Share

4 : Remaja Badung

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2024-01-17 01:18:52

Sampai di sebuah gedung dengan bagunan tiga lantai. Akarsana memarkir sepedanya. Ia bingung harus menemui siapa. Sampai satpam yang menjaga pintu masuk itu bertanya pada gadis polos yang ada di depannya.

“Mau bertemu siapa, Mbak?”

“Maaf, Pak. Saya dapat telepon dari kantor ini tadi.”

“Telepon dari siapa, Mbak? Barangkali saya bisa bantu memanggilnya,” ujar pria bertopi itu.

Aduh! Bodoh banget, Akar. Kenapa nggak tanya tadi siapa namanya, pake acara lupa segala, umpat Akarsana dalam batinnya.

“Mbak?” Pria jangkung itu memanggil Akar kembali, karena tidak juga mendapatkan jawaban.

“Katanya pihak HRD, Pak. Beliau wanita, saya belum tahu namanya,” timpal Akarsana. Ia menjawab dengan jujur.

“Oh— baik Anda bisa duduk di sana. Saya akan bertanya pada beliau apakah bisa ditemui atau tidak.” Akar mengangguk, ia mengikuti saran dari sang satpam dan duduk di bangku ruang tunggu.

Tidak sampai lima menit, satpam itu keluar dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, berpakaian rapi, rok span di bawah lutut berwarna hitam serta kemeja dengan lengan tiga per delapan warna maroon. Tersenyum begitu posisinya sudah dekat dengan Akarsana.

“Akarsana, betul?” sapanya seraya mengulurkan tangan. Akar lekas menyambutnya dengan sopan, bahkan ia membungkukkan setengah tubuhnya.

“Betul, Bu. Saya Akar.”

“Mari ikut saya ke ruangan dan saya akan jelaskan pekerjaanmu,” katanya. Akar menurut ia membuntuti langkah wanita anggun itu. Jarang-jarang ada orang selayaknya wanita itu mau menemui langsung. Kebanyakan dari mereka memerintah sang pelamar kerja untuk ke ruangannya. Mungkin Akar adalah pengecualian.

“Silakan duduk!” perintahnya, ia memutar untuk duduk di kursi kebesarannya. Menyatukan jemarinya di atas meja.

“Jadi, bagaimana saya memanggilmu? Akar atau Ana?”

“Panggil saja Akar, Bu.”

“Baik. Akar— Tuan Tirtha selaku bos di kantor ini sangat menyesal atas kejadian yang menimpa suamimu. Beliau bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Kami tahu kalau suamimu adalah tulang punggung keluarga. Namun— musibah tidak pernah terlihat atau tercantum dalam kalender, benar?” Akarsana mengangguk. Wajahnya seketika tertunduk mengingat bahwa dirinya sudah tidak lagi memiliki suami.

“Akar— Bos meminta saya untuk memperkerjakan kamu. Sementara ini, saya hanya menemukan lowongan sebagai office girl, kamu bersedia?” Seketika itu raut wajah Akar terangkat. Ia lantas mengangguk dengan cepat. Apa pun pekerjaannya akan dia lakoni demi menyambung hidupnya serta sang anak.

“Tentu saja saya mau, Bu. Saya sangat berterima kasih kepada Anda dan Bos.”

“Tidak apa-apa, Akar. Bos hanya— ya menjalankan sisi kemanusiaannya.”

“Saya akan bekerja dengan baik, Bu. Sekali lagi terima kasih. Kapan saya bisa mulai bekerja?”

“Kamu bisa lakukan hari ini juga, Akar.” Wajah Akarsana kian sumringah. Dia bahagia akhirnya langsung mendapatkan pekerjaan setelah dipecat tanpa rasa hormat. Toh, bekerja sebagai pelayan tidak pernah mendapatkan kehormatan.

“Terima kasih, Bu.” Akar mengulurkan tangannya. Sungguh, kebahagiannya membuncah, mekar akibat kabar yang— mungkin sebagian orang menganggap bahwa bekerja sebagai OG apa enaknya? Gaji sedikit dan menjadi pesuruh. Tidak jauh beda dengan pembantu.

Akan tetapi, di mata Akarsana tidak ada pekerjaan mendang-mending. Semua akan dia tempuh demi dapurnya tetap mengepul dan anaknya bisa bersekolah.

“Baik Bu. Saya permisi, saya akan mulai bekerja.” Wanita itu membalas senyum ringan Akar.

Ketika gadis manis itu hendak keluar dari ruangannya, ia menghentikan langkah Akar.

“Akar tunggu!” Ia bangkit dan mendekati Akarsana.

“Akar dengar. Saya akan mengantarmu ke pantry untuk bertemu rekan kerjamu. Satu lagi—” Seraut wajah Ina sang HRD itu tampak serius. Akar pun merasa harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan tidak boleh melupakan hal yang hendak disampaikan oleh wanita itu.

“Aku ingin kamu mengabaikan apa pun yang kamu dengar di ruang Bos nantinya. Apa pun itu kamu tidak perlu ikut campur, Akar.”

“Misalnya, Bu?”

“Jika sekretaris Tuan Tirtha tidak mengizinkan kamu masuk atau siapa pun yang melarangmu, jangan pernah membantah atau melanggarnya,” pesan Ina. Akarsana mengangguk, meski dalam pikirannya mulai muncul keingintahuan. Akan tetapi dengan cepat bisa ia tepis karena bukan lagi ranah yang memang sepatutnya untuk dia ketahui.

“Baik, ayo! Mereka semua orang baik. Aku yakin kamu akan betah bekerja di sini. Asalkan kamu terus ingat pesanku,” tandas Ina. Wanita itu sudah mulai berbicara dengan sedikit santai dan tidak terlalu formal.

“Baik, Bu.”

“Tugasmu mudah, Akar. Pagi hanya buat minuman yang mereka mau. Memastikan air dalam galon tetap penuh. Siang mencarikan makan siang bagi mereka yang tidak membawa bekal. Lalu sore buat minuman lagi dan setelah mereka pulang kamu bisa membereskan meja-meja tanpa harus membuang apa yang tidak sepatutnya dibuang. Takutnya dokumen penting kebuang. Paham?”

“Paham, Bu.”

“Baik ini— pantry kantor. Nanti apa pun yang kamu belum paham, bisa tanya sama Toni sama Cindy, ya.” Akar mengangguk dia paham setiap kata yang diucapkan oleh Ina.

“Baik, aku tinggal dulu. Toni, Cindy tolong bantu Akar, ya. Kalian tim mulai sekarang.” Mereka mengiyakan dan lantas berkenalan selayaknya menyambut warga baru.

Di hari pertama tidak banyak yang dilakukan oleh Akar. Dia hanya mengikuti Cindy agar tahu meja siapa saja yang biasanya memesan teh tawar, teh manis, kopi dan lain sebagainya. Kemudian membersihkan toilet dan jam kerja mereka yang dimulai pagi hingga sore bahkan malam jika ada dari para karyawan yang lembur.

“Kamu tidak perlu khawatir kalau jam kerjamu nambah, Bos juga akan menambah gajimu. Nanti itu—” Cindy menunjuk sebuah finger print yang menempel di dinding.

“Saat kamu datang dan sebelum pulang harus letakkan jari di sana. Agar datamu akurat. Paham?” tambah Cindy.

Akar mengangguk, dia paham. “Baik, Mbak.”

“Santai saja jangan panggil aku mbak. Kita seumuran. Panggil Cindy saja.” Lagi-lagi Akarsana mengangguk.

Saat jam telah tertuju di angka lima, banyak dari mereka yang berangsur pulang. Saat itu juga Akarsana menjalankan tugas, membersihkan meja, mengelapnya dan merapikan kertas yang ditinggalklan oleh sang empu meja. Akarsana tidak berani membuangnya sesuai pesan. Ia hanya menumpuknya pada sisi meja dan berpindah ke meja lain. Kemudian mengumpulkan sampah-sampah yang kebanyakan juga kertas, lalu membuangnya ke luar bangunan.

Tepat pukul tujuh, ia usai dengan semua pekerjaan. Keluar bersama Cindy dan kembali menelurusi jalanan. Kali pertama Akarsana pulang dibawah jam sepuluh malam. Biasanya dia akan pulang tengah malam atau bahkan pagi hari tergantung sifnya di resto.

Begitu tiba di rumah, ia tidak mendapati Cahaya. Tidak ada di kamarnya, tidak juga di seluruh ruangan yang ada di rumah. Akar mencoba meneleponnya, tersambung tetapi bukannya diangkat justru ditolak panggilannya.

“Ke mana kamu, Aya?” gumammnya. Ia membuka tudung saji, Cahaya juga tidak menyentuh masakan yang sudah disiapkan oleh Akar. Embusan napas Akarsana terdengar frustasi.

“Ini baru beberapa hari, Mas. Anakmu— ah— Aya benar-benar menguji kesabaranku,” lirihnya. Lantas ia lekas keluar lagi dari rumah. Mengabaikan rasa lelah dan haus yang sudah menyerangnya sejak dalam perjalanan tadi.

Meniti setiap trotoar mencari keberadaan Cahaya. Begitu tiba di warung kopi yang jaraknya dua gang dari rumahnya, Akar melihat anaknya cekikikan dengan para pria yang usianya jelas jauh di atas anak remajanya.

“Aya!” panggil Akar dengan nada penuh tekanan. Merasa terpanggil gadis itu hanya menoleh dan kembali sibuk dengan ponselnya. Mabar game yang tidak berfaedah.

“Aya, kita pulang, yuk! Besok kamu harus sekolah,” ajak Akar lagi. Ia tidak meninggikan suaranya. Berusaha menjadi teman untuk anak satu-satunya.

“Pulang aja sendiri. Nggak usah ngajakin Aya! Nggak usah sok peduli!” balas Cahaya tak acuh, bahkan matanya sama sekali tidak menatap ke arah Akar.

“Bubar-bubar, gue mau balik dulu dah. Takut mak gue nyariin kek lu, Ya!” ejek salah seorang pria di sana.

“Iya! Nggak asik, lu, Ya! Dikit-dikit dicariin. Dikit-dikit diatur, bocah banget!” Lagi-lagi ujaran itu terlontar dari bocah seusia belasan tahun. Akarsana geleng-geleng kepala, berpikir, kenapa anak-anak jaman sekarang tidak tahu adab berbicara pada orang yang lebih tua darinya.

Pada akhirnya mereka bubar dan hal itu mengundang kebencian Cahaya pada ibu tirinya. “Puas sekarang?! Dari dulu emang lo biang masalah! Udah ngebunuh ayah gue, sekarang ngancurin idup gue!” berang Cahaya. Kemudian remaja tanggung itu mendorong tubuh Akar dan melangkah meninggalkan Akarsana.

Akar terdorong dan mundur selangkah. Namun, hatinya tetap saja terinjak. Cahaya mengumpatnya di tempat umum. Begitu hendak pergi justru pemilik warung mencegahnya.

“Bayar utang anakmu dulu, Akar! Dia jajan mulu kagak mau bayar! Lagaknya udah kaya anak gedongan aja!” seru sang pemilik warung.

“Berapa, Bu?” tanya Akar yang memilih tidak menggubris cemoohan wanita tua di hadapannya.

“Seratus ribu. Itu udah ama yang kemaren-kemarin. Kamu kudu pinter-pinter jaga Aya! Dia maen sama anak-anak kagak bener!” paparnya dengan intonasi yang tidak lagi menyalak karena Akar membayar utang Cahaya.

“Baik, Bu. Terima kasih nasehatnya. Kalau Aya kemari lagi mending tidak usah diberi apa yang dia mau.”

“Yakali begitu! Gua dagang kalau ada yang beli ya gua ladenin lah!” timpalnmya dengan enteng.

“Tapi kalau nggak dibayar siapa yang repot, Bu?”

“Ya itu urusan lu, Akar! Yang laen mah bayar. Jangan ceramahin gua, mending urus anak badungmu itu!” Akar diam. Dia tidak lagi menyahut dan memilih untuk pulang.

Setibanya di rumah pemandangan yang sama masih juga di lihat oleh Akar. Anaknya tetap bermain ponsel tanpa kenal berhenti. Dengan cepat Akarsana menyahutnya dan menyembunyikannya di balik punggung.

“Dengar, Aya! Ibu nggak pernah larang kamu buat main hp. Tapi ibu minta kamu juga tahu waktu. Kapan harus belajar dan kapan harus main,” pesan Akarsana. Ia tidak mengalihkan wajahnya pada Cahaya.

“Peduli setan! Balikin ponselku!” pinta Cahaya.

“Nggak! Sebelum kamu belajar. Mau jadi apa kamu kalau nggak belajar? Sebentar lagi ujian, Aya.”

“Yang jelas gue nggak bakal jadi wanita kaya lo! Masuk ke hidup ayah dan gue seenaknya. Lo kira lo berjasa?!”

“Aya cukup! Ibu nggak mau berdebat sama kamu!”

“Lo kira gue mau?! Nggak, sama sekali! Bahkan gue nggak peduli ama lo. Tugas lo cari duit buat gue sekolah, jajan, dan main nggak usah ceramahin gue! Lo bukan siapa-siapa gue!”

“Kalau begitu aku juga nggak ada hak untuk memberimu uang kan?” tekan Akarsana. Ia lantas memberikan ponsel Cahaya dan berlalu masuk ke kamarnya. Menahan dadanya yang bergemuruh karena amarah.

Setelah pintunya terrtutup Akarsana memejamkan mata dan butiran bening itu menerobos pelupuknya.

“Huh—” Akarsana berusaha mengatur napasnya. Ia tidak mau menangis, ia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Dia bukan wanita yang lemah.

“Akar, ingat! Akar adalah kekuatan terbesar pohon. Kita tidak pantas menangis dan lemah.” Gadis itu bermonolog pada dirinya sendiri. Menguatkan lagi pondasi diri agar tidak mudah tersulut emosi yang dinyalakan oleh Cahaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 34

    Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 33

    Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 32

    Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 31

    Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 30

    Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 29

    Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status