Dunia Diego runtuh saat mendapatkan penolakan yang tak terduga dari wanita yang ia cintai, “Aku bersamamu karena aku hanya tertarik dengan ketampananmu. Aku tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan serius denganmu bahkan sampai ke jenjang pernikahan, kamu tak punya masa depan, Diego!” Menghanyutkan dirinya dengan pekerjaan di kota baru, mempertemukan Diego dengan majikan perempuannya yang begitu sempurna-Ariana. Pertemuan yang akan mengubah nasib Diego, ke tingkat yang tidak pernah ia bisa bayangkan sebelumnya. Bagaimanakah takdir antara Diego dan majikan seksinya itu?
Lihat lebih banyakDiego Martin duduk tenang di sudut sebuah kafe kecil di jantung kota Madrid. Tangannya menggenggam sebuah kotak mungil, dibungkus rapi dengan kertas emas mengilap.
Sesekali ia menatapnya, senyum perlahan mengembang di wajahnya, senyum yang lahir dari harapan, dari kerja keras yang tak henti, dan dari keyakinan bahwa cinta, pada akhirnya, akan memihaknya.
Di dalam kotak itu, sebuah cincin. Bukan sekadar perhiasan, tapi simbol dari janji, komitmen, dan keberanian yang dikumpulkannya selama setahun terakhir.
Cincin itu akan ia serahkan kepada Valentina, wanita yang telah mengisi hari-harinya tanpa peduli bahwa dirinya hanyalah seorang Cleaning Service, dengan gaji yang sangat kecil.
Bagi Diego, Valentina adalah anomali. Cantik, hangat, dan tak memandangnya dengan mata yang sama seperti dunia memandang kelas sosial. Atau, setidaknya, itulah yang ia percaya selama ini.
Suara percakapan memenuhi udara kafe, tawa-tawa ringan bersahutan di antara denting gelas dan piring. Namun semua itu bagai latar kabur di belakang layar. Fokus Diego hanya tertuju pada satu hal, satu momen yang akan mengubah hidupnya.
Pintu kafe terbuka. Angin sejuk musim semi menyelusup masuk bersamaan dengan sosok yang langsung membuat jantungnya berdegup.
Valentina. Mengenakan dress marun yang jatuh anggun di tubuhnya. Wajahnya bersinar, senyumnya merekah cerah seperti biasa. Ada cahaya dalam dirinya yang selalu membuat Diego lupa caranya bernapas.
“Diego!” sapanya sambil melambaikan tangan kecilnya. Suaranya ringan, lembut, dan selalu berhasil membuat Diego merasa nyaman.
Ia segera bangkit, menarik kursi di seberangnya, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh rasa.
“Silakan duduk, sayang,” ucapnya pelan. Nadanya sedikit gemetar, dan ia tak bisa menyembunyikannya.
Valentina tersenyum, mengangguk kecil sambil duduk. Diego tak melepaskan pandangannya.
Setelah beberapa detik membiarkan keheningan membungkus mereka, Diego memanggil pelayan dan memesan makanan. Pilihannya sederhana.
Ia tahu Valentina tak pernah menuntut kemewahan, dan itu salah satu hal yang membuat Diego semakin mencintai Valentina. Setelah pelayan pergi, ia kembali menatap wajah sang kekasih.
“Bagaimana harimu, sayang?” tanyanya, bibirnya tetap melengkung dalam senyum yang tulus.
“Baik. Aku baru menyelesaikan proyek di kantor,” jawab Valentina dengan binar di matanya. “Bagaimana denganmu?”
“Aku sangat baik. Sebenarnya...” Diego menarik napas, menahan gugup yang menggeliat di perutnya.
“Aku ada sesuatu untukmu.” Tangannya mengulur, meletakkan kotak kecil di depan Valentina.
Wanita itu mengangkat alis, lalu membuka kotak tersebut. Mata indahnya membulat, melihat kilau cincin perak yang sederhana namun elegan.
Kekaguman sempat terpancar di wajahnya, tapi hanya sesaat. Ada sesuatu yang berubah. Senyumnya melemah, dan matanya kehilangan sorot hangatnya.
Diego masih tersenyum, mencoba membaca ekspresi itu. Tapi dadanya mulai terasa berat.
Valentina menarik napas pelan, matanya menatap cincin itu dengan tatapan yang lebih rumit dari sekadar kebingungan.
“Ada apa?” tanya Diego, suaranya menurun, ragu. Dalam hati ia bertanya, apakah cincinnya tidak cukup indah?
Valentina bersandar ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Ekspresinya berubah, jauh dari kelembutan yang tadi mengawali pertemuan mereka.
“Diego, sepertinya kamu salah paham,” ucapnya tenang.
Diego mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Tatapan Valentina mengeras. Tidak marah, tapi dingin, hampir tanpa emosi.
“Aku bersamamu karena aku tertarik dengan ketampananmu. Tapi aku tak pernah berniat membawa hubungan ini ke arah yang serius. Pernikahan? Tidak pernah terlintas.”
Sejenak, segalanya berhenti.
Diego mematung. Kata-kata itu seperti batu yang dilemparkan ke wajahnya tanpa peringatan. Dia menatap wanita yang selama ini ia cintai, berharap ada tawa, lelucon, atau keisengan kecil seperti biasa.
“Tunggu… kamu bercanda, kan?” tanyanya, senyum canggung muncul di wajahnya yang mulai pucat.
Valentina tidak menjawab. Hanya diam, menatapnya datar. Lalu ia berdiri, meraih tas kecilnya dari meja.
“Aku ke toilet dulu. Nanti kita bicarakan lagi,” ucapnya singkat, sebelum melangkah pergi tanpa menoleh.
Diego tak bisa berkata-kata. Tubuhnya tetap duduk kaku, hanya kepalanya yang mengikuti gerak Valentina sampai hilang di belokan menuju toilet.
Ia menunduk, meraih kotak cincin yang masih terbuka di meja. Menatap benda kecil itu dengan tatapan kosong, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi panjang dan menemukan kenyataan tak seindah harapan.
Sepuluh menit berlalu. Makanan yang tadi mereka pesan tak tersentuh. Diego masih duduk di tempatnya, sesekali melirik ke arah toilet. Rasa waswas mulai tumbuh.
“Kenapa Valentina belum kembali? Apa dia sakit?” pikirnya sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja.
Akhirnya ia bangkit, berjalan cepat ke arah toilet wanita. Ia berhenti di depan pintu, kebingungan.
Tak mungkin seorang pria masuk sembarangan ke toilet wanita. Saat melihat petugas kebersihan melintas, Diego langsung menghampiri.
“Permisi, kekasih saya tadi masuk ke toilet, tapi belum kembali. Dia pakai dress merah marun. Bisa bantu cek ke dalam? Saya khawatir,” ucapnya dengan nada hampir putus asa.
Petugas itu mengangguk, masuk tanpa banyak bertanya.
Diego menunggu di luar, gelisah. Ia menggigiti bibir bawahnya, berdiri mematung dengan kepala dipenuhi pikiran buruk. Lalu-
Ting!
Notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Diego mengeluarkan ponselnya. Sebuah pesan masuk. Nama pengirimnya membuat darahnya berdesir dingin.
[Diego, maaf, aku pergi duluan. Aku jijik melihat cincin murahan pemberianmu. Kamu itu hanya tukang bersih-bersih, dan tak punya masa depan. Jangan pernah bermimpi lebih dengan pekerjaan rendahanmu itu. Lagipula, bulan depan aku akan menikah dengan Javier Torres. Dibanding kamu, dia jauh lebih bisa menjamin masa depanku.]
Dunia Diego hancur dalam satu tarikan napas. Pandangannya kabur, matanya tak berkedip menatap layar. Jantungnya tak sekadar sakit tapi seperti berhenti berdetak.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Diego benar-benar merasa sendirian.
Bersambung...
Dua hari kemudian...Mobil hitam Andrew meluncur mulus ke depan hotel bintang lima. Ban berhenti tepat di bawah kanopi besar yang menahan cahaya matahari pagi.Dua petugas valet yang sigap segera bergegas, salah satunya membukakan pintu untuk Ariana, sementara yang lain menyambut Andrew dan Diego.Begitu kaki mereka menjejak lantai marmer yang licin, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapu kulit. Lobi hotel itu berkilau, marmer mengkilap di bawah lampu gantung kristal besar, musik piano lembut mengalun dari sudut lounge, dan aroma kopi mahal bercampur samar dengan wangi parfum para tamu.Diego mengangkat kepalanya, matanya menyapu sekeliling. Ada beberapa wajah asing yang ia tangkap, sebagian mengangguk tipis, sebagian lagi hanya memandangi dari jauh sambil berbisik.Ariana berjalan di sampingnya, bahunya tegak, blazer putih membingkai tubuhnya, dress biru tua jatuh rapi hingga lutut. Perpaduan keanggunan dan ketegasan seorang CEO.
Ban mobil berdecit ringan saat Diego memutar kemudi, memasuki area parkir basement kantor pusat Grup Ortiz.Aroma khas beton lembap dan suara gema mesin pendingin mengisi ruang. Mereka bertiga keluar dari mobil tanpa banyak bicara, langkah kaki berpacu menuju lift pribadi di sudut ruangan.Begitu pintu lift tertutup, ruangan kecil itu hanya diisi suara dengung mesin dan napas yang berjarak. Diego berdiri di sisi kanan, sesekali melirik Ariana lewat pantulan kaca pintu lift.Perempuan itu memandang lurus ke depan, seperti sedang menimbang langkah berikutnya. Andrew berdiri di belakang mereka, matanya terpejam sebentar.Pintu terbuka di lantai eksekutif. Lorong di sini terasa berbeda, hening, bersih, dan berlapis karpet tebal yang meredam suara langkah. Lampu sorot memantulkan kilau di gagang pintu kaca besar bertuliskan nama Ariana.Begitu pintu ruang kerja dibuka, aroma kopi hitam pekat langsung menyambut. Andrew berjalan masuk duluan, meletakkan map hitam di meja tamu sebelum menjatuh
Matahari pagi mulai menembus celah tirai, menarik garis tipis di permukaan ranjang. Udara kamar terasa hangat, bercampur aroma lembut yang tertinggal dari malam sebelumnya.Selimut sedikit tergeser, memperlihatkan kulit Ariana yang masih menyimpan sisa hangat sentuhan.Ia membuka mata perlahan. Kelopak matanya berat, senyum samar muncul begitu sadar sepasang mata kini tengah menatap dirinya. Diego sudah terjaga lebih dulu, bersandar di sisi ranjang, menatapnya tanpa berkedip.Ariana menghela napas pelan, menarik selimut hingga menutupi bahu sebelum beranjak dari tempat tidur. Ia lalu meraih gaun yang semalam tergeletak di kursi, lalu mengenakannya kembali dengan gerakan ringan.Diego menunduk sedikit, tatapannya tidak pernah lepas dari tubuh sang kekasih.“Tidurmu nyenyak?” tanyanya pelan.Ariana menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Cukup. Meskipun ranjang ini... sempit,” balasnya.Diego tertawa pendek. “Kalau tidak hati-hati, aku bisa jatuh tadi malam.”Ariana tertawa pelan, menun
Diego masih berada di atas tubuh Ariana. Napas mereka beradu, lambat dan hangat. Kamar sunyi, tapi atmosfernya pekat oleh rasa yang tak lagi bisa disembunyikan.Jari Diego menyentuh garis rahang Ariana, lembut, lalu turun menyusuri leher dan bahu yang kini terbuka penuh di hadapannya.Ia menunduk, mengecup bibir Ariana sekali lagi. Tangannya meluncur perlahan ke bawah. Menyusuri sisi perut Ariana, lalu ke paha bagian dalam, menyapu dengan gerakan ringan yang membuat tubuh Ariana sedikit gemetar.Diego menggeser tubuhnya sedikit, lalu membimbing bagian paling pribadi dari dirinya ke tempat paling pribadi Ariana.Tubuh Ariana menegang sesaat. Nafasnya tertahan. Matanya terbuka, tapi tak fokus.“Diego…” bisiknya, antara gugup dan yakin.Diego menatap langsung ke dalam matanya. “Aku di sini,” jawabnya, tenang.Dengan hati-hati, Diego mendorong dirinya masuk. Perlahan, sangat perlahan, seolah memastikan tubuh Ariana menerima sepenuhnya.Ariana menggigit bibirnya. Suara erangan kecil lolos d
Suara napas masih memenuhi kamar itu. Lembut, beradu. Hangat.Ariana belum membuka mata. Ia hanya membiarkan dirinya larut dalam detik-detik setelah ciuman panjang mereka berhenti.“Diego…” bisiknya. Pelan.Diego diam. Tapi matanya tetap pada Ariana. Ia menyentuh pipi Ariana, lalu dengan satu gerakan lembut, ia menyelipkan helaian rambut Ariana ke belakang telinga. Pandangan mereka bertemu sejenak, lalu terlepas lagi.“Maaf,” gumam Ariana tiba-tiba.Diego mengernyit pelan. “Untuk apa?”Ariana menunduk. “Aku… tidak tahu harus merespon bagaimana.”Diego mengangguk sekali. Tidak memaksa. Tidak mendekat. Ia hanya membiarkan Ariana punya ruangnya sendiri.Lalu, Ariana bergerak. Pelan. Ia mendekat, dahi mereka bersentuhan. Satu tangan Ariana menyentuh dada Diego, merasakan denyut jantung pria itu.“Bolehkah aku… hanya menikmati ini dulu? Tanpa berpikir?”Diego mengusap tengkuk Ariana. “Apa pun yang kamu mau.”Detik berikutnya, bibir Diego menyentuh kening Ariana. Lalu turun ke pelipis. Arian
Ariana masih menunduk. Tangannya di pangkuan, saling menggenggam, dan pipinya merah nyaris sepenuhnya. Tapi perlahan, ia mengangkat wajah. Tatapannya bertemu dengan Diego… lalu berpaling lagi secepat itu.Namun ada yang berubah. Di balik rasa malu, ada keberanian kecil yang muncul.Pelan-pelan, tangannya terangkat. Ia menunjuk pipi kanannya sendiri. Gerakannya ragu, tapi jelas. Tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk, lalu menatap Diego dengan pandangan yang nyaris seperti... permintaan.Diego mengerjap pelan. Mengerti.Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia maju sedikit, lalu mengecup pipi kanan Ariana dengan lembut. Hanya satu sentuhan ringan. Tapi cukup untuk membuat Ariana memejam sekejap, dan napasnya tertahan setengah detik.Belum sempat Diego menarik diri jauh, Ariana menunjuk pipi satunya lagi, lebih cepat kali ini. Bahkan ada senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya, malu-malu, seperti anak kecil yang bermain diam-diam.Diego tertawa p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen