Terima kasih telah membaca ✌😊
Sudah tiga minggu sejak Diego terakhir kali terlihat di kantor. Selama itu pula, suasana kerja terasa berbeda. Bukan menjadi sunyi, tapi seperti kehilangan sesuatu.Ariana merasakannya dalam setiap langkahnya, ia berjalan melewati meja-meja staf, pandangan mereka sesekali terarah padanya, sebagian menebak, sebagian lagi sekadar menyapa dengan anggukan.Diego belum kembali bekerja. Kursinya tetap kosong. Dan kekosongan itu... mencolok.Andrew kini lebih sering terlihat bersamanya, mengisi ruang-ruang rapat, menjawab pertanyaan rekan kerja, memberi kesan bahwa semuanya baik-baik saja.Senyum Andrew selalu stabil, nada bicaranya tenang. Tapi bagi Ariana, yang duduk bersamanya hampir setiap hari, ia tahu lebih dari yang tampak.“Masih pemulihan. Fisiknya belum pulih benar,” jawab Andrew suatu pagi saat seorang staf penasaran. “Lagipula, dia pantas istirahat sejenak, bukan?”Kalimat itu keluar seperti lelucon ringan. Namun, Ariana tahu itu bukan jawaban sesungguhnya.Suatu siang di pantry y
Sudah dua minggu berlalu sejak terakhir kali Diego terbaring lemah di rumah sakit.Waktu seolah melambat, namun dalam diamnya, banyak hal justru tumbuh dan menguat, terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap Ariana, perempuan yang tak pernah menyerah menghadapi apa pun.Dalam dua minggu terakhir, nyaris tak ada jarak antara Ariana dan Diego, seolah ia adalah napas cadangan yang memastikan pria itu tetap hidup.Ariana merawat Diego dengan kelembutan yang tak dibuat-buat, mengingatkan jadwal minum obat, menjaga pola makan, hingga hal-hal kecil seperti memastikan posisi tidur tidak menyentuh luka di kepalanya.Tidak sekalipun Ariana mengeluh. Bahkan ketika matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge pun memainkan perannya dengan cerdas. Ia menjadi penyeimbang yang dibutuhkan di antara keduanya. Mengimbangi kecanggungan Diego dan mencairkan ketegangan Ariana lewat gurauan-gurauan konyo
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a