Share

Terjerat Gairah Arjuna
Terjerat Gairah Arjuna
Penulis: haihaw

01. We met this morning

Matahari menempel di langit utara. Perlahan merangkak ke atas kepala. Kanvas putih kebiruan diraib oleh gurat-gurat kelabu kelam. Katanya musim panas baru akan berakhir, ternyata hujan sudah tidak sabar melepas aspal dari kegerahan. Terdiam di pemberhentian bus, Juna menelisik heran pada cuaca. Apakah air dan sinar sang rawi sedang bertengkar hari ini? Orang bilang ini hujan monyet. Kenapa? Padahal tidak ada monyet turun dari langit. Aneh-aneh saja.

 

Lalu yang jatuh malah seseorang di depan Juna. Refleks ia meraih lengan gadis itu agar tubuhnya tidak mencium tanah. Bukannya mengeluh, si pemudi malah menampakkan geliginya kepada sang penolong. Entah menertawakan kelalaian diri atau memang dia murah senyuman.

Urutan detik-detik membawa detak-detak tak beraturan dari organ bernama jantung milik si adam, sebelum otak menyeretnya pada alam sadar yang sungguhan. Gadis itu belum sepenuhnya aman dari hujan. Juna segera menariknya pelan hingga mereka disatu atap halte yang sama.

"Nggak apa-apa?" tanya Juna kemudian. Perlahan genggamannya pada si hawa meluruh.

Yang ditolong mengusap beberapa bagian bajunya yang basah. Matanya sekilas melirik pada sepatu di kaki kanannya, mencari tahu apa yang membuat ia berpijak tidak sempurna di undakan trotoar. Nihil, sepertinya memang hanya karena tergesa saja usai menyeberang jalan.

"Iya, terima kasih," gadis itu membalas pertanyaan Juna seraya kembali menampilkan senyuman. Kali ini lebih tipis dari tadi.

Sama-sama memposisikan diri menghadap bulevar, tidak ada lagi dialog di antara mereka. Toh, saling kenal pun tidak. Pertemuan perdana, mungkin dengan orang-orang di belakang mereka juga. Jadi tidak aneh jika sama-sama diam.

Tidak tahu kenapa bus terlambat. Karena hujan atau sesuatu yang lain. Membuat orang-orang harus sabar menunggu. Pukul 09:25 pagi, Juna memeriksa waktu di ponselnya. Masih ada sekitar 35 menit untuk jadwal kuliah hari ini. Diam-diam ia bersyukur sebab tak perlu lari atau mengeluarkan rupiah lebih untuk memesan jasa antar. Ada untungnya juga alarm bernyawa yang membangunkan Juna lebih pagi hari ini.

Lelaki itu menyimpan kembali benda pipih hitam di balik saku celana, lalu tidak sengaja melirik eksistensi perempuan tadi. Tidak sengaja, tolong digarisbawahi. Gadis yang cukup tinggi, berbalut sweater lilac dan jins putih. Helai surainya terurai begitu saja. Kadang anak-anak rambutnya beterbangan terbawa angin, punya Juna pun demikian. Tapi tidak begitu mengganggu seperti milik si pemudi, yang sampai membuatnya berulang kali menyingkirkan benang menggelikan itu dari wajah.

Tas kulit kecil tersampir di pundaknya, sedang sebuah map plastik ada di pelukan. Untunglah terbuat dari plastik, lembaran kertas di dalamnya jadi tidak basah.

Drrt

Sena :

| Lupa jalan ke kampus?

Juna menatap malas ke arah ponsel yang kembali ia keluarkan sebab bergetar hingga mengalihkan atensinya dari objek cantik tadi. Si alarm yang tadi pagi sudah berteriak-teriak memekakan telinga, kini mengirim pesan pada Juna. Secepatnya cowok itu pun mengetik balasan.

Juna :

Rese lo btch, busnya lama ini |

Sena :

| Alasan👉👈

Juna :

Gila |

Blocked |

Sudah, Juna yang masih waras akan mengalah. Meladeni manusia labil itu barangkali hanya akan membuatnya emosi. Juna masih harus sabar sekarang untuk menunggu bus. Sebab motornya yang mogok belum sempat ia bawa ke bengkel, jadilah ia tiap hari naik kendaraan umum dari indekos ke kampus. Lalu tak lama kemudian mesin persegi itu pun hadir di hadapannya.

Juna mempersilakan beberapa orang dewasa yang sudah mengantre untuk masuk lebih dulu. Ternyata si hawa juga bersiap untuk naik. Kebetulan macam apa? Entahlah. Juna hanya akan masuk juga. Tidak perlu teori macam takdir dan sebagainya.

Si cantik duduk di kursi tengah, sampingnya kosong. Tidak ada alasan untuk stranger boy dengan penampilan bad boy seperti Juna menempatinya selama masih ada kursi lain yang kosong. Lantas adam itu memilih singgasananya sendiri, paling belakang dan pojok kiri: zona ternyaman.

Lebih lambat tiga menit dari 10 menit perjalanan biasanya. Jam 09:56 bus baru sampai di depan kampus. Juna hendak turun. Biasanya ia satu-satunya orang yang meninggalkan kursi, tapi kali ini ada yang lebih dulu berdiri. Lagi-lagi si lilac. Di depan, gadis itu merapikan tas dan melangkah menuju pintu keluar bus, begitu pula Juna yang ada di belakangnya beberapa langkah. Tidak disadari, tidak ada basa-basi apapun lagi. Sekadar, "Oh turun juga? Kuliah di sini juga?", tidak ada.

Mengingat waktu, si adam bersiap untuk menggerakkan kakinya cepat. Kalau begini tidak ada keuntungan apapun untuk Juna bangun pagi hari ini. Yang ada malah sial, karena dengan waktu empat menit ia harus sampai di fakultasnya. Gedung itu ada di sisi kiri dan menjorok ke dalam area kampus. Belum lagi kelasnya di lantai dua. Asal tahu saja, cukup menguras tenaga.

"Hei, Sena! Kita ketemu nanti aja, gue telat!"

Cukup mengutarakan kalimat itu dan Juna langsung memutus sambungan telepon. Kakinya sudah berlari menyusuri halaman kampus.

-: ✀ :-

Sisa hujan dan ... kenangan? Tidak.

Hujan 100% air, tidak membawa kenangan apapun bagi Juna. Jika diingat, memang hidupnya monoton saja. Tidak ada yang spesial pakai telur. Kuliah, kadang ikut UKM, pulang dengan manusia bar-bar macam Yusi, part time, atau kumpul dengan gengnya. Seperti hari ini, mungkin permintaan Sena untuk bertemu hanya untuk menghabiskan waktu bersama dengan tiga pemuda jangkung yang lain. Lokasinya Juna belum tahu. Jadi ia memutuskan menunggu Sena di area kampus.

Lewat tengah hari, bersandar pada teralis pagar lantai dua Juna mengunyah permen karet yang hampir tak ada rasa manisnya lagi. Matanya menatap ponsel dengan satu ibu jari menggulir layar patah-patah. Jika dikira sedang menyelam di media sosial atau berita harian, itu salah. Memeriksa tagar trending hanya Juna lakukan ketika ingin, dan sekarang sedang tidak ingin.

Jika crush orang-orang adalah cewek cantik atau cowok tampan, berbeda dengan Juna. Crush-nya adalah cewek berkepang dua dengan pita merah di atas kepala yang suka memberinya reward setelah naik level. Si adam yang sudah berkepala dua itu kini tengah menyatukan permen-permen hingga pecah dan menghilang. Dia ingin reward dari crush-nya jadi harus naik level hari ini.

Sekadar informasi, Juna sudah sampai level 760 dalam game Permen Pecah tapi ketika membersihkan memori ponsel yang penuh, data aplikasi itu terhapus, dan mengulang dari level satu.

"Sialan!" Dia mengumpat pelan. 

Selain kita yang mengingatkannya tentang kejadian miris itu, kali ini tanda hati warna pink telah habis. Juna tidak bisa main lagi. Hendak beralih aplikasi, sayup-sayup ia mendengar suara yang baru saja ingin ia teriaki di telepon. Siapa yang mengajak bertemu, siapa pula yang terlambat.

Sena kini datang. Tidak sendiri. Berjalan sambil bercakap, dan lawan bicaranya itu...

'Ini bukan takdir, kan?'

"Udah lama?" tanya Sena.

'Sampai gue lumutan, anj-astaga.'

Juna hanya membatin untuk mengucap balasan semacam itu. Tidak etis jika ia berkata kasar di depan orang yang—kenapa Sena kenal gadis itu? Alhasil Juna hanya mengangguk sembari menegakkan tubuh dan menghadap mereka. Sebab tak kunjung dijelaskan dengan situasi saat ini, Juna menatap Sena dengan menampilkan gerak limit bibirnya.

Yang dipelototi paham, tumben, lalu membenarkan satu tali tas di bahu kiri sementara tangan kanannya terarah pada gadis di sisinya. "Ah, ini temanku di klub penyiaran. Arina," katanya.

Lalu telapak tangan Sena pun jatuh di pundak Juna. "Ini anak nakal, Arjuna," celetuknya sembari menatap si gadis yang masih berbaju lilac itu.

Lelaki semampai berlesung pipi itu hampir kena bogem dari Juna jika saja si gadis tak kunjung berucap. "Oh, yang tadi pagi?" Arina mengacungkan jarinya pada Juna. Lantas mendapat anggukan dari si adam.

'Oh, masih ingat?' batin lelaki itu sebelum melisankan namanya. "Juna."

"Arina, panggil aja Arin."

Keduanya saling menjura singkat sebagai salam. Menyisakan Sena yang menatap dua manusia itu bergantian. "Apa itu? Kalian udah saling kenal?"

"Tidak, hanya saja... kami bertemu pagi tadi."

Ucapan Arin sudah mewakili. Juna hanya membenarkan dengan anggukan. Sena pun demikian, tanda ia paham.

"Ah begitu," Sena berkata seraya kembali membenarkan tali tasnya. Dia itu membawa seperangkat mikrofon siaran atau bagaimana? Ransel hitamnya terlihat berat sekali.

"Kalau gitu, aku pergi dulu," ucap Arin pada Sena. Lalu setelah diiyakan, ia merunduk singkat untuk pamit pada Juna.

Tinggallah dua manusia tampan itu di tempat. Yang satu sibuk memeriksa ponsel, sedang satunya sibuk menjaga manik yang sulit terkendali. Presensi gadis itu bak zat adiktif yang memabukkan Juna, candu sekali, terlebih... senyumnya. Usai kembali sadar, ia berbalik menghadap Sena.

"Siapa dia?" Kali ini dengan terang Juna bertanya. Ya, meskipun tadi sudah dijelaskan, tapi belum jelas, dan Juna ingin sejelas-jelasnya. Tiba-tiba hidupnya ribet sekali.

"Kenapa?" Sena menyipitkan mata, menelisik gelagat tak biasa dari seorang Arjuna Abisatya. Empat tahun berteman, baru kali ini tingkah pemuda itu menandakan manusia normal. Sena kira hidup Juna hanya didedikasikan untuk Yusi Hareshandi seorang

"Gue tanya, dia siapa?" Masih kekeh juga Juna itu. Rasa penasarannya belum kelar, bahkan ketika Sena sudah mulai mengajaknya melangkah pergi.

"Arin, Arina Sekar Pramesti. Teman gue di penyiaran. Harus berapa kali gue bilang?" Sena menggerutu pelan ketika melafalkan kalimat terakhir dari ucapannya.

"Kuliah di sini juga? Jurusan apa? Tunggu, sejak kapan lo bisa kenal cewek selain Lila?"

"Permisi, apa lo ibu gue?" Dengan jari tersemat di lubang telinga sendiri, Sena sedikit berteriak untuk menghentikan kebangkitan rapper Juna. "Lagian lo kenapa tanya gue? Bukannya kalian udah menghabiskan waktu bersama sepagian?" sindirnya kemudian. Nampaknya ia masih dongkol sebab penantiannya tadi pagi sia-sia. Teriakannya membangunkan Juna pagi-pagi juga tidak berguna.

"Sialan, gue beneran nunggu bus ya!"

"Nunggu bus apa nunggu bus?" Kali ini Sena menyenggol lengan Juna dengan pundaknya. Sedangkan wajahnya—jangan tanya, habis-habisan menggoda temannya itu.

"Serah," final Juna. Ia sendiri tidak paham kenapa kelepasan bertanya-tanya tentang orang asing itu. Apalagi perempuan. Ini seperti bukan Juna yang biasanya. Tapi, apa itu salah? Apa bertanya semacam itu ada larangan? Tidak, 'kan?

"By the way, tas lo isi apa sih? Berat gitu." Nah, Juna juga penasaran, 'kan.

Sena lantas sedikit menarik tasnya sebelum menjawab. Dan dengan polosnya ia berkata, "Mikrofon."

'Anj-ir...' batin Juna.

»»-----  ⋆ á”â±Êłá”ƒá¶œËĄá”‰ ⋆ -----««

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status