MasukHari menjelang terik di langit, cahaya menyelinap lewat tirai jendela.Meyra perlahan membuka mata. Tubuhnya terasa ringan meski kulitnya sedikit lembap oleh keringat. Dia baru benar-benar tertidur nyenyak setelah menelan obat yang diberikan Glen tadi pagi.Sekarang kepalanya tidak lagi berat, dan napasnya lebih lega. Untung Glen sigap memberinya obat sebelum demamnya menjadi parah.Matanya berkeliling mencari.'Ponselku di mana, ya?' bisiknya dalam hati.Ingatannya samar-samar menyimpannya dalam tas malam itu. Dan ternyata ada di atas meja rias.Meyra bangkit dari kasur mengambil ponselnya di sana. Saat diangkat, layarnya gelap karena baterai habis.Setelah ditancapkan ke kabel charger dan menunggu beberapa saat, barulah perangkat itu hidup kembali. Notifikasi memenuhi layar.Belasan pesan dan panggilan tak terjawab dari Lisa, diselingi beberapa dari Ian pula.Meyra tersenyum tipis, sedikit terharu melihatnya.‘Pasti Papa yang menghubungi Lisa dulu. Dia pasti khawatir,’ pikirnya.Nam
Saat air matanya hampir jatuh lagi, sosok Glen muncul di ambang pintu.“Meyra.”Meura cepat memalingkan wajah. Mengusap mata, lalu memaksa ekspresi tenang.Glen mendekat dan meletakkan nampan di atas kasur.“Sebelum minum obat, makan bubur dulu. Papa udah nebak kamu pasti demam. Jadi Papa minta Bi Tuti buatin bubur sebelum kamu bangun,” ujarnya terdengar lembut.Meyra mengerjap pelan. Tak menyangka perhatian Glen sedetail itu. Tapi bukankah Glen memang selalu seperti ini? Sangat perhatian, bahkan melebihi Evan.“Mau Papa suapin?” tanya Glen lagi.Meyra cepat menggeleng.“Aku bisa sendiri. Makasih, Pah.”Meyra menyuapkan bubur itu perlahan. Namun tatapan Glen yang terus mengawasinya membuatnya canggung. Perutnya yang mual tak sanggup menerima banyak.“Udah. Aku kenyang.”Glen langsung mengernyit.“Cuma sedikit. Tambah lagi.”Meyra menggeleng keras. Ia langsung mengambil obat dan segelas air, menelannya cepat.Glen hanya bisa mendengus pelan. Sorot matanya berubah serius.“Kamu sebenarn
"Kenapa cuma diam di tengah jalan seperti orang nggak punya nyawa?! Kamu mau bunuh diri?!"Suara Glen cukup keras. Namun di balik tatapan tajamnya, ada kilatan kekhawatiran yang sangat dalam.Meyra hanya diam. Tak ada tanggapan. Tatapannya masih kosong. Seolah cahaya kehidupan di dalam matanya telah redup dan hampir padam."Astaga," gumam Glen.Mencoba menekan emosi dan paniknya. Sembari menarik napas dalam."Ayo, kita pulang sekarang," ajaknya.Glen merangkul erat tubuh Meyra. Lalu membawanya masuk ke mobil."Meyra," panggilnya lagi, lebih lembut. "Kamu kenapa bisa ada di sini, hm?"Namun, Meyra hanya menunduk, wajahnya tersembunyi di balik tirai rambut basah. Dia masih enggan menjawab.Glen mendengus pelan, menyerah untuk bertanya lebih lanjut padanya saat ini. Dia melihat kondisi Meyra yang jelas-jelas sedang shock dan hancur."Ian. Ayo, berangkat sekarang. Langsung ke rumah," perintah Glen pada pengemudi di depan.Ian mengangguk. Dia melajukan mobil, meninggalkan kota Lovata yang
"Mas Evan. Kamu nggak masalah, ninggalin Istri kamu sendirian di rumah?" kata Erina di sela-sela desahan pendeknya."Apa maksudmu? Istriku itu cuma kamu, sayang," jawab Evan.Suaranya berat dan penuh nafsu, tanpa henti menggerakkan pinggulnya."Aku cuma nggak suka, perempuan itu masih berani hubungin kamu. Dia harusnya tau diri," Erina melanjutkan, mencengkeram punggung Evan."Aku udah abaikan semua panggilan dan pesannya, sayang. Ugh... Aku mau keluar," erang Evan.Semakin mempercepat tempo gerakannya, mendesak lebih dalam."Nghh.... Aku juga. Keluar di dalem, Mas. Ahh!"Keduanya mengerang keras, suara mereka menyatu saat mencapai klimaks bersamaan.Evan memeluk erat tubuh wanita di bawahnya. Lalu menciumnya dengan penuh cinta dan kepuasan. Seolah Meyra tidak pernah ada dalam hidupnya.Semua adegan memilukan itu disaksikan langsung oleh Meyra dari balik pintu apartemen yang terbuka sedikit.Tanpa mereka sadari, karena terlalu tenggelam dalam gairah dan kepuasan mereka sendiri.Wajah
“Di club?” gumam Meyra lirih.Tubuhnya refleks menegang. Ia segera bangkit dari posisi rebah, duduk tegap di tepi ranjang, kedua matanya terpaku pada layar ponsel di genggamannya.Pesan singkat dari nomor asing itu terasa seperti pukulan tiba-tiba yang mendarat tepat di dadanya.“Club apa, Mey? Kamu mau ke club?” tanya Lisa heran melihat perubahan raut wajah sahabatnya.Meyra menggeleng cepat.“Bukan apa-apa,” jawabnya singkat, berusaha terdengar biasa.Namun rasa penasaran itu terlalu kuat untuk diabaikan. Dengan langkah pelan, Meyra berjalan ke arah jendela kamar, sedikit menjauh agar Lisa tak mendengar. Jarinya menekan tombol panggil, menelepon nomor asing itu.Namun sunyi.Tak ada nada sambung. Seolah nomor itu memang sengaja hanya muncul untuk menabur kegelisahan, lalu menghilang tanpa penjelasan.Meyra menggertakkan giginya.‘Apa-apaan sih orang ini?’ desisnya dalam hati.Meyra mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tapi gelisah itu tetap bertahan, berputar-pu
Meyra melotot tajam ke arah layar ponselnya. Rahangnya mengeras. Urat di pelipisnya berdenyut menahan emosi yang mendadak naik. Tanpa berpikir panjang, jemarinya bergerak cepat memblokir nomor itu. Lalu melemparkan ponselnya ke atas kasur seolah benda itu telah menyakitinya.Napasnya memburu. Dadanya naik turun tak beraturan. Perlahan, Meyra menunduk, pundaknya sedikit bergetar. 'Mas Evan, cepet pulang. Aku takut,' batinnya lirih. Keesokan harinya, Meyra terbangun dengan mata terasa berat. Seakan semalaman tak benar-benar terpejam.Kelopak matanya sembap. Wajahnya pucat dan lesu. Karena jejak tangis yang belum sepenuhnya hilang. Sebuah dering ponsel terdengar dari samping bantal.Meyra menoleh sekilas. Ada keraguan di matanya.Takut bahwa Glen yang kembali menghubunginya. Namun semalam, nomor itu sudah jelas ia blokir. Dengan ragu, Mywda meraih ponselnya. Ternyata nama Lisa terpampang di layar. “Halo?” jawabnya terdengar lemah. Jauh berbeda dengan sorak ceria dari seberang sana







