Share

Bab 5 - Hukuman untuk Jena

"Pak polisi, saya Komandan Detektif, Erik Bayroad. Bapak yakin mau menangkap saya?"

"Maaf pak Bayroad, atas laporan yang kami terima, anda terlibat dalam penyerangan seorang pemuda di taman kota."

"Saya rasa bapak salah menangkap orang. Pelaku kejadian itu sudah saya amankan di kantor saya."

Mendengar pernyataan itu kedua polisi pun tertarik untuk membuktikan ucapan Erik.

Mobil polisi melaju dengan Erik di dalamnya, melaju ke kantor detektif Bayroad cabang selatan.

Disana mereka dipertemukan dengan para preman yang memukuli Rudi. Kita semua tahu kejadian sebenarnya, tapi Erik dapat memanipulasi segalanya.

Tidak ada rekaman kamera, cctv, maupun saksi mata dari kejadian itu. Semua aktor royal pada Erik bahkan mereka rela memberikan kesaksian palsu dan masuk penjara untuk melindungi Erik.

Proses interogasi, pengumpulan barang bukti, dan pengadilan berjalan tidak lebih dari satu hari. Rudi yang melaporkan Erik pun menghilang setelah kalah dalam pengadilan.

Merasa Rudi akan kembali lagi, Erik menyuruh anak buahnya yang bernama Kirishima untuk mengawasi kota.

"Hack semua cctv. Temukan Rudi dan ikuti dia secara diam-diam."

"Kalau kita langsung mendekatinya setelah sidang, kita akan dicurigai."

"Dicurigai oleh siapa? Polisi?" Tanya Kirishima.

"Bukan mereka. Jenderal polisi adalah teman kita. Maksudku kantor detektif swasta saingan kita."

"Mereka hanya kantor swasta kecil. Aku bahkan sudah mendapatkan semua data mereka. Tenang saja bos. Aku akan mengawasinya dari jauh seperti yang bos minta."

"Tolong ya, Kirishima."

Jena marah padaku karena membuat hidungnya berdarah. Dia menolak semua inisiatifku dan mengurungku di gudang.

Gudang yang penuh barang bekas dan pengap. Sejujurnya aku tidak berani melawan Jena karena dia adalah adik angkat mas Erik. Untunglah ada mbak Tari yang perhatian kepadaku.

Berbeda dengan Jena yang mengamuk setelah hidungnya terbentur pintu kamar mandi, Mbak Tari yang terang-terangan aku pukul hari itu tidak sedikit pun menunjukkan tanda permusuhan, bahkan dia rela dikurung bersamaku.

"Mbak Tari, maaf saya memukul kamu hari itu."

"Tidak apa-apa nona. Saya mengerti kalau nona sedang banyak pikiran, tapi semoga hal itu tidak terjadi lagi."

Tidak lama kemudian datang seseorang membukakan pintu.

Orang itu adalah mas Erik.

Perasaan Lega dan gelisah bercampur di dadaku. Apa yang akan terjadi setelah ini? Aku tidak terlalu memikirkan mas Rudi lagi sejak kejadian menyeramkan kemarin.

"Mas Erik!"

Mas Erik membuka tangannya seperti hendak memelukku tapi aku menolak dekapannya dan bertanya padanya. "Apa benar mas Rudi yang melaporkan kamu?"

Seketika ekspresi mas Erik berubah kecut.

"Iya. Lebih penting lagi, siapa yang mengurung kamu di gudang?"

Aku ragu mengatakan yang sebenarnya. Takut mas Erik menganggapnya fitnah. Lalu mbak Tari memberitahu yang sebenarnya.

"Nona Jena, tuan. Dia mengurung nona Linda disini karena nona tidak sengaja melukainya saat keluar dari kamar mandi."

Mendengar itu mas Erik langsung menarik tanganku dan kami menghampiri Jena yang sedang bersantai di kamarnya.

Mulanya mas Erik memintaku menunggu di luar. Dia menyapa Jena dengan akrab, menanyakan kabarnya. Setelah itu membanting pintu kamar Jena.

"Apa maksud kamu mengunci istri mas di gudang? Kamu mau membuatnya sakit?!"

"Biarin! Aku juga korban! Lihat hidungku sampai di perban karena ulahnya!!"

"Linda, masuk!"

Aku melangkah ke kamar Jena dengan tubuh gemetar. Mas Erik berusaha menegakkan badanku.

"Ceritakan kronologi kejadiannya?!" Perintah mas Erik.

Aku pun menceritakan kejadian sesungguhnya.

"Mulanya Jena kelihatan baik-baik saja, tapi setelah mas Erik pergi dia mulai marah dan mengunciku di gudang selama 10 jam. 4 jam yang lalu mbak Tari masuk ke gudang dan menemaniku."

Jena menyela dengan nada tinggi. "Menghukum anggota keluarga baru tidak salah. Lagipula ada pembantu itu yang menemaninya."

"JENA!!"

Teriakan mas Erik membuat semua orang terdiam.

Mas Erik mengarahkan pandangan ke Jena. Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena posisiku di belakang, tapi dilihat dari ekspresi Jena yang ketakutan tampaknya mas Erik sangat marah.

"Jena. Sebagai hukuman mengunci Linda di gudang, kamu tidur di luar malam ini!"

"Bukan di ruang tamu, tapi di pondok luar dekat air mancur. Jangan tidur di rumahku!"

Tanpa sadar tanganku menutup mulutku yang ternganga. Mas Erik memihakku, tapi hukuman yang dia berikan terlalu berlebihan, mengingat di luar sedang hujan deras.

Jena hanya bisa terdiam menatap syok wajah mas Erik.

Kalau dibiarkan Jena akan menaruh dendam pada mas Erik, atau mungkin padaku.

"Tunggu mas, aku rasa hukuman itu terlalu berlebihan. Jena bisa sakit kalau tidur di tempat lembap dan dingin seperti itu."

"Tutup mulutmu Linda! Anak ini harus dihukum karena mencoba merusak properti pribadiku!"

Aku adalah properti pribadi yang dia maksud.

Jena pun diseret ke luar. Mas Erik benar-benar kejam, dia tidak ada rasa pada Jena yang memeluk kakinya dengan penuh isak tangis.

Jika aku berada di posisi Jena, maka bukan hukuman tidur di tempat dingin yang aku permasalahkan. Tapi sikap diskriminasi yang diberikan mas Erik. Jena adalah adik angkat, sementara aku istri sahnya. Apakah pantas seorang adik diperlakukan lebih rendah dari istri?

Ketika di kamar aku bertanya pada mas Erik, siapa yang lebih penting antara aku dan Jena.

"Mas kalau disuruh memilih antara aku dan Jena, siapa yang akan kamu selamatkan lebih dulu?"

Mas Erik tidak langsung menjawabnya. Tidak lama jawaban yang kunanti keluar dari mulutnya.

"Keduanya punya derajat yang sama di mataku. Aku akan melindungi atau menghukum setelah mengetahui duduk perkaranya."

"Kamu tidak perlu merasa bersalah."

Tiba-tiba pertanyaan lainnya melintas di kepalaku. Kali ini jawaban yang aku harapkan sedikit vulgar.

"Apa yang mas inginkan dari istrimu yang penurut?"

Harapanku dia sedikit lebih tenang jika aku mengabulkan satu permintaannya. Tapi mas Erik malah meminta hal yang tidak terduga.

"Aku ingin kamu terus berada di rumah. Hanya meninggalkan rumah jika aku memintanya. Aku ingin kamu jadi properti cintaku selamanya."

Mas Erik meraba tubuhku. Libidonya naik lagi.

"Aku tidak bisa menjadi milikmu selamanya. Kontrak kita hanya berlaku sampai tahun depan."

Seakan tidak peduli, mas Erik menyentuh buah dadaku. Dekapannya sangat hangat. Rasanya sungguh nikmat.

Mas Erik meremas buah dadaku yang masih terbungkus daster pink.

Disaat seperti inilah nafsuku terhadap mas Rudi perlahan rontok. Keraguan untuk menerima cinta mas Erik menahanku tidak gila saat terlibat urusan ranjang dengannya.

Aku mulai basah, tapi mas Erik menarik diri saat aku mendekati klimaks.

"Maaf ya dek, malam ini mas ada kerjaan yang belum selesai."

Mas Erik meninggalkanku dalam kenikmatan setengah jadi. Suami yang benar-benar jahil!

"Tunggu, apa ini berarti aku sudah jatuh cinta pada mas Erik?"

Mas Erik kembali dengan dua cangkir teh panas. Aku yang penasaran bertanya padanya.

"Pekerjaan kamu sudah selesai?"

Mas Erik menjawab sambil menyeruput teh yang masih berasap. "Belum. Tapi ada ayah yang menyelesaikannya untukku. Sekarang kita bisa kembali melanjutkan aktivitas yang tertunda."

"Ayo istriku, malam ini akan aku penuhi ruang pribadimu dengan bibit unggulku."

"Ayo kita buat anak." Ajak mas Erik lembut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status