MasukWarning !!! Area 21+ Bacaan khusus dewasa. Syafana terbangun di samping pria asing yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bukan sembarang pria—dialah Ivander, CEO tempat ia melamar kerja sebagai sekretaris. Terikat dalam pernikahan tanpa cinta, Ivander justru menemukan candu baru pada tubuh Syafana. Dan sejak malam itu… ia tak pernah mau melepaskannya. Jangan lupa folow Ig :@ Missnhanie Tiktok : Nanitamam
Lihat lebih banyak"Sial, kenapa aku ceroboh?"
Seorang pria berusia 35 tahun, membuka ikatan dasinya kasar. Tenggorokannya terasa seperti tercekik.Hawa panas merayap ke seluruh aliran darahnya. Dia mencoba tetap menjaga kewarasannya dengan mengguyur wajah dengan air botol. “Sial, padahal aku sudah hati-hati. Tapi tetap saja aku kena jebakan. Aku harus kemana sekarang?” maki pria itu pada dirinya sendiri. Sesekali matanya melihat gadis-gadis yang berdiri di pinggiran jalan dengan pakaian seksi. Ivander memukul-mukul stir mobil melampiaskan perasaannya. Dia meraih ponselnya mencari kontak seseorang namun setelah beberapa saat kembali menaruhnya. “Aku tidak mau menyentuh gadis sembarangan. Apalagi gadis pinggir jalan seperti mereka.” Ivander membelokan mobilnya menuju ke sebuah hotel. Dia memarkirkan mobil begitu sampai di parkiran luar. Langkahnya sedikit sempoyongan, Ivander masuk ke dalam lobi hotel dan menuju meja resepsionis. “Selamat malam Tuan, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satu resepsionis dengan nada ramah. "Saya butuh kamar," jawab Ivander mengeluarkan tanda pengenal dari dalam dompetnya. Resepsionis itu mengambil kartu dari tangan Ivander. Dia mengecek komputer, memastikan ada kamar hotel yang masih kosong. Sesekali matanya menatap ke arah Ivander. "Maaf, Tuan. Kamar sudah penuh!" "Berikan aku kamar president suite atau apa saja yang ada. Aku butuh kamar sekarang!" teriak Ivander frustasi. Resepsionis kembali menatap layar komputer. Semua kamar penuh karena kebetulan sedang liburan akhir tahun. Resepsionis mengangkat wajah dengan seulas senyum getir. "Ada kamar kosong. Tapi family room." "Aku ambil itu!" jawab Ivander seraya mengerjapkan kepala berulang kali. Dia menyerahkan sebuah kartu untuk melakukan pembayaran. Resepsionis memberikan kunci kamar yang berupa kartu dan nomor kamar yang sudah menjadi milik Ivander. Kesadaran pria itu semakin menipis namun mencoba untuk menahannya. "Anda butuh bantuan, Tuan?" tanya petugas bellboy yang melihat Ivander jalan sambil memegang kepalanya. "Tolong antar aku ke lantai tempat kamarku berada!" pinta Ivander. Seorang bellboy itu mengangguk. Dia membantu Attala masuk ke dalam lift. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitnya. Tubuhnya seperti terasa terbakar. "Apa Anda baik-baik saja?" tanya Bellboy yang merasakan tangan Ivander basah oleh keringat. "Aku baik-baik saja!" tegas Ivander meski pandangannya mulai buram. Hawa panas dalam tubuh kian menyiksa. “Aku butuh pelampiasan,” gumamnya dalam hati. "Sial, aku tidak bawa obat penawarnya. Aku harus bisa menahannya." "Anda yakin tidak perlu saya antar sampai ke kamar?" tanya petugas bellboy lagi. "Tidak usah. Aku bisa sendiri." Ivander membuka kancing kemejanya satu persatu karena merasa kepanasan. Pintu lift berhenti di lantai lima. Ivander melangkah keluar dari lift dengan terhuyung-huyung. "Kamar no 71." Matanya yang mulai berkabut, disertai rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh, Ivander mencari nomor yang berderet satu persatu. Dia berdiri di sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka. "Sepertinya ini kamarku, tapi kenapa pintunya terbuka?" gumamnya antara yakin dan tidak. Kunci yang diberikan resepsionis dimasukkan ke dalam saku jas. Ivander langsung mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Meski dilanda bingung, Ivander tetap melanjutkan langkahnya masuk ke dalam. Ia melempar jasnya ke atas sofa. “Kamu siapa?” tanya seorang gadis cantik. Dia memakai handuk kimono dan kebetulan baru keluar dari kamar mandi. "Kamu sendiri siapa? Kenapa ada dikamarku?" Ivander balik bertanya dengan suara pelan dan serak. “Ini kamarku. Kamu yang siapa? Main masuk kamar orang tanpa izin," kata Syafana Almahira, 25 tahun dengan nada tinggi. "Ini kamar no 70 bukan?" tanya Ivander di sisa kesadaran yang hampir habis. Mungkin sekitar satu persen lagi. "Om, jangan pura-pura sok lugu ya? Saya bisa membuat Om menyesal kalo berani macam-macam," ancam Syafana waspada. Dia memasang kuda-kuda padahal pengaruh alkohol dalam dirinya sendiri belum sepenuhnya hilang. Syafana sampai lupa jika hanya memakai dalaman dan dibalut dengan handuk kimono. Kepalanya masih berdenyut meski sudah diguyur air dingin. "Saya tidak bohong. Ini kamar saya!" Ivander menunjukan nomor kamar yang ada di tangannya. "Kamu yang harusnya pergi dari sini!" sentak Ivander mulai hilang kendali. "Wah, bener-bener ngaco nih orang," geram Syafana. "Sial mana gak ada orang lagi." Ivander maju mendekat dengan langkah terhuyung. Syafana mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Jaga-jaga jika Ivander menyerangnya tiba-tiba. "Jangan maju atau aku pukul," ancam Syafana seraya menaikan sapu ke atas. Menodongkan pada wajah Ivander. "Tolong antar aku ke kamarku," mohon Ivander dengan nada memelas. "Om mabok ya?" Ivander menggelengkan kepala. Dia mencoba meraih Syafana namun gadis itu secepat kilat menghindar. Tangannya memijat kepala yang kembali berdenyut. Brughhh! Suara tubuh Ivander jatuh membentur lantai cukup keras. Syafana menganga, syok. Dia menggerakan ujung kakinya. Mengguncang kaki Ivander yang tergeletak di lantai. "Panas, tolong aku!" ucap Ivander yang lebih mirip sebuah bisikan. "Jangan pingsan disini! Nanti aku kena masalah. Aku antar ke kamar Om saja.” Shafana mencoba menarik tubuh Ivander. Membantunya berdiri meski dengan sempoyongan. Dia mengalungkan tangan Ivander yang panjang ke atas bahunya. "Hanya nganterin dia doang setelah itu tinggal!" ujar Syafana meyakinkan diri. Syafana membawa tubuh Ivander yang terasa panas keluar dari kamarnya. Dengan susah payah, Syafana sedikit menyeret tubuh Ivander menuju kamar sebelah. Dia menggesek kartu pada dinding pintu. Klik! Bunyi tanda pintu sudah terbuka. Syafana mendorong pintu dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya memegang tangan Ivander yang melingkar di pundaknya. "Panas," rintih Ivander. "Makanya jangan banyak minum kalo nggak kuat. Aku juga masih pusing padahal hanya minum dua gelas.” Dia membawa Ivander masuk ke dalam kamar dan membaringkannya di ranjang. Syafana menaikan kedua kaki jenjang Ivander. Saat berdiri, pandangan Syafana kembali kabur. "Sudah ya. Aku pergi!" "Ehhh...!" Ivander yang sudah kehilangan akal sehat, menarik tangan Syafana hingga terbaring diatas ranjang. Hembusan nafas Ivander yang kasar, membuat bulu kuduk Syafana bergidik. “Om jangan macam-macam ya,” ancam Syafana memutar tubuh. Sialnya hal itu malah membuat mereka saling berhadapan. Ivander kembali menarik pinggang Syafana yang ramping. Wajah mereka begitu dekat. “Tolong aku! Tubuhku rasanya panas sekali” Brugh! Kepala Ivander terjatuh pada pundak Syafana. Wangi bunga dari shampo Syafana membuat darah dalam tubuh Ivander seperti mendidih. Hidungnya mengendus dada Syafana yang terbuka. "Om, lepas!" sentak Syafana mencoba menggulingkan tubuh yang menindihnya. "Tubuhku, panas. Tolong aku!" Ivander melepas kemejanya lalu membuangnya ke lantai. Dia mencondongkan tubuh pada wajah Shafana. "Le —" "Hemmmph!" Ivander membungkam bibir Syafana dengan bibirnya. Bau alkohol tercium dari mulut Ivander. Syafana mencoba mendorong tubuh Ivander tapi tangan gadis itu diangkat ke atas. Dia masih lemah karena tidak terbiasa minum alkohol. "Om, jangan sentuh aku. Kita nggak saling kenal!" "Tolong aku, kumohon. Rasanya panas." "Aku bisa nyalakan AC," jawab Syafana cepat. "Hemmmmmph!” Tanpa peringatan, Ivander menyumpal kembali bibir Syafana dengan bibirnya. Ciumannya begitu liar, seperti gulungan ombak yang terus bergulung menuju pantai. Syafana mencoba mendorong Ivander. Tapi tubuh Ivander menindihnya kuat. "Kamu cantik, aku suka bibirmu." Ivander mengangkat wajahnya, memberikan asupan oksigen pada rongga dada. Shafana berusaha lagi menepiskan tangan Ivander yang mencengkram tangannya. Kepalanya berusaha tetap sadar tapi tubuhnya merespon lain. “Om,” desah Syafana Tangan Ivander tepat berada di atas dada Kaira. Bola mata Safana melotot merasakan tangan lebar Ivander memegang melon kembarnya. “Ukurannya cukup besar ternyata,” racau Ivander tersenyum Ivander.“A-anu ….” “Tadi, aku ketemu sama Pak Erlang. Dia katanya mau kesini dan tidak sengaja dengar juga kalau kamu ingin menikah, makanya aku ikut kesini!” sambar Ghaisa dengan cepat, suara sedikit gemetar karena cemas. Alis Syafana mengkerut lebih dalam, menatap sahabatnya dengan tatapan yang benar-benar membingungkan. “Oh, tidak sengaja dengar, nih?” tanya Syafana dengan senyuman menggoda. Sedangkan Erlang hanya diam, kepalanya sedikit menunduk. Gerak-geriknya begitu tenang sampai mencurigakan, bahkan Ivander pun bisa menilainya dengan pandangan aneh.“Iya! Aku boleh bergabung, kan?” tanya Ghaisa pada akhirnya.Syafana mengangguk perlahan, meski tanda tanya di benaknya masih tidak hilang. “Iya, lebih banyak orang, lebih baik. Kamu kan sahabatku, pasti butuh bantuanmu juga.” Erlang dan Ghaisa langsung bergabung duduk di sofa yang sama. Suasana mulai kembali hangat, tapi di balik itu, ada rasa tidak nyaman yang tersembunyi. Syafana masih bingung bagaimana Ghaisa tahu tentang pernikaha
Sementara di tempat lain.“Kenapa malah menjadi seperti ini?” gumam Tuan Alexander. Matanya memanas ketika melihat istrinya mengikuti Ivander dan Syafana melangkah keluar dari rumah. Napasnya tercekik, rasa kesal yang menyengat bercampur dengan sedih yang membanjiri dada. Ia mengangkat kaki seolah mau menyusul, tapi segera berhenti.Tuan Alexander hanya berdiam. Ia menghela napas panjang yang dalam, kemudian tubuhnya melengkung perlahan, bokongnya mendarat lembut di sofa. Tangannya cepat menyentuh kepala.‘Haruskah ia merestui pernikahan putranya dengan gadis yang berasal dari keluarga biasa?’ Pertanyaan itu muncul di kepala, berputar-putar tak kendali, membuat detak jantungnya berpacu kencang. Tanpa ragu, ia meraih ponsel yang ada di meja samping, jari-jari gemetar sedikit saat mengetik pesan singkat untuk asistennya:“Cari informasi lebih detail tentang Syafana dan orang tuanya, termasuk tempat tinggal mereka. Juga beritahu aku, kemana istriku pergi bersama Ivander dan Syafana.”D
"Apa yang terjadi?"Jari-jari Ghaisa bergetar, melayang sejenak di udara sebelum cepat-cepat meraih selimut. Kain tebal itu melengkung menyelimuti badannya yang terbuka. Pandangnya menyala, tidak dari rasa senang melainkan kemarahan yang menyala, sementara Erlang duduk terbelah di sisi ranjang, wajahnya penuh kebingungan.“Bapak kok bisa ada disini?! Jangan bilang, bapak yang melakukan ini semua?” tanya Ghaisa. Erlang menggelengkan kepala. Kepalanya terasa pening, seolah dipukul keras karena berusaha keras menyusun memori tadi malam. “Tidak! Tidak mungkin!”“Tapi ini ….” Ghaisa perlahan menoleh ke arah tubuhnya. Ia memejamkan mata erat, mencoba meraih memori semalam tapi cuma ada kegelapan yang dalam, seolah semua kejadian hilang tertelan oleh malam yang gelap.“S-saya tidak inget apapun tentang semalam,” ucal Erlang terdengar serak. “Terakhir saya ingat, saya menolongmu dari pria hidung belang.”Bibir Ghaisa terkatup, ia menatap Erlang dengan tatapan tak percaya. “Alah, jangan ber
"Hari benar-benar melelahkan."Dentuman musik bergoyang menggegarkan lantai. Rasa suntuk tiba-tiba menyergapnya. Tanpa ragu, Erlang memilih duduk di pojokan dan langsung menarik gelas vodka yang sudah disiapkan pelayan, meneguknya dengan tegukan panjang hingga tenggorokan terasa terbakar.Matanya melayang, menyisir ruangan yang terang-terangan dengan lampu neon. Tiba-tiba, pandangannya terjepit. Di sudut lain, Ghaisa berdiri bersama seorang temannya, sedangkan pria hidung belang dengan rambut terurai mengelilingi mereka. “Hei, cantik, mau kemana buru-buru?”“Lepas!” pinta Ghaisa."Ghaisa? Sedang apa dia disini?"Erlang menyipitkan mata dengan tangan terkepal erat. Ia tetap diam, mengamati dari jauh. Tanpa sadar, Erlang sudah berdiri. Kepalanya sedikit berputar akibat vodka yang baru saja ditelan, tapi ia tidak peduli. Langkahnya cepat, menembus kerumunan orang tanpa melihat ke kiri kanan.Pria hidung belang mendekat lagi, tangan mau menyentuh bahunya, jarinya sudah terasa hampir meny


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan