Zara duduk di tepi ranjang rumah sakit. Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali ia datang ke sini. Ruangan itu dipenuhi bau khas obat-obatan, bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk. Meski sudah terbiasa dengan pekerjaannya sebagai dokter, tetapi entah mengapa ruangan ini terasa berbeda untuknya.
Jerry, pria yang pernah hampir menjadi suaminya, terbaring tak bergerak di hadapannya. Wajahnya pucat, tubuhnya seolah kehilangan kehidupan, hanya bergantung pada alat medis di sekitarnya selama lima tahun terakhir. Zara mengulurkan tangan, ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh jemari Jerry yang dingin. “Jerry…” Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan itu. “Aku di sini.” Ia menunduk, menatap wajah Jerry yang diam tak bereaksi. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan melihatnya dalam keadaan seperti ini. Pria yang dulu begitu tegas dan penuh percaya diri kini hanya menjadi sosok yang tak berdaya. “Aku tahu aku seharusnya sering datang. Tapi… aku takut,” ucapnya, mencoba mencari keberanian untuk melanjutkan. “Aku takut melihatmu seperti ini. Setiap kali aku masuk ke ruangan ini, rasanya seperti dunia berhenti. Aku tidak tahu harus bagaimana.” Zara menggenggam jemari Jerry lebih erat. Perasaan bersalah terus menghantuinya. Meskipun ia tahu bahwa Jerry tidak akan menjawab, ia tetap berbicara, seolah-olah suara itu bisa menembus tidur panjang pria itu. “Kamu ingat, Jerry, saat kita pertama kali bertemu?” Zara tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. “Kamu berdiri di sana, di depan keluargaku, dengan sikapmu yang menyebalkan. Aku membencimu saat itu. Tapi lambat laun, aku mulai melihat sisi lain darimu. Kamu melindungiku. Kamu membuatku merasa… dihargai.” Zara mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Matahari sore memancarkan sinar lembut, menciptakan bayangan samar di lantai. Ingatannya melayang pada masa-masa indah mereka bersama. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melewati semua ini tanpamu, Jerry.” Suaranya pecah. Ia menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang mengancam jatuh. “Aku membutuhkanmu. Aku benar-benar membutuhkanmu.” Hening. Hanya suara monitor yang menunjukkan detak jantung Jerry yang stabil namun lemah. Zara kembali menatap Jerry. “Kamu tahu, mereka bilang aku harus melupakanmu. Mereka bilang aku harus menerima kenyataan bahwa kamu mungkin tidak akan bangun.” Ia menggeleng pelan. “Tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin menyerah. Aku percaya kamu akan kembali. Kamu pasti akan kembali.” Pintu ruangan terbuka perlahan, dan seorang perawat masuk untuk memeriksa alat-alat di sekitar Jerry. Zara segera menyeka air matanya, berusaha terlihat tegar. “Bagaimana kondisinya, suster?” tanyanya, suaranya bergetar. Perawat itu tersenyum tipis. “Keadaannya stabil, Nona Zara. Tidak ada perubahan signifikan.” Zara mengangguk, meskipun jawaban itu menusuk hatinya. “Terima kasih,” ucapnya singkat. Setelah perawat pergi, Zara kembali duduk di sisi Jerry. Ia menunduk, menyandarkan keningnya pada tangan Jerry yang dingin. “Jerry, kumohon bangun. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpamu.” Ia terisak pelan. “Aku tahu aku bukan perempuan yang sempurna. Aku tahu aku sering membuatmu kesal. Tapi aku mencintaimu. Dan aku… aku belum siap kehilanganmu.” Sebuah bayangan kecil muncul di pikirannya. Jerry bangun, tersenyum padanya seperti biasa, dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Tapi itu hanya khayalan, sebuah harapan yang entah kapan akan menjadi kenyataan. Setelah beberapa saat, Zara mengangkat kepala dan menatap wajah Jerry lagi. Ia mengusap rambut Jerry dengan lembut, sesuatu yang dulu selalu ia lakukan saat pria itu sedang lelah. “Kamu selalu bilang aku terlalu keras kepala. Tapi kali ini, aku akan lebih keras kepala lagi. Aku tidak akan menyerah padamu, Jerry. Tidak akan.” Mata Zara tertuju pada jemari Jerry yang diam. Dia menggenggamnya lebih erat, berharap ada sedikit respons, gerakan kecil, sentuhan balik, apa saja. Tapi tangan itu tetap tak bergerak. “Jika kamu bisa mendengarku, kumohon beri aku tanda,” bisiknya penuh harap. Namun, tak ada jawaban. Sunyi masih menyelimuti ruangan itu. Zara menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa sakit yang terus menghantam dadanya. “Aku akan kembali besok, Jerry. Dan besoknya lagi, sampai kamu bangun. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku akan menunggumu.” “Zara, ayo kita pulang,” suara ibunya terdengar lembut namun tegas dari balik pintu, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Kalau Tuan Arman tahu kamu ke sini, dia pasti marah.” Zara menoleh perlahan, menatap pintu yang sedikit terbuka. Ia tahu ibunya benar. Tuan Arman, ayah Jerry, selalu menentang keberadaannya di sini sejak kecelakaan itu. Baginya, Zara hanyalah pengingat dari semua hal buruk yang telah terjadi pada Jerry. Namun Zara tidak peduli. Ia tidak bisa membiarkan rasa bersalahnya memakan dirinya hidup-hidup. Jerry membutuhkan seseorang di sisinya, bahkan jika semua orang berpikir sebaliknya. “Aku tidak peduli, Bu,” kata Zara dengan suara yang bergetar. Ia mencoba terdengar tegas, tapi emosi terlalu memenuhi dirinya. “Aku hanya ingin ada di sini untuk Jerry.” Ibunya masuk ke dalam ruangan, wajahnya penuh kekhawatiran. “Zara, kamu tahu bagaimana sikap Tuan Arman. Dia menyalahkan kita atas semua ini. Kalau dia tahu kamu datang, situasinya akan semakin buruk.” Zara berdiri, menatap ibunya dengan tatapan penuh tekad. “Biarkan dia menyalahkan aku. Biarkan dia membenci aku, Bu. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Jerry. Aku tidak bisa…” Suaranya pecah, air mata mengalir tanpa bisa ia cegah. “Zara…” Ibunya mendekat, mencoba menenangkan putrinya. “Ibu tahu kamu peduli pada Jerry, tapi ada batasnya. Kamu juga harus menjaga dirimu sendiri. Kamu tidak bisa terus seperti ini.” Zara tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap Jerry yang terbaring diam, tubuhnya begitu rapuh di bawah cahaya lampu. Dalam hati, ia berdoa sekali lagi. “Jerry, bangunlah. Kumohon, bangunlah. Aku tidak bisa melupakanmu.” “Ibu tunggu di luar,” kata ibunya sebelum meninggalkan ruangan, memberi Zara beberapa saat terakhir bersama Jerry. Zara mendekat lagi ke sisi tempat tidur, menggenggam tangan Jerry dengan kedua tangannya. Ia tahu waktu tidak berpihak padanya, tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berharap, meski hanya sedikit. “Jerry,” bisiknya, “kalau kamu bisa mendengarku, bangunlah. Aku akan tetap di sini, menunggumu.” Setelah beberapa menit, Zara menarik napas panjang dan melepaskan genggamannya. Ia berdiri perlahan, membetulkan selimut yang menutupi tubuh Jerry sebelum berbalik menuju pintu. Tapi sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, ia berhenti. “Kumohon, jangan biarkan aku menunggu terlalu lama,” katanya tanpa menoleh. Suaranya lirih, hampir seperti doa.Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."