva, seakan itu satu-satunya kekuatan yang bisa membuatnya tidak goyah. Deva yakin hari ini akan menjadi hari paling berat dalam hidupnya. Ia sudah membayangkan wajah sang ayah, Teo, yang penuh amarah, penuh gengsi, menolak mentah-mentah permintaannya untuk menikahi Mila. Namun, siapa sangka jawaban yang datang justru mengejutkannya. Teo duduk di kursi empuk ruang kerjanya, menyilangkan kaki, tatapannya tajam namun tenang. “Papi tidak menolak hubungan kalian.” Deva menahan napas. Mila pun langsung mengangkat wajahnya dengan mata membesar. “Tapi…” lanjut Teo, suaranya berat. “Kalau kamu benar-benar ingin menikahi gadis ini, dia harus siap menjadi pendampingmu. Tidak hanya sekadar istri yang duduk manis di rumah.” Deva merasakan dadanya menegang.
Deva berdiri mematung di lorong rumah. Punggungnya merapat pada dinding dingin, napasnya memburu. Kata-kata ibunya masih terlintas jelas di telinganya. "Kamu kira kamu beda jauh dari Deva? Bahkan saat kamu sudah punya aku sebagai istri, kamu tetap mengejar wanita yang kamu cintai kan? Jangan sok suci! Biarkan Deva memilih, daripada menikahi orang yang tidak ia cintai, lalu mencampakkannya seperti kamu padaku." Deg. Itu adalah kali pertama Deva mendengar Imelda benar-benar melawan Teo. Selama ini, yang ia tahu, ibunya hanyalah sosok anggun, kalem, dan selalu menjaga kehormatan keluarga. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan bahwa wanita yang ia kagumi itu menyimpan luka begitu dalam. Suara ibunya bergetar, penuh luka. “Hampir empat puluh tahun kita bersama, dan aku hidup denganmu hanya sebagai pajangan. Kamu tidak pernah menanyakan perasaanku saat kamu bahagia dengan wanita lain, sementara aku kesepian sampai akhir. Saat ini aku sudah tidak peduli lagi, tapi tolong jangan ego
Udara siang itu terasa berbeda bagi Deva. Tidak hanya karena sinar lampu sorot yang menyorot tajam di atas panggung kecil, tapi juga karena beratnya keputusan yang sebentar lagi ia dan Keyla akan umumkan. Di aula besar perusahaan baru yang akan diluncurkan hari itu, tamu undangan sudah ramai berdatangan. Wajah-wajah familiar dari para rekan bisnis, pejabat daerah, hingga media memenuhi ruangan. Balon-balon silver dan putih menghiasi dinding, sementara pita merah besar terbentang di depan pintu masuk kantor pusat perusahaan baru mereka. Deva menatap Keyla di sampingnya. Mereka masih terlihat serasi, sama-sama mengenakan pakaian formal elegan. Senyum profesional terpampang di wajah mereka, seakan semua baik-baik saja. Mereka bahkan bergandengan tangan—seperti pasangan idaman yang hendak meresmikan kerja keras mereka. Namun hanya mereka berdua yang tahu, genggaman itu bukanlah genggaman cinta. Itu genggaman terakhir sebelum mereka melepaskan peran yang selama ini mereka mainkan. "
Ruang rawat itu terlalu putih, terlalu hening, dan terlalu mengintimidasi bagi Mila. Aroma obat-obatan menyeruak tajam begitu ia melangkah masuk bersama Edric. Langkahnya tertahan di ambang pintu, jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena cemas dengan keadaan Deva, melainkan juga karena seseorang yang berdiri tak jauh dari ranjang rumah sakit itu. Wanita itu. Imelda. Ia tampak anggun seperti biasa, mengenakan blus putih sederhana namun berkelas, rambutnya disanggul rapi, dan senyumnya terjaga seolah dunia ini baik-baik saja. Padahal Mila tahu betul, di balik senyum itu tersimpan ancaman yang masih menancap dalam kepalanya. Ancaman agar ia menjauh dari Deva. Ancaman yang membuat Mila beberapa kali menangis sendirian. Langkah Mila melemah, hampir tak mampu mengangkat kakinya untuk masuk lebih jauh. “Masuklah,” bisik Edric, mencoba memberi dorongan halus. Ia sendiri menatap Imelda dengan sorot mata penuh kehati-hatian. Namun berbeda dari perkiraan Mila, Imelda sama sek
Malam itu, angin Jakarta berhembus lembut. Lampu-lampu jalan menyala, menyoroti wajah Mila yang masih tegang. Ia duduk berhadapan dengan Edric di sebuah café kecil dekat kantor. Tempat itu sepi, hanya ada mereka berdua dan beberapa pengunjung yang sibuk dengan urusan masing-masing. Edric diam cukup lama. Tangannya memainkan gelas kopi yang sudah dingin, seakan mencari kata-kata yang tepat. Mila menatapnya dengan waspada, hatinya diliputi rasa penasaran sekaligus cemas. “Jadi… kamu serius waktu itu? Soal Leon?” suara Mila pecah dalam keheningan. Edric menghela napas panjang. Ia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Mila dengan tatapan yang dalam, tak lagi dengan senyum liciknya seperti biasanya. “Aku nggak bercanda, Mila.” ia berhenti sebentar. “Aku memang Leon.” Darah Mila seakan berhenti mengalir. Bibirnya terkatup rapat, jantungnya berdegup keras. “Aku… Leon di dunia novel itu?” ia berbisik, masih berusaha mencerna. Edric—atau Leon—mengangguk pelan. “Aku sendiri baru sadar







