Share

3 : Pekerjaan Baru

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2024-01-05 23:52:21

Tiga hari setelah kepergian Ranu, Akarsana harus kembali bangkit. Ia bersiap untuk bekerja. Tiba-tiba ponsel bututnya bergetar di atas meja. Ia melangkahkan kaki mendekati meja di dapur itu. Nomor tidak dia kenali telah menghubunginya. Akarsana enggan untuk menjawabnya. Namun, berulangkali nomor yang sama itu mencobanya kembali.

“Minta duit!” tangan Cahaya terulur untuk minta uang pada Akarsana. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sudah tiga hari pula gadis itu membolos. Memang tidak akan mengubah segalanya. Keduanya harus tetap menjalani kehidupan seperti biasanya.

“Apa yang kamu pakai, Aya? Rokmu terlalu pendek. Lepas! Kamu harus ganti yang lebih panjang.” Bukan memberikan apa yang Cahaya mau justru ia mengomentari pakaian remaja itu.

“Apa susahnya ngasih duit, sih? Aya nggak minta komentarmu!” ketus Cahaya.

“Aya, aku ibumu. Tolong, ibu mohon ganti rokmu, Aya!” perintah Akarsana.

“Mau ngasih duit nggak?!” bentak Cahaya. Ia menoleh mencari keberadaan dompet ibu sambungnya. Setelah tahu letaknya, Cahaya mendekati di mana dompet Akarsana berada. Tanpa persetujuan, gadis itu membuka dan mengambil uang pecahan lima puluh ribu dari dompet Akarsana.

“Aya, jangan yang itu. Kita harus berhemat sampai ibu gajian,” iba Akarsana.

Akan tetapi, gadis muda itu sama sekali tidak peduli dan langsung meninggalkan rumah. Ia berlari keluar mengejar angkutan umum.

Akarsana terdiam, hanya mampu menghela napasnya dan menguatkan diri. Matanya melihat jam di dinding dan ia sudah terlambat sepuluh menit. Segera ia raih tas jinjing yang biasa dari hajatan itu. Keluar menghidupkan mesin motornya kemudian melesat ke resto tempatnya bekerja.

Saat tiba dan hendak mengganti pakaiannya, ia tidak mendapati seragam itu di loker miliknya. “Rika, di mana seragamku?” tanyanya. Ia menghentikan langkah wanita sebanyanya, karena ingin tahu di mana seragam yang biasa dia pakai.

“Sepertinya Bos kasih ke wanita yang kemarin gantiin kerjamu, deh.”

“Maksudnya aku di pecat gitu? Tapi— kemarin aku sudah izin, masa iya aku dipecat?”

Rika tampak menggedikkan bahu tidak tahu apa pun. Dia bahkan tidak melihat Akarsana sejak tiga hari lalu dan tidak mendengar kabar wanita itu. Dia mengira bahwa Akarlah yang mengundurkan diri.

“Coba aja kamu tanya, Bos. Dia udah dateng kok.” Akarsana mengangguk. Tubuhnya seketika lemas, karena harus dihadapkan akan masalah ini.

Menjadi pelayan resto adalah satu-satunya pekerjaan yang mampu menghasilkan sekarang. Tidak ada yang membantu mencari uang saat ini. Hingga jika sampai dirinya kehilangan pekerjaan, hal itu pasti akan membuatnya kebingungan.

Pintu kayu berwarna cokelat itu diketuk oleh Akarsana. Namun, tidak ada tanggapan sama sekali. Hanya suara remamng-remang yang mampu didengar Akarsana. Ia memberanikan diri untuk membukanya.

Seorang wanita tidak berpakaian duduk di pangkuan sang manager. Suara teriakan itu sungguh erotis dan menjijikkan di telinga Akarsana. Bahkan pujian dari sang bos membuat Akar mengerutkan dahinya.

Matanya melotot tidak percaya, bahwa manager itu bermain gila dengan karyawannya sendiri. Mereka merenggut kenikmatan semu sepagi ini. Akarsana lekas menutup pintunya. Tangan dan sekujur tubuhnya bergetar. Dia takut kalau kelakuannya barusan diketahui oleh pria itu.

“Akar! Ngapain di sana?” Seorang rekan kerja menyadarkan Akarsana. Wanita itu cepat-cepat meninggalkan tempatnya berdiri.

“Aku ingin tanya sama Bos. Apakah aku dipecat atau tidak. Aku tidak menemukan seragamku,” papar Akar.

“Maaf, Akar. Aku lupa memberitahumu. Resto benar-benar rame beberapa hari ini. Bos memang sudah memecatmu. Dia sungguh bukan bos yang baik,” ujarnya.

“Tapi kenapa begitu? Aku sudah izin. Suamiku meninggal. Apakah sama sekali tidak ada toleransi.”

“Sungguh, aku juga tidak tahu jalan pikirannya, Akar. Kamu tahu, bahkan wanita penggantimu sedari tadi di ruangannya mengantarkan kopi, tapi belum juga keluar.”

Akarsana menunduk. Bagaimana bisa keluar jika mereka bahkan menghabiskan waktu bersama? Batin, Akarsana.

“Kamu tidak apa-apa? Tunggulah di sana. Aku akan panggilkan dia. Dia sudah janji akan memberimu pesangon dan gaji full bulan ini.” Akarsana mengangguk. Ia lantas pergi ke kursi yang ditunjuk teman kerjanya.

Kemudian, tidak lama sang manager dan juga pegawai baru itu keluar. Akarsana kembali menundukkan wajahnya. Dia tidak ingin menatap mereka berdua. Dia tahu betul, bukan wanita itu istri dari manager di resto. Namun, pria itu justru mengkhianati istrinya.

Pria itu tampak berbincang dengan teman Akar sebelumnya, lalu tatapan pria itu menoleh pada keberadaan Akar dan kemudian mendekatinya.

“Akar, aku turut berduka. Tapi resto tidak bisa menunggumu. Tidak jelas kapan kamu datang, jadi aku putuskan untuk menghentikanmu,” katanya.

“Apakah Bapak tidak ada niatan untuk menambah karyawan lagi? Saya butuh pekerjaan ini, Pak,” ibanya.

“Tidak, Akar. Lima orang setiap sif sudah cukup. Kamu tenang saja, ini uang pesangonmu dan juga gajimu utuh. Sama sekali tidak terpotong.”

Akar menerimanya dengan tangan gemetar. Sungguh, hidupnya berakhir. Bagaimana dia akan melanjutkan hidupnya sekarang?

“Terima kasih, Pak. Saya permisi.” Akar meninggalkan tempat itu.

Berkendara mencoba mencari pekerjaan. Namun, tidak ada yang mau dengan dirinya. Pertama karena penampilannya yang menurut orang tidak menarik.

Akar berhenti di pinggir jalan, ponselnya kembali bergetar di dalam tas lusuh miliknya. Ia merogohnya dan nomor yang sama seperti pagi tadi kembali meneleponnya. Kali ini, Akarsana menjawabnya.

“Selamat pagi, apakah betul ini kontak dari istri Pak Ranu?” Akar mengerutkan dahi.

Wanita di seberang itu mengenal suaminya, Ranu. Sejenak, pikiran buruk terbit. Namun, lekas menghilang setelah mendengar penuturan lebih lanjut dari penelepon.

“Saya HRD di kantor tempat suami Anda bekerja. Kami ingin menawarkan pekerjaan untuk Anda. Apakah Anda ingin menerimanya?”

“Kerja? Betul, Mbak?” Nada bicara Akarsana sungguh melokal. Wanita itu memang berasal dari desa, tidak kaget jika bicaranya medok.

“Betul, Ibu. Jika Anda ingin mengetahui lebih detail pekerjannya Anda bisa ke kantor. Hari ini atau besok.”

“Baik! Baik, saya akan datang sekarang, Mbak. Terima kasih.”

“Sama-sama, Bu. Saya akan kirim alamatnya melalui pesan singkat,” timpal wanita di seberang.

Senyum Akar terkembang luwes. Dia senang bukan main. Lekas memutar gas di tangannya setelah menerima pesan dari wanita itu dan lekas melesat ke alamat yang dia terima.

**

“Kita ke rumah sakit sekarang, Ma.”

“Tidak, Nak. Mama baik-baik saja. Kemarilah, ceritakan pada mama apa saja yang sudah kamu lewati selama ini.” Wanita tua itu tersenyum penuh kasih pada Tirtha.

“Tidak ada apa pun yang bisa diceritakan, Ma. Jangan menolak lagi. Ayo! Kita harus ke rumah sakit,” elak, Tirtha.

“Percuma, Nak. Sudahlah jangan habiskan uangmu untuk hal yang tidak pasti Tirtha. Mama hanya ingin kamu bahagia. Carilah wanita yang baik. Karena pilihan mama selalu tidak cocok denganmu,” ucapnya.

“Tirtha akan bahagia kalau mama sembuh.”

“Mama tidak akan sembuh. Lagian, mama sudah tua, jangan paksa mama, Tir. Mama bersikeras untuk tidak pergi, jangan membujuk karena Mama tidak akan pernah mau.” Kali ini Maharani benar-benar tidak ingin dibantah.

“Tapi, Ma—” Tangan Maharani menggenggam erat jemari anaknya guna menghentikan ucapan pria itu.

“Ceritakan saja bagaimana harimu kemarin. Mama tahu terlalu banyak cerita setelah kamu meninggalkan rumah ini.”

“Karyawan Tirtha kemarin meninggal, Ma.”

“Lalu? Apakah kamu sudah datang ke rumah mereka?” Tirtha mengangguk.

“Tentu saja, Ma. Mama tidak perlu khawatir, Tirtha bos yang bertanggung jawab,” kelakarnya. Membanggakan diri seperti biasanya.

“Bagus. Memang sudah sepatutnya begitu. Bagaimana dengan keluarganya, Nak?”

“Satu diantaranya sudah berkeluarga, Ma. Dia tampak— ya, tentu saja sedih. Anaknya sudah remaja, paling SMP. Satu lagi, dia tinggal di panti. Membantu warga panti, menurut penuturan sekretarisku,” ujar Tirtha menerangkan.

“Apa yang kamu lakukan untuk istri karyawanmu itu? Dia pasti kehilangan tulang punggung keluarga, Tir.”

“Menurut mama aku harus bagaimana?”

“Apakah dia masih muda?” Tirtha mengangguk.

“Kamu bisa kasih dia kerja kalau dia tidak punya pekerjaan di kantormu sebagai bentuk ucapan terima kasihmu atas pekerjaan suaminya,” tutur sang ibu.

“Aku akan coba bicara dengan Maya.” Maharani mengangguk.

Perbincangan itu berlanjut hingga siang hari. Bhkan hingga Tirtha usai menyuapi ibunya. Kemudian ia menelepon Maya, untuk menelepon Akarsana.

“Saya sudah meminta Ina telepon istri Ranu, Tuan,” lapor sang sekretaris.

“Baik. Terima kasih.” Tirtha memutus panggilannya sepihak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 34

    Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 33

    Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 32

    Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 31

    Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 30

    Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 29

    Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status