Aruna memutar benda kecil di tangannya. "Hewan apa ini?" --- "Itu Olaf, manusia salju." balas Seruni cepat, "Kau pikir apa? Tikus?" ••• Mana yang lebih berbahaya: mencinta CEO berhati es atau ... kehilangan mimpi seumur hidup?" Seruni Kusuma Ningsih, pengangguran akut, upik abu di rumahnya sendiri, dihina ibunya, ditolak puluhan penerbit dan dunia dongengnya runtuh dalam satu hari. Tapi, semangatnya tetap membara, meski impiannya nyaris menjadi abu. Ia terus berjuang demi mimpinya menjadi penulis best seller premium yang mendunia. Seruni, gadis pemimpi yang percaya dongeng seindah Cinderella dan Putri Salju adalah nyata. Tapi, tawaran gila dari sahabatnya mendorong imaji princess-nya terjun ke dasar jurang. Seruni tak pernah menyangka bahwa untuk bertahan hidup dan menyelamatkan mimpinya, ia harus melakukan pernikahan kontrak dengan CEO karismatik, tapi mengerikan. Seorang pemikir akut yang memperlakukan cinta layaknya grafik keuangan. Tinggal serumah dengan pria sedingin Aruna berarti terjebak dalam algoritma logika, sunyi dan wajib taat pada aturan aneh. Mansion mewah itu membuat Seruni terasa seperti tersesat di kutub utara. Dunia sekitarnya hanyalah gletser, tanpa pelukan, tanpa suara tawa dan tanpa ... cinta. Di balik tanda tangan perjanjian absurd itu, mereka sepakat untuk tak boleh jatuh cinta. Tapi, semesta dan pencipta punya rencana lain. Seruni ditugaskan menjadi ghostwriter sang suami sekaligus berpura-pura menjadi istri sempurna di depan publik. Namun, bagaimana jika istri palsu justru akan menjadi cinta sejati. Di tengah konflik batin, proyek rahasia, trauma, kecemburuan, persaingan cinta, hadirnya kekasih masa lalu sang CEO. Seruni menghadapi dilema ketika Juan, foodvlogger ternama menyatakan cinta tulusnya. Kini, Seruni dan Aruna harus memilih antara mempertahankan ego atau ... memperjuangkan cinta yang sejak awal mereka tolak. Ini bukan sekedar cerita cinta. Tapi tentang dua jiwa patah yang saling menyembuhkan di tengah badai yang mereka ciptakan sendiri. Tema: miliarder, istri palsu, ghostwriter, cinta & trauma, impian, penulis, romansa dan cinta sejati.
Voir plus"Kalau mimpi, jangan ketinggian. Kamu harus sadar diri, Seruni. Dunia ini bukan dongeng karanganmu!" suara kemarahan Ibu masih terngiang jelas di telinga Seruni.
Padahal, sudah lebih dari tujuh jam sejak ia meninggalkan rumah. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan pantulan keemasan di permukaan kolam besar yang dulu jadi tempat favorit ayahnya bercerita. Tapi hari ini, segalanya terasa hampa. Bahkan angin pun menusuk kulit.
Dengan hoodie pink kebesaran, celana training lusuh, dan sandal jepit, Seruni duduk termenung. Rambut panjangnya kusut, seolah tak bersentuhan dengan sisir. Di pangkuannya, sebuah buku dongeng satu-satunya peninggalan ayahnya.
Seruni memandangi batu-batu alam di tepi kolam yang dingin, lalu melemparkan pelet ikan satu per satu. Air beriak. Ikan-ikan bermunculan, berebut, lalu lenyap ke kedalaman. Saat hendak melemparkan pelet lagi, tangannya mendadak terhenti. Tubuhnya menggigil. Bahunya bergetar perlahan. Ia terduduk memeluk kedua lututnya erat-erat, air mata menetes satu-satu di atas batu.
Tadi pagi, saat matahari masih muda, ia berada di dapur sempit, dikelilingi aroma cucian dan bunyi serutan wortel. Seruni terlihat sibuk membilas tumpukan alat dapur. Lalu, ia mendengar perkataan ibunya yang membuat batinya tertekan.
"Lihat kamu. Usia segini, kerja nggak jelas. Nulis-nulis terus, tapi nggak pernah ada hasil. Kamu pikir kamu siapa? Penulis terkenal?" ucap ibunya dengan ketus.
“Aku cuma butuh sedikit waktu, Bu ...,” suara Seruni, tercekat di antara napas.
“Waktu?" ucap ibunya dengan tatapan tajam, "kamu sudah buang waktu bertahun-tahun! Mau sampai kapan jadi pengangguran dan terus bermimpi ...."
Mira mengatupkan bibir, menahan sesuatu yang tampak ingin meledak dari dadanya. Setelah itu, semuanya terasa kabur. Ia hanya ingat bunyi pintu kamar dibanting, suara teriakan, dan bunyi pecahan laptopnya sendiri.
Dan kini, Seruni di sini. Tanpa rumah. Tanpa uang. Tanpa naskah. Email penolakan terus berdatangan dan yang terakhir, dari lomba menulis yang sangat ia harapkan, hanya berisi satu kalimat datar: "Maaf, karya Anda belum terpilih untuk program tahun ini."
"Seru banget hidup gue," gumamnya datar.
Ia menatap buku dongeng di pangkuannya. Di halaman pembuka, tulisan tangan ayahnya masih ada, meski tinta birunya mulai luntur oleh genangan air mata.
"Untuk Seruni, penulis hebat masa depan. Jangan berhenti bermimpi, meski dunia berkata sebaliknya."
Seruni tak tahu berapa lama ia terdiam, hingga ponselnya bergetar pelan, di layarnya menampilkan panggilan dari sahabatnya, Mira. Dengan ragu, Seruni mengangkatnya.
"Halo, Mira." ucap Seruni dengan malas.
"Seruniii! Kamu di mana? Dengerin aku baik-baik. CEO tempat aku kerja mau nikahin kamu!"
Seruni terdiam. Butuh beberapa detik untuk memproses kalimat itu.
"Mir, kalau kamu lagi bercanda, aku lagi nggak punya energi buat ketawa ...." ucapnya dengan nada datar.
"Ini serius! Nikah kontrak. Kamu harus ke kafe deket kantorku sekarang juga. Darurat!"
Namun, tiba-tiba panggilan dari Mira terputus. Ikon baterai terlihat kosong. Seruni menatap ponselnya yang layarnya telah redup. Namun, kalimat Mira masih terngiang, "Nikah kontrak. CEO. Kamu!"
Seketika, Seruni bangkit. Sandalnya sempat terlepas. Ia meraup tisu bekas di pangkuannya, membuang ke tempat sampah, lalu berjalan cepat. Tak tahu pasti ke mana. Tapi hatinya berkata, ini mungkin satu-satunya jalan. Dengan dua angkot dan satu ojol pakai akun Mira, Seruni tiba di sebuah kafe modern. Desain industrial, jendela besar, dan tulisan neon “Girl's Story” menyala terang.
Setibanya, di lokasi pertemuannya dengan Mira degup jantung Seruni belum juga berhenti. Entah karena ia berjalan kaki cukup jauh, atau karena tawaran dari Mira di telepon tadi.
Seruni menghela napas panjang dan perlahan mendorong pintu kaca. Suara tawa dan denting sendok menyambut. Di pojok ruangan, Mira melambaikan tangan penuh semangat.
Seruni mendekat. Duduk hati-hati seolah kursinya bisa meledak.
Mira menyodorkan susu leci, "Minum dulu. Aku mau kamu dengerin baik-baik, tanpa panik."
"Mir, kamu sadar nggak kamu baru ngomong kalimat paling absurd di dunia?"
Mira menunjukkan layar ponsel. Di situ, foto seorang pria terpampang jelas. Setelan jas hitam, mata tajam, rahang kokoh. Di belakangnya, papan bertuliskan:
CEO Z-Gensitex.Corp – Digitex Gala 2025.
"Siapa dia?" Seruni mengernyitkan dahinya.
"Aruna Mahadewa. CEO paling tertutup di Asia Tenggara. Kaya, cerdas, dingin. Dia butuh ghostwriter buat proyek biografi dan Istri palsu." Mira menggenggam tangan Seruni. "Kamu orang yang tepat, Seruni."
Seruni mengangkat alis, "Aku ... Kenapa nggak Miss Universe sekalian?"
Mira mencondongkan tubuh, "Dia butuh seseorang yang bisa jaga rahasia, bisa nulis, dan bukan orang terkenal."
Seruni tertawa hambar. Ia berpikir ini lebih mengerikan dari adegan putri yang bertemu raksasa buruk rupa.
Mira mengangkat enam jarinya. "Ser, kamu cuma perlu jadi istrinya selama enam bulan. Dapat bayaran, bisa beli laptop baru, kasih uang ke Ibumu, dan biayai impian kamu itu."
Seruni tertawa kecil, "Mir, kamu pasti sedang mengerjaiku, kan seperti konten-konten prank yang sedang viral kemarin?"
Mira menggeleng. Lalu menunjukkan nominal di layar ponsel.
Honor: Rp 750.000.000,-
Seruni membeku. Mulutnya terbuka, tak percaya.
"Aku cuma mau nulis, bukan nikah sama alien ... Mira." ucap Seruni mengelus dada.
Mira meletakkan telapak tangannya di meja depan mata Seruni, "Tapi alien ini bisa menyelamatkan hidup kamu ...."
Seruni menatap lurus ke arah Mira, "Terus kalau gagal?"
"Nggak dapat uang sepeser pun. Mira menghela napas dalam-dalam. "Dan kamu harus tinggal jauh dari Jakarta. Tanpa internet."
Seruni menelan ludah, "Ini kayak perjanjian Faust versi startup."
"Ser, kamu butuh biaya hidup. Perlu mengejar mimpi. Kadang, pintu ke dunia impian itu ... bentuknya absurd." tegas Mira.
Seruni menatap jendela. Langit keunguan seperti kisah dongeng yang menunggu ditulis ulang. Dan keputusan besar pun digantungkan pada satu kata: YA atau TIDAK.
Di cafe Seruni sedang mengalami perang batin. Sementara, di lantai teratas Aruna Mahadewa Tower, seorang pria bersetelan hitam menatap layar laptop. Foto Seruni terpampang jelas. Di tangannya, secarik kertas tertulis kalimat
"Istri Ghostwriter ... jangan buatku jatuh cinta. Jangan pernah!"
Tangan Aruna meremas kertas itu. Tapi matanya tetap dingin. Kosong. Tak tersentuh dunia.
--- To Be Continued.
Cahaya matahari menyorot lembut lewat kisi-kisi jendela besar yang terbuka setengah. Di dalamnya, ruang kerja Seruni terasa seperti dunia terasing. Sebuah meja panjang dari kayu jati dipenuhi buku, sticky notes warna-warni yang sudah memudar, dan dua laptop terbuka. Di pojok ruangan, sebuah tumbler pink bergambar bunga sakura berdiri anggun di samping dispenser. Seruni baru saja menuangkan air ke dalamnya, lalu meneguk dengan cepat, seakan membunuh rasa lapar yang tak ia sadari. Suara ketukan jari-jarinya di atas keyboard menjadi satu-satunya musik di ruangan itu. Sesekali, tubuhnya membungkuk, wajahnya begitu dekat dengan layar, seakan ingin menyatu dengan naskah yang tengah ia kerjakan. Tiga hari sudah ia seperti ini. Pagi, siang, malam ... menyatu jadi satu lorong waktu tak berujung. Ia menulis tanpa jeda. Tak ada sarapan, tak ada makan siang. Hanya botol air motif sakura itu yang terus terisi ulang, dan kata-kata yang terus ia tumpahkan ke dalam naskah.Di luar ruang kerja, Aruna
Senja itu, hujan gerimis menari pelan di permukaan danau kecil di belakang mansion Aruna. Butirannya jatuh satu per satu, menciptakan riak-riak kecil yang tenang di atas air. Iramanya halusnya berpadu dengan kesunyian malam. Pepohonan pinus mengangguk pelan tertiup angin, sementara kabut tipis melayang lembut di atas danau, membentuk lukisan musim gugu yang bisu. Dalam keheningan itu, air seolah menangis, menyimpan rahasia yang tak bisa diceritakan.Lampu gantung di lorong utama mansion memantulkan cahaya lembut ke dinding dingin berwarna pucat. Udara mengandung aroma tanah basah, menyelusup melewati celah ventilasi, menyelinap ke kamar Seruni yang senyap.Seruni menutup mulutnya yang menguap. "Seberat ini ya, jadi profesional?"Seruni duduk memeluk lutut di atas ranjang, boneka Olaf terhimpit di pangkuannya, seolah tanpa sadar ia peluk terlalu erat. Bajunya kusut, rambutnya menjuntai lemas. Di sisi ranjang, tumbler pink-nya berdiri tak tersentuh sejak sore. Seruni mengambil iPad di s
Malam sebelumnya, saat Aruna melangkah keluar kamarnya tidak ada siapa pun. Matanya menyapu sekitar. Ia merasa tadi mendengar samar-samar suara Seruni. Aruna menggeleng pelan, mungkin hanya perasaannya saja.Pagi harinya, kamar Seruni tak ubahnya kapal selam yang baru saja diterjang badai. Selimut menggelantung di sisi ranjang, seperti bendera putih setengah tiang. Bantal-bantal berserakan di lantai marmer. Tumpukan kemasan keripik kentang dan bungkus cokelat melingkari tubuhnya, layaknya lingkaran Shinta dalam kisah Ramayana. Di pojok lantai berjejer tiga kantong plastik berisi camilan: cokelat, mie instan, marshmallow, dan aneka biskuit warna-warni. Di tengah kekacauan itu, Seruni duduk bersila di tepi ranjang, mengenakan hoodie oversized dan celana training dengan rambut mengumpal seperti benang kusut. Ia memeluk sebungkus jumbo snack keripik kentang rasa rumput laut, seperti pelampung satu-satunya di samudera kesedihannya.“Kalori mungkin bukan solusi.” gumamnya sambil mengunyah,
Seruni mendorong tubuh Aruna. "Apa ... maksudmu?""Nanti akan kujawab!" Aruna menggenggam erat tangan Seruni. "Sekarang ikut aku, kita kembali ke pesta."Tiba-tiba, serbuan blitz kamera menyambar seperti kilat di langit badai. Para wartawan berebut sudut pandang terbaik, mikrofon terjulur, suara-suara menggema bersahutan dalam kekacauan ballroom elite yang berubah jadi arena media. Namun semuanya membeku dalam satu detik ketika Aruna Mahadewa menunduk dan mencium kening Seruni dengan lembut. Seruni membatu. Matanya membulat, tak percaya. Begitu pula Varla yang berdiri di kejauhan, wajahnya memucat, ekspresi shock tak sempat ia sembunyikan ... jari-jarinya mengepal di sisi gaunnya yang masih ternoda karamel. Tangannya menggenggam sebuah flashdisk kecil.Varla tersenyum benci. "Aruna ... aku akan hancurkan pernikahan palsu kalian!"Para tamu lainnya menahan napas, dan blitz kamera semakin brutal. Aruna melingkarkan lengannya ke pinggang Seruni, menahan tubuh gadis itu dalam pelukan prot
"Mau kemana?" Seruni mengernyitkan dahi.Aruna menekan tombol kunci mobil. "Kita ke pesta!""Kita ...?" ucap Seruni terkejut.Cahaya kristal dari chandelier megah menggantung rendah di langit-langit ballroom seperti hujan cahaya. Seluruh ruangan memancarkan suasana glamour yang membius. Satu per satu, tamu kelas dunia berdatangan memasuki ruangan ballroom hotel berbintang tujuh yang didesain layaknya teater klasik Eropa. Dinding berwarna krem pucat dihiasi pilar tinggi. Musik jazz mengalun di udara, mengiringi derai tawa pelan dan denting gelas kristal yang bersulang satu sama lain. Aroma hidangan mahal dan parfum eksklusif bersatu menjadi udara pesta yang kental dengan prestise.Lantai marmer berkilau memantulkan gaun-gaun haute couture berbagai merek dunia, rompi beludru, dasi kupu-kupu dari sutra Italia, dan jam tangan bertabur safir menghiasi pergelangan tangan dari para tamu elite. Serta, kaki mereka beralaskan sepatu kulit yang mengilap seperti cermin.Di tengah keramaian, Aruna
"Aku ... Ingin membawamu, tapi kamu hanya pinjaman." Seruni meletakkan boneka Olaf di atas bantal. "Selamat tinggal."Malam itu, Seruni melangkah perlahan keluar kamar, pintu otomatis telah terbuka. Tapi, Seruni masih berdiri di ambang pintu."Besok aja perginya." Seruni menutup mulutnya yang menguap. "Ngantuk banget."Seruni meletakkan ranselnya di lantai, dekat ranjang mewahnya. Lalu, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur level premium. Seruni memejamkan matanya sambil memeluk Olaf.Pagi itu, langit masih gelap. Burung pun belum sempat bernyanyi. Tapi, suara langkah sepatu kulit terdengar berderap cepat di sepanjang lorong mansion. Aruna berlari menuruni anak tangga. Napasnya terputus-putus. Satu tangan menggenggam gagang tangga, tangan lainnya memegang ponsel yang semalam tak kunjung berdering. Semalaman matanya terjaga 24 jam. Ia bahkan, belum mengganti pakaian semalam. Kemeja putih yang lengannya di gulung. Suasana mansion pagi itu begitu sunyi. Bahkan, suara detik jam di lorong te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires