Tiga hari setelah kepergian Ranu, Akarsana harus kembali bangkit. Ia bersiap untuk bekerja. Tiba-tiba ponsel bututnya bergetar di atas meja. Ia melangkahkan kaki mendekati meja di dapur itu. Nomor tidak dia kenali telah menghubunginya. Akarsana enggan untuk menjawabnya. Namun, berulangkali nomor yang sama itu mencobanya kembali.
“Minta duit!” tangan Cahaya terulur untuk minta uang pada Akarsana. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sudah tiga hari pula gadis itu membolos. Memang tidak akan mengubah segalanya. Keduanya harus tetap menjalani kehidupan seperti biasanya.
“Apa yang kamu pakai, Aya? Rokmu terlalu pendek. Lepas! Kamu harus ganti yang lebih panjang.” Bukan memberikan apa yang Cahaya mau justru ia mengomentari pakaian remaja itu.
“Apa susahnya ngasih duit, sih? Aya nggak minta komentarmu!” ketus Cahaya.
“Aya, aku ibumu. Tolong, ibu mohon ganti rokmu, Aya!” perintah Akarsana.
“Mau ngasih duit nggak?!” bentak Cahaya. Ia menoleh mencari keberadaan dompet ibu sambungnya. Setelah tahu letaknya, Cahaya mendekati di mana dompet Akarsana berada. Tanpa persetujuan, gadis itu membuka dan mengambil uang pecahan lima puluh ribu dari dompet Akarsana.
“Aya, jangan yang itu. Kita harus berhemat sampai ibu gajian,” iba Akarsana.
Akan tetapi, gadis muda itu sama sekali tidak peduli dan langsung meninggalkan rumah. Ia berlari keluar mengejar angkutan umum.
Akarsana terdiam, hanya mampu menghela napasnya dan menguatkan diri. Matanya melihat jam di dinding dan ia sudah terlambat sepuluh menit. Segera ia raih tas jinjing yang biasa dari hajatan itu. Keluar menghidupkan mesin motornya kemudian melesat ke resto tempatnya bekerja.
Saat tiba dan hendak mengganti pakaiannya, ia tidak mendapati seragam itu di loker miliknya. “Rika, di mana seragamku?” tanyanya. Ia menghentikan langkah wanita sebanyanya, karena ingin tahu di mana seragam yang biasa dia pakai.
“Sepertinya Bos kasih ke wanita yang kemarin gantiin kerjamu, deh.”
“Maksudnya aku di pecat gitu? Tapi— kemarin aku sudah izin, masa iya aku dipecat?”
Rika tampak menggedikkan bahu tidak tahu apa pun. Dia bahkan tidak melihat Akarsana sejak tiga hari lalu dan tidak mendengar kabar wanita itu. Dia mengira bahwa Akarlah yang mengundurkan diri.
“Coba aja kamu tanya, Bos. Dia udah dateng kok.” Akarsana mengangguk. Tubuhnya seketika lemas, karena harus dihadapkan akan masalah ini.
Menjadi pelayan resto adalah satu-satunya pekerjaan yang mampu menghasilkan sekarang. Tidak ada yang membantu mencari uang saat ini. Hingga jika sampai dirinya kehilangan pekerjaan, hal itu pasti akan membuatnya kebingungan.
Pintu kayu berwarna cokelat itu diketuk oleh Akarsana. Namun, tidak ada tanggapan sama sekali. Hanya suara remamng-remang yang mampu didengar Akarsana. Ia memberanikan diri untuk membukanya.
Seorang wanita tidak berpakaian duduk di pangkuan sang manager. Suara teriakan itu sungguh erotis dan menjijikkan di telinga Akarsana. Bahkan pujian dari sang bos membuat Akar mengerutkan dahinya.
Matanya melotot tidak percaya, bahwa manager itu bermain gila dengan karyawannya sendiri. Mereka merenggut kenikmatan semu sepagi ini. Akarsana lekas menutup pintunya. Tangan dan sekujur tubuhnya bergetar. Dia takut kalau kelakuannya barusan diketahui oleh pria itu.
“Akar! Ngapain di sana?” Seorang rekan kerja menyadarkan Akarsana. Wanita itu cepat-cepat meninggalkan tempatnya berdiri.
“Aku ingin tanya sama Bos. Apakah aku dipecat atau tidak. Aku tidak menemukan seragamku,” papar Akar.
“Maaf, Akar. Aku lupa memberitahumu. Resto benar-benar rame beberapa hari ini. Bos memang sudah memecatmu. Dia sungguh bukan bos yang baik,” ujarnya.
“Tapi kenapa begitu? Aku sudah izin. Suamiku meninggal. Apakah sama sekali tidak ada toleransi.”
“Sungguh, aku juga tidak tahu jalan pikirannya, Akar. Kamu tahu, bahkan wanita penggantimu sedari tadi di ruangannya mengantarkan kopi, tapi belum juga keluar.”
Akarsana menunduk. Bagaimana bisa keluar jika mereka bahkan menghabiskan waktu bersama? Batin, Akarsana.
“Kamu tidak apa-apa? Tunggulah di sana. Aku akan panggilkan dia. Dia sudah janji akan memberimu pesangon dan gaji full bulan ini.” Akarsana mengangguk. Ia lantas pergi ke kursi yang ditunjuk teman kerjanya.
Kemudian, tidak lama sang manager dan juga pegawai baru itu keluar. Akarsana kembali menundukkan wajahnya. Dia tidak ingin menatap mereka berdua. Dia tahu betul, bukan wanita itu istri dari manager di resto. Namun, pria itu justru mengkhianati istrinya.
Pria itu tampak berbincang dengan teman Akar sebelumnya, lalu tatapan pria itu menoleh pada keberadaan Akar dan kemudian mendekatinya.
“Akar, aku turut berduka. Tapi resto tidak bisa menunggumu. Tidak jelas kapan kamu datang, jadi aku putuskan untuk menghentikanmu,” katanya.
“Apakah Bapak tidak ada niatan untuk menambah karyawan lagi? Saya butuh pekerjaan ini, Pak,” ibanya.
“Tidak, Akar. Lima orang setiap sif sudah cukup. Kamu tenang saja, ini uang pesangonmu dan juga gajimu utuh. Sama sekali tidak terpotong.”
Akar menerimanya dengan tangan gemetar. Sungguh, hidupnya berakhir. Bagaimana dia akan melanjutkan hidupnya sekarang?
“Terima kasih, Pak. Saya permisi.” Akar meninggalkan tempat itu.
Berkendara mencoba mencari pekerjaan. Namun, tidak ada yang mau dengan dirinya. Pertama karena penampilannya yang menurut orang tidak menarik.
Akar berhenti di pinggir jalan, ponselnya kembali bergetar di dalam tas lusuh miliknya. Ia merogohnya dan nomor yang sama seperti pagi tadi kembali meneleponnya. Kali ini, Akarsana menjawabnya.
“Selamat pagi, apakah betul ini kontak dari istri Pak Ranu?” Akar mengerutkan dahi.
Wanita di seberang itu mengenal suaminya, Ranu. Sejenak, pikiran buruk terbit. Namun, lekas menghilang setelah mendengar penuturan lebih lanjut dari penelepon.
“Saya HRD di kantor tempat suami Anda bekerja. Kami ingin menawarkan pekerjaan untuk Anda. Apakah Anda ingin menerimanya?”
“Kerja? Betul, Mbak?” Nada bicara Akarsana sungguh melokal. Wanita itu memang berasal dari desa, tidak kaget jika bicaranya medok.
“Betul, Ibu. Jika Anda ingin mengetahui lebih detail pekerjannya Anda bisa ke kantor. Hari ini atau besok.”
“Baik! Baik, saya akan datang sekarang, Mbak. Terima kasih.”
“Sama-sama, Bu. Saya akan kirim alamatnya melalui pesan singkat,” timpal wanita di seberang.
Senyum Akar terkembang luwes. Dia senang bukan main. Lekas memutar gas di tangannya setelah menerima pesan dari wanita itu dan lekas melesat ke alamat yang dia terima.
**
“Kita ke rumah sakit sekarang, Ma.”
“Tidak, Nak. Mama baik-baik saja. Kemarilah, ceritakan pada mama apa saja yang sudah kamu lewati selama ini.” Wanita tua itu tersenyum penuh kasih pada Tirtha.
“Tidak ada apa pun yang bisa diceritakan, Ma. Jangan menolak lagi. Ayo! Kita harus ke rumah sakit,” elak, Tirtha.
“Percuma, Nak. Sudahlah jangan habiskan uangmu untuk hal yang tidak pasti Tirtha. Mama hanya ingin kamu bahagia. Carilah wanita yang baik. Karena pilihan mama selalu tidak cocok denganmu,” ucapnya.
“Tirtha akan bahagia kalau mama sembuh.”
“Mama tidak akan sembuh. Lagian, mama sudah tua, jangan paksa mama, Tir. Mama bersikeras untuk tidak pergi, jangan membujuk karena Mama tidak akan pernah mau.” Kali ini Maharani benar-benar tidak ingin dibantah.
“Tapi, Ma—” Tangan Maharani menggenggam erat jemari anaknya guna menghentikan ucapan pria itu.
“Ceritakan saja bagaimana harimu kemarin. Mama tahu terlalu banyak cerita setelah kamu meninggalkan rumah ini.”
“Karyawan Tirtha kemarin meninggal, Ma.”
“Lalu? Apakah kamu sudah datang ke rumah mereka?” Tirtha mengangguk.
“Tentu saja, Ma. Mama tidak perlu khawatir, Tirtha bos yang bertanggung jawab,” kelakarnya. Membanggakan diri seperti biasanya.
“Bagus. Memang sudah sepatutnya begitu. Bagaimana dengan keluarganya, Nak?”
“Satu diantaranya sudah berkeluarga, Ma. Dia tampak— ya, tentu saja sedih. Anaknya sudah remaja, paling SMP. Satu lagi, dia tinggal di panti. Membantu warga panti, menurut penuturan sekretarisku,” ujar Tirtha menerangkan.
“Apa yang kamu lakukan untuk istri karyawanmu itu? Dia pasti kehilangan tulang punggung keluarga, Tir.”
“Menurut mama aku harus bagaimana?”
“Apakah dia masih muda?” Tirtha mengangguk.
“Kamu bisa kasih dia kerja kalau dia tidak punya pekerjaan di kantormu sebagai bentuk ucapan terima kasihmu atas pekerjaan suaminya,” tutur sang ibu.
“Aku akan coba bicara dengan Maya.” Maharani mengangguk.
Perbincangan itu berlanjut hingga siang hari. Bhkan hingga Tirtha usai menyuapi ibunya. Kemudian ia menelepon Maya, untuk menelepon Akarsana.
“Saya sudah meminta Ina telepon istri Ranu, Tuan,” lapor sang sekretaris.
“Baik. Terima kasih.” Tirtha memutus panggilannya sepihak.
Sampai di sebuah gedung dengan bagunan tiga lantai. Akarsana memarkir sepedanya. Ia bingung harus menemui siapa. Sampai satpam yang menjaga pintu masuk itu bertanya pada gadis polos yang ada di depannya.“Mau bertemu siapa, Mbak?”“Maaf, Pak. Saya dapat telepon dari kantor ini tadi.”“Telepon dari siapa, Mbak? Barangkali saya bisa bantu memanggilnya,” ujar pria bertopi itu.Aduh! Bodoh banget, Akar. Kenapa nggak tanya tadi siapa namanya, pake acara lupa segala, umpat Akarsana dalam batinnya.“Mbak?” Pria jangkung itu memanggil Akar kembali, karena tidak juga mendapatkan jawaban.“Katanya pihak HRD, Pak. Beliau wanita, saya belum tahu namanya,” timpal Akarsana. Ia menjawab dengan jujur.“Oh— baik Anda bisa duduk di sana. Saya akan bertanya pada beliau apakah bisa ditemui atau tidak.” Akar mengangguk, ia mengikuti saran dari sang satpam dan duduk di bangku ruang tunggu.Tidak sampai lima menit, satpam itu keluar dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, berpakaian rapi,
Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya. "Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah. Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng. "Aya kenapa—""Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya. Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang. Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang. "Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?""Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar. "Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan ua
Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel
Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.
Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s
“Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari
Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya
Semenjak mendengar penuturan Cindy siang tadi, Akar merasa bahwa dia benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Ranu.“Jika dia masih menjalin hubungan baik pun aku tidak akan marah. Tapi, tidak dengan sembunyi-sembunyi di belakangku ‘kan?” gerutu Akar.Tangan mungilnya sibuk menggeser tongkat pel-pelan ke kanan dan kiri, mulutnya mengerucut, dia jengkel dan sangat marah pada laki-laki yang usianya sudah berakhir. Hingga langkah mundurnya harus menabrak tubuh tinggi menjulang di belakangnya.“Akh— maaf,” sesal Akar. Ia memutar badan dan menyadari bahwa Tirthalah yang berdiri dengan mulut terkunci di ambang pintu pantry.Seperti biasa, Akar akan mengepel pantry dan membersihkan toilet sebelum akhirnya harus kembali ke rumah. Nahasnya, Tirtha selalu saja mengusik keberadaan Akar tanpa jelas apa keinginan sebenarnya.Begitu menyadari tatapannya memelas pada sang bos, Akar lekas menundukkan pandangan. Sementara Tirtha berusaha menahan dagu Akar, tetapi gadis itu lekas melangkah mundur.“Bapak ma