Share

Welcome Tanah Kelahiran

"Anam aku duluan ya, makasih udah mau nganterin," ucap Karina, sambil berpamitan dengan Anam.

"Hati-hati di jalan, titip ya Lik, anterin nyampe depan rumahnya dengan selamat," tutur Anam, seraya melambaikan tangannya

Gapura kampung Pondok Wungu sudah di depan mata, dengan hati berdebar Karina berharap semuanya akan baik-baik saja.

"Rumahnya yang mana nduk?" tanya Parjo.

"Dari perempatan belok kiri, nanti ada rumah yang ada gapura kecil," jelas Karina.

Meskipun sudah lama dia meninggalkan kota kelahirannya, namun Karina masih ingat betul letak rumahnya, yang tidak jauh dari perempatan jalan.

Sepanjang perjalanan banyak orang yang menyapa Karina, karena ini kali pertama Karina berkunjung ke rumah ayahnya, setelah sepuluh tahun dia meninggalkan rumahnya.

"Karina," seru Wati yang terlihat sangat bahagia saat melihat kedatangan Karina, Wati adalah salah satu teman kecil Karina.

"Iya Wat, masih inget kamu sama aku, main ayo ke rumah," sahut Karina.

"Iya nanti aku main ke sana."

"Duluan ya Wat."

"Ini bukan rumahnya Nduk?" tanya Parjo yang telah berhenti di sebuah bangunan bercat hijau.

"Iya betul Pak, jadi ongkosnya berapa?"

"Seikhlasnya aja Nduk, itung-itung penglaris, soalnya kamu penumpang pertama saya pagi ini," ucap Pajro.

"Yaudah ini buat Bapak ya." Karina memberikan satu lembar uang berwarna merah.

"Tapi saya nggak ada kembalian."

"Ini buat Pak Parjo, ini rezeki buat Bapak, saya ikhlas ngasih buat  Bapak," tutur Karina dengan senyum manisnya.

"Ya allah, terimakasih atas rezekimu hari ini, makasih ya Nduk," ucap Parjo yang terus mengucapkan terima kasih kepada Karina.

"Mau mampir dulu nggak Pak, biar saya bikinin kopi."

"Nggak usah makasih, Bapak mau langsung balik lagi mau nyari muatan, soalnya kalau pagi-pagi ramai di pasar."

"Yaudah hati-hati di jalan Pak, terimakasih."

Dengan ragu Karina melangkah memasuki pekarangan rumah, tempat berjuta kenangan, setelah sepuluh tahun akhirnya Karina menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya, karena semenjak orang tuanya berpisah, Karina memilih tinggal dengan ibunya di Bogor.

"Assalamualaikum." Karina mengucap salam sambil mengetuk pintu.

"Kayaknya nggak ada siapa-siapa di rumah Bapak."

Bu Atiah yang baru saja keluar dari dalam rumahnya, langsung menghampiri orang yang berdiri di depan rumah anaknya, karena kebetulan letak rumah Bu Atiah, berdampingan dengan rumah Ayah Karina yang bernama Sodikin.

"Cari siapa," teriak Bu Atiah, sambil berjalan hendak menghampiri Karina.

"Ini Karin Nek."

"Karin Cucuku, owalah kamu sudah besar ya Nduk, mata Nenek kurang jelas kalo nggak pakai kacamata, makanya nggak ngenalin kamu," tutur Bu Atiah.

"Nenek apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, kamu masih ingat jalan pulang ke sini, nggak nyasar apa di jalan?"

"Nyasar aku nyampe ke Gandrungmangu, untung ketemu sama orang yang baik yang mau nganterin ke sini," ujar Karina.

"Kamu pasti capek kan ayo istirahat dulu di rumah nenek," ajak Bu Atiah sambil mengapit tangan cucunya.

"Ayah kemana Nek, kok sepi rumahnya?"

"Ayahmu ya ke ladang, baru saja tadi berangkat," jelas Bu Atiah.

"Kalo Mamak?"

"Mamak tiri kamu sama si Fika lagi belanja ke pasar, nggak penting ngomongin mereka, udah ayo ke rumah nenek dulu."

"Iya Nek." Karina mengekor di belakang neneknya, sesampainya di rumah sang nenek, terlihat ada sang kakek yang sedang duduk di bale bambu, sambil melinting rokok tembakau.

"Kakek, apa kabar," seru Karina Sambil menyalami sang kakek yang bernama Pak Asmadi.

"Karin, ini kamu Nduk?" tanya Pak Asmadi, dengan mata berbinar.

"Iya ini Karin kek."

"Kamu kenapa baru datang sekarang, udah lama Kakek menunggu kepulanganmu, semenjak kamu ikut Ibumu pindah ke Bogor rumah ini jadi sepi."

"Kan ada Fika Kek," ucap Karina, menyebutkan nama adik tirinya.

"Fika nggak pernah mau main di sini, Anaknya manja banget, beda sama kamu, Kakek lebih senang kamu sama Ibumu yang isi rumah itu, tapi sayang orang tua kamu harus berpisah, karena masalah yang sepele," jelas Pak Asmadi.

"Yang lalu biar berlalu, nggak usah diungkit lagi Kek, nggak enak kalau kedengaran sama Istri baru Ayah."

"Panjang umur tuh orang, baru juga diomongin," tunjuk Pak Asmadi kepada Mutmainah, yang tak lain adalah mamak tiri Karina, dia sedang membonceng adik tiri Karina yang bernama Fika di belakangnya.

Karina langsung berdiri dan berjalan menghampiri Mamak tirinya.

"Mak, sehat?" tanya Karina, sambil sedikit membungkuk, saat hendak menyalami tangan Mutmainah, namun segera di tepis dengan kasar oleh Mamak tirinya.

"Karin," seru seorang lelaki, suara baritonnya terdengar tidak asing di telinga Karina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status