"Hah ... Positif, gimana ini."
Bak disambar petir disiang bolong, tangan Karina gemetaran memegang hasil tespek yang menunjukkan dua garis, itu artinya dia positif hamil, Karina bingung apa yang harus dia lakukan, dengan cepat ia menyambar ponsel yang tergeletak di nakas.
Karina Cahya Ningtyas, seorang pelajar di salah satu Universitas ternama di kota Bogor, usianya baru menginjak 20 tahun, dia besar dalam lingkungan keluarga broken home, ayah dan ibunya telah lama bercerai, orang tua Karina berpisah saat Karina masih kecil, dia dibesarkan oleh nenek dari ibunya, kurang kasih sayang dan perhatian tentunya dia rasakan, sehingga hidup Karina menjadi tidak terarah, pergaulannya terlalu bebas karena sang nenek tidak terlalu fokus mengurus Karina, ditambah setelah Karina lulus SMA dan memutuskan untuk kuliah sambil ngekos.
Karina membuka aplikasi berwarna hijau dan mengetik sebuah nama, setelah nama yang dia cari sudah ketemu, dia langsung mencoba menghubungi nomor tersebut.
"Dehan cepetan angkat, ini gawat banget, aku butuh kamu sekarang." Karina tampak panik karena panggilannya tidak di respon oleh sang pacar.
Setelah beberapa kali tidak tersambung, Karina menaruh kembali Hpnya dan duduk menangis di pojokan kasur, tak berselang lama nomor yang di tunggu-tunggu kabarnya oleh Karina, menelpon balik.
"Hallo Han, kamu di mana? Kita harus ketemu sekarang," ucap Karina panik.
"Aku masih di kampus, lagi latihan basket, ada apa sih emangnya, kayanya panik banget?" tanya Dehan.
"Sekarang juga aku ke situ, tunggu aku di taman dekat kampus."
Belum sempat Dehan menjawab pertanyaan Karina, dia langsung mematikan teleponnya, dengan tergesa-gesa Karina turun, dan menunggu ojek online menjemputnya, Karina mondar mandir tidak jelas, karena dia sangat panik, tak berselang lama datanglah ojek online pesanannya.
"Karina?" tanya Bang Ojol.
"Iya, saya Karina, mana helmnya Bang, ayo buruan saya lagi buru-buru," ucap Karina, sambil meminta helm kepada Abang ojol.
"Ayo Bang, buruan gaspol," perintah Karina.
Ojol yang membawa Karina, melaju dengan kecepatan penuh menuju tempat tujuan yang di sebutkan oleh Karina.
Setibanya di pelataran kampus, Dehan telah menunggu Karina di depan taman, Karina langsung berlari menghampiri Dehan.
"Ada apa sih nyampe lari-larian, kaya abis di kejar setan aja, nih minum dulu, kamu kenapa kelihatannya panik banget?" tanya Dehan, sambil memberikan air minum pada Karina, yang terengah-engah seperti orang mau kehabisan nafas.
"Jangan ngomong di sini, nanti ada orang yang denger," bisik Karina.
"Sepenting apa sih, nyampe nggak boleh ada orang yang denger, udah ayo kita ngobrolnya di sana aja, biar enak pacarannya," ucap Dehan, sambil menunjuk bangku taman yang terlihat sepi.
Karina mengekor di belakang Dehan, dia bingung harus memulai dari mana.
"Kok diem aja sih, katanya tadi mau ketemu ada hal yang mau dibicarain," ujar Dehan, sambil menatap mata Karina.
"Aku hamil," jawab Karina, sambil menunjukkan hasil tespek kepada Dehan, sontak saja mata Dehan melotot saat melihat ada lima tespek di tangannya, dia kaget dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh pacarnya.
"Kok bisa, itu salah kali, coba dites lagi," cetus Dehan, dia melempar hasil tespek yang diberikan Karina ke tanah.
"Ih sembarangan, bahaya ini kalau dilihat orang, lagian tespek ini nggak mungkin salah, aku udah beberapa kali tespek dan hasilnya tetap sama."
"Fuck."
"Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus tanggung jawab," tuntut Karina.
"Aku harus gimana, kita kan masih kuliah, hidup aja aku masih numpang sama orang tua, kerjaan aja nggak punya, nggak mungkin dong kita nikah, mau aku kasih makan apa kamu, orang tuaku juga pasti nggak bakalan setuju," ujar Dehan, sambil meremas rambutnya.
"Kamu nggak boleh egois, ini semua hasil perbuatan kamu, ingat nggak udah berapa kali kita ngelakuin hubungan badan," ucap Karina, mengingatkan Dehan.
"Ini semua salah kamu." Dehan balik menyalahkan Karina, karena Dehan merasa Karina telah ceroboh, sampai dia kebobolan dan hamil.
"Kok kamu jadi nyalahin aku sih," sungut Karina, dia tidak terima karena Dehan, menyalahkannya atas kesalahan yang telah mereka buat.
"Iya lah salah kamu, coba aja kalau kamu bisa ngejaga diri, aku ini laki-laki, wajar saja kalo gak bisa nahan hawa nafsu, seharusnya kamu harus bisa ngendaliin diri, biar nggak kegoda sama aku," ujar Dehan, sambil menunjuk wajah Karina.
"Jadi ini semua salah aku, masih ingat nggak pas pertama kita ngelakuin hubungan terlarang itu, malam itu kamu dengan sadar maksa aku buat ngelayanin kamu!" cecar Karin.
"Tapi kamu menikmatinyakan," sambung Dehan.
"Udahlah, nggak usah saling memojokkan, kita itu disini sama-sama salah, terus gimana nasib anak yang ada di dalam kandunganku, aku juga nggak berani pulang dalam keadaan hamil kayak gini, kamu tau sendiri orang tuaku, yang satu Bapak tiri nggak peka, yang satu Ibu tiri judesnya nggak ketulungan, terus aku harus ngadu ke siapa," rengek Karina.
"Kita gugurin aja," usul Dehan.
"Gila kamu, mana ada dokter yang mau ngebantu buat ngegugurin kandungan."
"Kalo nggak kita pergi ke dukun beranak aja."
"Kamu mau bunuh aku?"
"Aku ini ngasih jalan keluar, bukan mau ngebunuh kamu, kalau nggak di gugurin, emang kamu mau hamil tanpa suami, nggak ada cara lain lagi selain itu."
"Tapi itu dosa."
"Enggak usah ngomongin dosa, sadar nggak badan kamu itu udah penuh sama dosa," cibir Dehan.
"Kok kamu ngomongnya gitu banget sih."
"Habisnya cengeng banget jadi cewek, baru masalah gini doang udah heboh."
"Kamu bilang aku cengeng, mikir nggak sih musibah yang udah kamu bikin, nyesel aku dulu mau nerima kamu jadi pacar aku, coba aja kalau aku masih pacaran sama Rizky, pasti nggak bakalan kayak gini jadinya."
"Jangan gitu dong ngomongnya, aku minta maaf bukan maksud aku buat ngomong kayak gitu."
"Lebih baik sekarang aku antar kamu pulang ke kosan, masalah ini nanti kita pikirin lagi jalan keluarnya."
"Tapi aku nggak berani, takut ada orang yang curiga sama kehamilan aku."
"Kamu tenang aja, nggak bakalan ada orang yang tahu, lihat perut kamu aja masih rata, selagi kamu bisa jaga mulut, rahasia kamu juga nggak bakalan diketahui sama orang lain," ucap Dehan.
"Iya sih."
"Udah ayo, aku anterin kamu pulang," ajak Dehan, sambil menarik tangan Karina ke parkiran
Saat sedang di perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan begitu derasnya, badan Karina dan Dehan basah kuyup, beruntung letak kosannya udah dekat, mereka tetap melanjutkan perjalanan dan menerobos hujan.
"Mau mampir dulu nggak?" tanya Karina.
"Boleh, sekalian mau ikut ngeringin baju, hujannya juga masih deras, nggak mungkin dong balik hujan-hujanan, bisa-bisa dimarahin Nyokap yang ada," jawab Dehan.
"Ayo masuk."
"Teman kamu belum pulang?"
"Dia kerja sip malam, pulangnya nanti pagi."
"Oh."
"Nih handuk, buka baju kamu, nanti biar aku bantu keringin, aku mau ganti baju dulu di kamar," ucap Karina, sambil melemparkan handuk ke arah Dehan.
Karina berlalu dan masuk ke dalam kamar, tapi dia lupa mengunci pintu, Dehan yang kebetulan baru keluar dari dalam kamar mandi, dia lewat di depan kamar Karina dan tak sengaja melihat pintunya sedikit terbuka, dia mengintip dari balik pintu, saat Karina hendak memakai baju, dia tidak sadar kalau Dehan sudah ada di dalam kamarnya.
Karina terlonjak kaget saat ada tangan kekar yang memeluknya dari belakang, Dehan tidak bisa mengontrol nafsunya, dengan buas dia mencium leher Karina, tangannya terus menjamah bagian sensitif Karina.
"Dehan ayolah, jangan seperti ini, kita sudah terjebak dalam masalah besar," pinta Karina.
"Untuk kali ini saja, aku janji ini yang terakhir," rayu Dehan, dia terus menggerayangi tubuh Karina.
"Jangan, Han." Karina mencoba menyingkirkan tubuh Dehan, namun pelukannya begitu erat tenaga Karina tidak mampu melawan kekuatan Dehan.
"Aku cuma mau ngehibur kamu, biar kamu nggak sedih, nikmati aja, di luar sangat dingin, apa kamu tidak mau menghangatkan tubuhmu?" Dehan membalikan tubuh Karina hingga tatapan mereka bertemu.
Lama-lama Karina mulai terpancing dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dia mulai menikmati permainan Dehan.
Mereka tidak sadar bahwa mereka telah jatuh lebih dalam di jurang yang telah mereka buat.
Lama-lama Karina mulai terpancing dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dia mulai menikmati permainan Dehan.Mereka tidak sadar bahwa mereka telah jatuh lebih dalam di jurang yang telah mereka buat.Setelah tahu dirinya hamil, Karina memutuskan untuk pindah kamar dan ngekos sendiri, Dehan jadi tambah bebas, setiap hari bisa mengunjungi Karina, terkadang Dehan juga akan menginap jika ibu kos tidak ada, setiap minggu Dehan akan membawakan makanan dan kebutuhan sehari-hari untuk Karina, karena semenjak hamil, Karina berhenti dari pekerjaannya, dia tidak kuat jika terlalu lama berdiri, bahkan dia juga sudah tidak lagi berangkat ke kampus, sehingga Karina menjadi bahan perbincangan teman-teman di kelasnya."Si Karina kemana ya, kok nggak pernah kelihatan?""Iya aku perhatiin, dia udah beberapa minggu ini nggak ngampus.""Aneh banget tau nggak, biasanya dia kan paling aktif."
Sebenarnya kedatangan saya kesini.""Karina."Belum sempat Karina menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke rumah Dehan, terdengar suara bariton yang memanggil nama Karina, lalu menghentikan perkataannya, mata Karina dan Bu Eno, refleks menoleh ke arah sumber suara tersebut."Nah itu Dehan, udah bangun," seru Bu Eno."Han, sini, ada yang nyariin," teriak Bu Eno, kepada putranya yang baru bangun tidur.Dehan segera turun dan menghampiri Karina, dia takut Karina mengatakan, yang seharusnya tidak dia katakan."Kamu udah lama di sini?" tanya Dehan kepada Karina, sorot matanya penuh selidik."Baru aja dateng," jawab Karina."Kalian ngobrol aja dulu ya, Mamih mau ngambil minuman dulu ke dalam," ucap Bu Eno.Setelah Bu Eno berlalu, Dehan langsung menarik tangan Karina dengan kasar, agar sedi
Mobil Satria semakin menjauh, Karina masuk ke dalam kosan, dan betapa terkejutnya dia saat membuka pintu, ternyata sudah ada seseorang yang sedang menunggunya di dalam kamar."Kapan kamu datang, apa kamu udah lama nunggu aku disini?" tanya Karina, yang tampak gugup."Sudahlah Karin, tidak perlu berpura-pura lagi, aku sudah mengetahui semuanya, betapa liciknya kamu, siapa laki-laki itu, beraninya kau berhubungan dengan orang lain di belakangku," cecar Dehan."Siapa laki-laki yang kamu maksud, dia itu orang yang nolongin aku di jalan, jangankan punya hubungan, kenal aja aku nggak," jelas Karina."Basi," cetus Dehan."Dengarkan dulu penjelasanku," tukas Karina."Apa lagi yang mau kamu jelaskan, aku rasa semuanya sudah cukup jelas, dan aku tidak butuh penjelasan apapun dari wanita murahan sepertimu," cibir Dehan."Kenapa dengan begitu mudahny
Selepas kepergian Tia, Karina kembali berbaring di atas kasurnya, dia kembali merenung, memikirkan bagaimana nasibnya, dan nasih anak yang sedang dikandungnya.Minggu demi Minggu berlalu, usia kehamilan Karina sudah menginjak 4 bulan, lama kelamaan perut Karina mulai kelihatan mulai membentuk, ibu kost, dan teman kost, yang tinggal satu rumah dengan Karina, mulai membicarakan kelakuan aneh Karina, mereka sudah mulai curiga padanya, ditambah saat Karina, mulai menutup dirinya dari lingkungan kost, Karina lebih sibuk menyendiri dan diam di dalam kamar."Itu si Karin kaya orang lagi hamil ya, badannya melar, buah dadanya juga keliatan beda," cibir Aleta, salah satu penghuni kost di sana."Jangan asal ngomong kamu, nanti timbulnya fitnah loh," cetus Ica."Aku ini nggak asal ngomong, kalian pernah liat gak sih, kalo Karina pake baju ketat, ketara banget perutnya, kalau lemak kan bentuknya ngelipet, kalo d
Dengan langkah gontai, Karina berjalan meninggalkan kostan, tempat yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan cintanya dengan Dehan, suka duka telah dia lalui bersama, niat hati ingin bersanding di pelaminan, namun nyatanya cintanya harus kandas di tengah jalan."Karina," panggil Tia."Tia," seru Karina."Mau kemana kamu?""Aku mau pulang kampung.""Jangan lupa oleh-olehnya ya," ucap Tia, sambil cengengesan."Kayaknya kita nggak bakalan ketemu lagi deh," ujar Karina dengan sedih."Loh kenapa? Emang kamu nggak mau balik lagi? Nanti kuliah kamu gimana? Kerjaan kamu gimana? Sayang loh kalau di tinggal gitu aja." Tia terus melontarkan berbagai pertanyaan kepada Karina."Itu ojol pesananku udah dateng, aku pamit ya, jaga diri baik-baik." Karina lalu memeluk Tia, sebagai tanda perpisahan."Hati-hati
"Anam aku duluan ya, makasih udah mau nganterin," ucap Karina, sambil berpamitan dengan Anam."Hati-hati di jalan, titip ya Lik, anterin nyampe depan rumahnya dengan selamat," tutur Anam, seraya melambaikan tangannyaGapura kampung Pondok Wungu sudah di depan mata, dengan hati berdebar Karina berharap semuanya akan baik-baik saja."Rumahnya yang mana nduk?" tanya Parjo."Dari perempatan belok kiri, nanti ada rumah yang ada gapura kecil," jelas Karina.Meskipun sudah lama dia meninggalkan kota kelahirannya, namun Karina masih ingat betul letak rumahnya, yang tidak jauh dari perempatan jalan.Sepanja
"Mamah apa kabar?" tanya Karina, sambil sedikit membungkuk, saat hendak menggapai tangan Mutmainah, untuk menyalaminya, belum juga tangan Karina bersentuhan, namun segera di tepis dengan kasar oleh Mamah tirinya."Karin," seru seorang lelaki, suara baritonnya terdengar tidak asing di telinga Karina.Saat menoleh betapa senangnya Karina, dilihatnya lelaki yang selama 10 tahun ini jauh dari pandangannya, sosok yang sangat Karina rindukan."Ayah," teriak Karina, sambil berlari memeluk sang ayah."Ayah apa kabar? Karina kangen banget sama ayah, Ayah kenapa nggak pernah nengokin Karina?" Karina memberondong beberapa pertanyaan kepada Pak Diki."Maafin Ayah belum sempat nengokin kamu, soalnya udah beberapa tahun ini ayah merantau di Palembang, ini aja Ayah di kampung baru dua bulan doang," jelas Pak Diki."Tapi itu alasan yang nggak masuk akal Yah, 10 tahun waktu y
"Jangan larang Karina buat pulang ke sini, dan satu lagi, jangan pernah kamu bersikap kasar pada Anakku, kalau kamu nggak suka mending kamu aja sana yang pergi!" Hardik Pak Diki"Berani sekali kamu mengusirku Mas, tidak ingatkah kamu selama ini aku yang menemanimu dikala kamu susah, hingga sukses seperti sekarang ini, kenapa hanya karena anak itu kamu berani membentakku," balas Mutmainah, tak kalah sengit dari suaminya, dia kemudian berdiri sambil berkacak pinggang."Awas kamu Karina, lihat saja nanti, kamu pasti akan menerima balasan, karena telah mengganggu ketenangan dalam rumah tanggaku." Mutmainnah membatin dalam hati, sambil meremas ujung bajunya, kemudian dia pergi masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu, karena suaminya tidak menggubris ucapannya."Nek, kenapa d