Sebutlah Arjuna Abisatya itu anak semata wayang. Sebab nyatanya memang begitu. Tinggal sendiri di tengah-tengah kota Semarang, orang tuanya ada di kota budaya Surakarta. Sang ayah menghabiskan waktu mengelola bisnis furnitur, sementara ibunya merawat orang-orang sakit usai ditangani dokter. Apalah daya, anaknya sendiri malah jarang sekali diurus. Tetapi, Juna enggan mempermasalahkan itu. Selain karena sedang menempuh pendidikan di kota lain, ia juga sudah dewasa, menurut kata hatinya.
Tapi sesempurna apa cowok 20 tahun mengurus diri sendiri? Bagaimanapun dia masih membutuhkan keluarga. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan material, tapi juga afeksi dan perlindungan. Juna kehilangan potongan puzzle itu. Hendak mencari pun, toh tempatnya sudah ada, hanya sulit diraih saja.
"Jadi buat apa ketemu?" Si adam bersurai hitam itu melempar tanya. Dua telapak tangannya menempel pada sebuah meja bundar di sudut ruang kafe. Melukiskan dua bahu yang makin hari makin meruncing saja. Sebenarnya dia makan teratur atau tidak? Yang bertambah pada posturnya hanyalah tinggi, tinggi, dan tinggi badan saja.
Siang menuju keburitan, Juna sudah berbalut apron kerjanya. Telah dikatakan, selain kuliah dia juga part time. Menambah uang jajan, tentu. Mengisi waktu, juga benar. Sendiri di indekos memang nyaman, tapi ada masanya bosan juga. Dan tugas kuliah seringkali tak tahu diri. Dengan part time, terkadang ia melupakan semua itu dan seolah tak ada beban pikiran apapun.
"Hanya..." Sena mulai berkata dan semua orang memenuhkan atensi padanya. "Ingin kumpul aja," lanjut pemuda bermarga Mahatma itu. Nampak santai sembari meraih kentang goreng di piring.
Jangan tanya dengan ekspresi empat lelaki lainnya. Usai mendengar pernyataan itu, Juna beserta Banu, Tara, dan si blasteran Kamal saling melempar pandang. Sebelum sang sesepuh menegakkan diri lalu menaikkan lengan-lengan bajunya. Bersiap melayangkan—minimal tamparan mungkin, pada Sena. Sayangnya, emosi Juna masih terkendali. Ia pun mendaratkan dua telapak tangannya di tiap pinggang.
"Terus tadi pagi?" tanyanya lagi.
Disela kunyahan, Sena memutar memori tentang apa yang ditanyakan Juna. Tak lain dan tak bukan adalah ketika ia teriak-teriak di telepon untuk membangunkan Juna. "Oh, gue mau barter tugas, tapi lo malah kencan."
'Mulutnya, sialan si Sena!' batin Juna.
"Kencan? Juna kencan dengan siapa?" Kali ini Kamal menyahut. Khas sekali, apa-apa dibuatnya terkesan wah! Tipikal manusia polos sedunia. Bahkan sekarang wajahnya amat sangat penasaran.
"Barter apaan, yang ada lo tinggal nyalin!" Terima kasih kepada otak Juna yang memunculkan ide untuk mengganti topik obrolan sebelum kebablasan.
"Yusi?"
'Apa lagi ini?'
Nampaknya usaha Juna gagal. Malah sekarang masuk tokoh lain dalam topik awal. Dan kenapa pula Banu mengucap nama itu? Padahal semua orang juga tahu hubungan Juna dan Yusi sebatas ... hewan buas dan pawangnya? Oui, kurang lebih seperti itu.
"Serius?"
Nah, asumsi-asumsi ngawur itu membahayakan manusia mudah percaya macam Tara. Dengan mata berbinar ia malah menatap Juna, meminta penjelasan. Bukan hanya dia, Banu dan Kamal pun demikian. Tapi tidak dengan si penyulut api yang dengan santainya menggerus kentang-kentang dengan gigi kelinci.
"Bukan Yu—"
"Percaya dia, go to hell now!"
Setelah menyela Sena, Juna segera pergi meninggalkan tempat. Bukannya apa, tapi ada pembeli yang masuk ke kafe, ia harus melayani. Sembari berlari kecil, lamat Juna dengar percakapan keempat kawannya masih berlanjut. Di balik meja kasir, seraya menunggu pembeli merogoh lembar rupiah, mata Juna bersitatap dengan Sena. Dengan cepat ia menggerakkan dua jarinya dari depan mata ke udara. Bermaksud mengancam sebelum temannya itu membongkar hal-hal yang tidak penting. Meski Juna tahu, Sena akan nekat. Mutlak.
'Tunggu... Kenapa gue setakut ini mereka anggap gue kencan betulan? Itu 'kan nggak bener. Gue cuma nunggu BRT anjir tadi pagi,' paparnya dalam hati.
"Terima kasih." Frasa lain pun muncul untuk membalas seorang lelaki yang membayar pesanan cappuccino itu. Lalu Juna menyimpan uang sebelum melangkah hendak kembali ke tempat gengnya. Surai itu ia acak perlahan, bingung sendiri dengan perasaan.
"Berhasil nyebar hoax apa lo?" Setibanya di tempat semula, Juna langsung melempar kalimat itu pada Sena. Mukanya sudah malas, tapi harus bersiap menerima hujatan.
"Nggak apa, gue dukung."
"Emang cantik sih orangnya."
"Cocok deh. Tapi dia kalem, Juna bar-bar."
'Anjir, kesel nggak sih lo jadi gue? Ngilang bentar aja udah ada rahasia di antara temen lo yang ngumpul. Shit!'
Akhirnya Juna hanya menghela napas berat. Terlanjur tidak bisa dibendung setiap kata yang keluar dari mulut si Sena. Terlebih dia juga tak ada kuasa mengendalikan pikiran-pikiran empat manusia di hadapannya itu. Andai saja ada mantranya.
"Juna, air..."
Suara memelas itu bukan dari Sena yang minum lemon squash, bukan dari Kamal yang makan sosis atau Tara yang memainkan alat makan, bukan juga dari Banu yang merapikan poninya dengan menatap layar hitam ponsel. Itu berarti ada orang lain di sana. Dan semua dibuat menoleh pada sebongkah objek yang sudah menjatuhkan diri di meja sebelah.
"Gue kira yang diomongin datang," Kamal bergumam pelan usai menunda acaranya mengunyah daging kecoklatan itu.
"Lagi?" Juna melepas lipatan tangan di dada, lalu melangkah untuk masuk ke area pekerja. Ketika melewati gadis itu, ia menepuk kepalanya dengan bagian luar tangan. "Berhenti nyuruh gue, bitch."
Yang dikatai pun masih diam dengan wajah tak terlihat. Sejak tadi sudah tenggelam di antara lengan yang bertumpu di meja. Tak peduli dengan surainya yang menutupi, bahkan tak peduli dengan celaan Juna. Sudah biasa. Seolah tiap hari ia mendengar candaan itu.
Tidak sampai semenit, Juna datang dengan segelas air mineral di tangan. Ia pun meletakkan benda itu di depan Yusi yang menyibak anak rambutnya agar enyah dari wajah.
"Thanks," ucap Yusi sembari susah payah mengangkat gelas. Dia itu sedang tertimpa kesialan macam apa? Penampilannya tak beda dengan benang ruwet. Lajur keringat sudah membekas di pelipisnya. Deru napasnya pun tak beraturan lagi.
"Jangan lupa bayar," celetuk Juna kemudian.
"Dih, kapan gue gak bayar, ha?" Untunglah air di mulut Yusi sudah tertelan. Jika belum, akan ada hujan lokal yang berakhir perdebatan sengit di sana. "Oh, ada temen-temen lo ternyata." Oh, jadi sekian menit itu dia tak menyadari empat makhluk di meja sebelah?
'Ya... mereka pantas tidak terlihat.'
Nampaknya kini giliran Juna yang dongkol dengan teman-temannya karena telah membicarakan dia di depan itu. Di ruang kafe bagian depan, maksudnya. Ada rahasia pula. Juna sendiri masih sangsi apakah Sena benar-benar sebut merk atau tidak. Semuanya sulit ia tebak, entah itu pembicaraan kawan-kawannya pun atau bisikan-bisikan hati sendiri.
"Lo sendirian? Pacar gue mana?" Sekarang Banu yang bertanya. Entahlah, memang random sekali orangnya.
"Nggak tahu. Gue bukan emaknya, please," Yusi membalas. Mungkin sekitar tiga atau empat tahun gadis itu terseret circle pertemanan Juna. Jadi, mau berkata sekasual apapun juga sudah biasa. Dan catat, meskipun Sherima Sasmaya— pacar Banu—adalah temannya, jika sudah sibuk dengan perkuliahan akan sangat jarang bertemu.
"Beda fakultas juga, stupid. Kamal yang sama, satu jurusan malah." Juna yang masih berdiri di sisi meja Yusi pun menambahi ucapan gadis itu untuk menjawab pertanyaan Banu.
"Oh, benar. Pacar gue mana?" Banu mengubah haluan kepala menghadap lelaki bersurai cokelat terang ber. Benar-benar, Manggala Banu... cutest boy ever!
"Gue bukan bapaknya, please," ucap Kamal dengan nada datar.
"Lo sendiri juga satu jurusan, bruh." Sayangnya Tara orang kalem. Jika tidak, kalimat itu mungkin sudah ia katakan bersama sumpah serapah atau barang-barang sekitar yang melayang.
Sepertinya memang hanya Tarachandra yang ingat bahwa Banu dan pacarnya berada di satu jurusan yang sama, yaitu Administrasi Publik. Saking absurd-nya, si adam berponi panjang itu juga tak ingat. Lantas sekarang malah tertawa kencang sendiri seraya mengotak-atik ponsel. Mungkin dia akan menghubungi pacarnya, hingga tak peduli dengan hujatan Juna dan Sena yang bertubi-tubi.
"Temen lo..." Yusi melirik Juna sembari bergumam. Tangannya yang melepas gelas kini mengacungkan telunjuk miring-miring di dahi.
"Ngaca, tolong," balas si adam seraya memajukan kepalanya mendekat pada Yusi. Usai mendapat diorama pertautan alis di wajah gadis itu, ia pun berlari menuju kasir. Alasan yang sama, pembeli.
-: ✤ :-Sebatas... hewan buas dan pawangnya.Oui, seperti itu.
- - -
Hari benar-benar gelap. Belum terlalu malam, tapi langit sudah pekat. Dan kota, masih saja hidup bersama mesin-mesin berpolusi juga orang-orang yang berlalu lalang di bawah bohlam.
Selesai dengan aktivitas singkat di kampus, tuntas mengerjakan part time, habis menjadi bulan-bulanan mereka yang ia anggap teman, sekarang tinggal satu hal yang harus Juna kerjakan, yaitu pulang. Satu hal itu tak pernah berlangsung tenang. Setiap hari ada saja yang bermonolog di sepanjang jalan. Bukan orang asing, bahkan eksistensi gadis itu sudah ada sejak Sekolah Menengah Pertama.
Dikira Juna terganggu, itu salah. Karena Yusi benar-benar teman baiknya. Perjalanan pulangnya tak pernah sepi. Perempuan itu pun selalu ada jika Juna membutuhkan. Begitu juga kembaran Yusi yang tidak tahu sekarang sibuk apa. Mereka ada si satu SMP dan SMA yang sama. Arjuna Abisatya, Yusi Hareshandi, dan Yasa Hareshando, orang-orang menyebutnya The Perfect Triplet. Sebabnya sederhana, jika dilihat sekilas mereka bertiga memiliki aura yang sama: sangar-sangar manis gitu.
Segala aktivitas pun dilakukan bersama. Sayangnya dunia perkuliahan memisahkan Yasa. Dia ada di universitas lain. Tersisa Yusi yang masih saja menempel dengan Juna.
Dikata Juna bosan? Tidak benar, tidak juga salah. Lalu apa? Juna hanya ingin suasana baru. Iya. Dua puluh tahun hidup, hanya ada sekali goncangan yang Juna rasa, yaitu ketika berpisah dengan orang tuanya saat hendak tinggal di indekos. Setelah itu, benar-benar flat.
"Tau nggak sih pusingnya kuliah bisnis?"
Sesi curhat pun dimulai. Melangkah bersama juga menjadi momentum untuk Yusi melepas uneg-unegnya mengenai berbagai hal di dunia. Entah masalah kecil atau besar, entah hal penting atau tidak, keduanya akan saling bertukar pikiran.
"Nggak tahu, gue kuliah ilkom," Juna menjawab singkat. Ia memasukkan kedua tangan ke saku celana. Udara malam mulai dingin diakhir bulan September dan saat ini tak ada kain tebal di tubuh si adam. Hanya berbalut jins hitam yang sobek di lutut dan sepotong kaus lengan pendek.
Ada suara jentikan jari dari gadis di sampingnya. Oh, sekarang dia dua langkah di depan dengan tubuh yang menghadap Juna. Yusi melangkah mundur sembari bibirnya kembali mengeluarkan kata-kata.
"Hari ini lebih ke dosennya gue kesel. Seenaknya ngasih tugas bejibun. Harus selesai hari ini juga, anjing—"
"Hei..."
Yusi menutup mulut sembari matanya melirik kesana-kemari. Umpatan semacam itu memang sudah biasa di antara mereka, tapi harus tahu tempat juga. Banyak orang sedang berjalan di trotoar yang sama dengan mereka berdua. Meski tidak kencang, Juna tetap menghentikan Yusi, sebelum gadis itu semakin meluapkan emosi dan semakin banyak nama hewan yang keluar dari antrian.
'Dia akan jatuh.'
Apa yang dibatin Juna menjadi nyata. Ia melihat cekungan kecil di bidang yang akan Yusi tapaki. Naasnya si gadis tidak menyadari sebab sibuk merangkai kata untuk kembali bercerita. Bahkan tubuhnya pun belum berbalik seperti semula, masih berjalan mundur dan menghadap si pemuda.
Mari akui bahwa Juna memiliki refleks yang bagus. Tahu-tahu tangannya sudah meraih lengan Yusi sebelum gadis itu menjatuhkan punggungnya ke trotoar.
"Woah, thank you," ucap Yusi seraya mengembalikan keseimbangan tubuh.
"Sangat merepotkan," Juna berceletuk. Tangannya pun terlepas dari lengan Yusi. Menggeleng singkat, ia lalu kembali melangkah untuk melanjutkan perjalanan pulang.
"Serius?" Katakanlah Yusi sedikit terkejut dengan ucapan Juna barusan. Nadanya terdengar sungguhan. Takut-takut dirinya memang selalu merepotkan pemuda itu. Sadar diri, dalam hubungan mereka, Juna paling banyak berperan untuk menjaganya. Sedangkan Yusi sebagai manusia ceroboh plus bar-bar sedunia memang paling dominan mendapat perlindungan.
"Beneran lo ngomong gitu?" tanya Yusi seraya menelengkan kepala mencari manik mata Juna.
Yang ditanya berhenti melangkah, menghela napas singkat dan membalas tatapan Yusi. "Nope," pungkasnya.
»»----- ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««Memasuki petak tempat tinggal, yang pertama dilihat oleh mata adalah gelap. Sedang yang ditangkap telinga harusnya hening, tapi pergerakan sosok di belakang si adam jauh dari kata senyap.Biasanya Yusi dan Juna akan berpisah di jalan. Meski jaraknya tak begitu jauh, namun letak indekos Juna dan rumah baru Yusi memang berlawanan. Hari ini, tiba-tiba si gadis ingin singgah. Hendak memeriksa sekapal pecah apa tempat lelaki itu tinggal sendirian. Juna setuju saja, lumayan ada yang beberes tanpa dibayar. Paling-paling persediaan permen atau makanan ringan yang berkurang. "Tumben nggak berantakan banget," Yusi berkata. Usai sama-sama melepas sepatu, mereka lalu masuk. Lampu sudah dinyalakan dan seperti kata gadis itu, hanya sedikit benda yang tak teratur di ruangan. "Lo udah datang minggu lalu," jawab Juna sembari melepas tas yang bercokol miring di bahunya. "Biasanya juga seminggu sekali dan udah persis TPA," sanggah Yu
Kamis pagi, hari diawali dengan satu mata kuliah yang dimulai sejak pukul tujuh tepat. Ekstrem benar jadwal semester tiga itu. Bukannya fokus pada seorang dosen yang menyampaikan poin materi, dua lelaki di deret bangku kelima malah asik di dunianya sendiri. Oh, tepatnya hanya salah satu dari mereka.Mengambil jurusan yang sama dengan Sena nampaknya adalah sebuah kesalahan bagi Juna. Belum lagi beberapa mata kuliah yang sekelas, parahnya satu meja dengan dia. Juna ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana tidak, sedari tadi lelaki itu berulang kali melempar kalimat meresahkan pada Juna. Topiknya hanya satu: chat kemarin."Lo beneran suka dia?" "Gue nggak bilang suka," Juna membalas pertanyaan keseribu dari mulut Sena Mahatma. Kepalanya memang tertuju pada eksistensi pak dosen, tapi bagaimanapun telinganya tetap di hadapan Sena yang terus menoleh padanya. Bisa jadi satu kali pun manusia itu belum menatap orang yang memberinya ilmu pagi ini.
'Jadi ... penampilan gue, huh?' Jam 09:18 malam. Berbalut apron cokelat susu, berdiri mematung di balik meja barrier, si adam menunduk. Posisi persis seperti anak kecil yang kena marah orang tuanya hanya karena keinginan sederhana macam menyicip jelly atau choco ball banyak-banyak. Lalu ribuan kalimat wejangan terus berputar di kepala. Lama-lama jadi hafal begitu saja. Merasa tengkuknya sakit, Juna mendongak. Ia menggerakkan kepala untuk melemaskan otot-otot leher. Maniknya lalu mengitari ruangan. Hari ini kafe tidak begitu ramai. Sampai bosan Juna dibuatnya. Saking frustasinya volume musik ia kecilkan. Berkebalikan ya? Tapi begitulah Juna. Toko bernuansa putih itu tidak begitu jauh dari gedung kampus Juna, kira-kira sepuluh menit untuk berjalan kaki. Tetapi tidak juga dekat dengan pusat kota. Tepat di depannya adalah bulevar beraspal, di seberang ada pagar universitas swasta. Lalu kiri dan kanannya ada beberapa pertokoan, sementara di belak
❬ GD LKING ❭ Sena :→ Forwarded| Kill me, please! → Forwarded| Gue pulang bareng dia! Banu :| Oh my... Tara :| Juna, kan? Kamal :| Juna??? Really?!?! Wow!!! Sena :| @Juna Klarifikasi sendiri lo sini! "Iya gue, puas lo semua?!" Baik, mari kita tilik apa yang terjadi satu jam lalu : "A—" Mulut Juna terbuka dengan satu abjad yang ia suarakan. Selebihnya tidak ada lagi, meski dua bilah bibirnya belum terkatub. Ia mengurungkan niat untuk menawarkan diri sebagai teman pulang dari si gadis yang baru saja membeli kopi di tempatnya kerja. Juna sadar bahwa hal itu kemungkinan besar terdengar aneh. Apalagi jika di jalan nanti tidak ada topik pembicaraan. Pasti... awkward, yakin! Lantas derit pintu beserta gelap di luar menenggelamkan konfigurasi Arin dari pandangan Arjuna. Si adam t
❬ GD LKING ❭ Juna :IYA GUE, PUAS LO SEMUA?! | Tara :| Ahahaha.. gapapa, gue dukung Banu :| Snatai woii| Bts hue juga dukunh| BTW Kamal :| Cerita ayo ceritaa!!!!!! Banu :| Njir typo mulu fue| Gue Sena :| Nyimak Tara :| 2 Kamal :| 333 Banu :| @Juna Gecee, atau gue nih yabg cerits Sena :| @Banu Lo mau cerita apa anjir Kamal :| @Juna Gue doain dapet!!! gut lakkk Sena| @Juna Gue udah ngasih wejangan ya, inget Lalu ponsel dibawa tangan sang empunya jatuh ke tempat tidur. Hanya melepas tas dan sepatu, Juna pun sudah telentang di kasur. Tadinya ia mengirim pesan ke Sena saja, semacam laporan. Tapi sialnya si Sena malah meneruskan pesan itu ke grup gengnya. Heboh sudah ketiga kawan Juna. Bena
Lima hari kuliah dan lima hari pula bekerja. Sabtu dan Minggu adalah hari kebebasan. Sayangnya momen itu masih besok dan lusa. Jumat malam ini harus Juna selesaikan dulu kewajibannya. Toh, kira-kira lima menit lagi jam kerjanya habis.Di balik meja panjang sebagai batas pemesan dan karyawan, lelaki itu menyusun beberapa botol bahan minuman yang baru. Begitu memegang wadah susu, tangannya berhenti secara otomatis. Matanya memang terpaku pada benda-benda tersebut, tapi tidak dengan pikiran yang malah memutar reka ulang tentang presensi si penikmat caffe latte buatannya tempo hari.Rasanya sekarang minuman itu sangat identik dengan Arin—khusus bagi Juna, no debate. Lantas entah nyanyian binatang malam mana yang berhasil menarik dua sudut bibir si taruna, Juna tersenyum sembari meletakkan botol-botol memanjang itu. Orang aneh. Seaneh perasaannya, seaneh getaran dalam hatinya, seaneh kupu-kupu yang akhir-akhir ini sering terbang tak beraturan di
Saturday, freeday. Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang. Berbalut kaus putih polos dan celana panjang dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri. Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu. Sebelum... dia tersenyum sendirian. Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu
D-day, theme park.Alunan musik yang mengisi ruang udara tiap penjuru taman hiburan benar-benar memanjakan telinga. Baru memasuki gapura, wahana pencakar langit sudah menampakkan rupanya. Membuat orang-orang tertantang untuk menaklukkan mereka. Terlebih ketika cuaca yang begitu mendukung seperti hari ini.Tidak ada badai, tidak ada hujan. Gumpalan kapas samar terlihat di langit lazuardi. Sinar dari sang rawi hangat menyapa tubuh-tubuh yang kegirangan melangkah usai menyerahkan tiket pada para petugas. Mereka yang menjadi bagian dari pengunjung itu berjalan bersama, dua belas orang jumlahnya. Banyak juga ternyata. "Gunting, batu, kertas!" Dengan sangat tiba-tiba salah seseorang berteriak. Manggala Banu, kini tangannya sudah mengacungkan dua jari berlambang V di depan tubuhnya. Begitu juga dengan sebelas orang lainnya—secara otomatis. Meski mereka tidak tahu untuk apa melakukan itu. Sementara Banu kembali meneriakkan tiga kat