Share

02. Hewan buas dan pawangnya

Sebutlah Arjuna Abisatya itu anak semata wayang. Sebab nyatanya memang begitu. Tinggal sendiri di tengah-tengah kota Semarang, orang tuanya ada di kota budaya Surakarta. Sang ayah menghabiskan waktu mengelola bisnis furnitur, sementara ibunya merawat orang-orang sakit usai ditangani dokter. Apalah daya, anaknya sendiri malah jarang sekali diurus. Tetapi, Juna enggan mempermasalahkan itu. Selain karena sedang menempuh pendidikan di kota lain, ia juga sudah dewasa, menurut kata hatinya. 

Tapi sesempurna apa cowok 20 tahun mengurus diri sendiri? Bagaimanapun dia masih membutuhkan keluarga. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan material, tapi juga afeksi dan perlindungan. Juna kehilangan potongan puzzle itu. Hendak mencari pun, toh tempatnya sudah ada, hanya sulit diraih saja. 

"Jadi buat apa ketemu?" Si adam bersurai hitam itu melempar tanya. Dua telapak tangannya menempel pada sebuah meja bundar di sudut ruang kafe. Melukiskan dua bahu yang makin hari makin meruncing saja. Sebenarnya dia makan teratur atau tidak? Yang bertambah pada posturnya hanyalah tinggi, tinggi, dan tinggi badan saja.

Siang menuju keburitan, Juna sudah berbalut apron kerjanya. Telah dikatakan, selain kuliah dia juga part time. Menambah uang jajan, tentu. Mengisi waktu, juga benar. Sendiri di indekos memang nyaman, tapi ada masanya bosan juga. Dan tugas kuliah seringkali tak tahu diri. Dengan part time, terkadang ia melupakan semua itu dan seolah tak ada beban pikiran apapun. 

"Hanya..." Sena mulai berkata dan semua orang memenuhkan atensi padanya. "Ingin kumpul aja," lanjut pemuda bermarga Mahatma itu. Nampak santai sembari meraih kentang goreng di piring. 

Jangan tanya dengan ekspresi empat lelaki lainnya. Usai mendengar pernyataan itu, Juna beserta Banu, Tara, dan si blasteran Kamal saling melempar pandang. Sebelum sang sesepuh menegakkan diri lalu menaikkan lengan-lengan bajunya. Bersiap melayangkan—minimal tamparan mungkin, pada Sena. Sayangnya, emosi Juna masih terkendali. Ia pun mendaratkan dua telapak tangannya di tiap pinggang. 

"Terus tadi pagi?" tanyanya lagi. 

Disela kunyahan, Sena memutar memori tentang apa yang ditanyakan Juna. Tak lain dan tak bukan adalah ketika ia teriak-teriak di telepon untuk membangunkan Juna. "Oh, gue mau barter tugas, tapi lo malah kencan."

'Mulutnya, sialan si Sena!' batin Juna.

"Kencan? Juna kencan dengan siapa?" Kali ini Kamal menyahut. Khas sekali, apa-apa dibuatnya terkesan wah! Tipikal manusia polos sedunia. Bahkan sekarang wajahnya amat sangat penasaran.

"Barter apaan, yang ada lo tinggal nyalin!" Terima kasih kepada otak Juna yang memunculkan ide untuk mengganti topik obrolan sebelum kebablasan. 

"Yusi?"

'Apa lagi ini?'

Nampaknya usaha Juna gagal. Malah sekarang masuk tokoh lain dalam topik awal. Dan kenapa pula Banu mengucap nama itu? Padahal semua orang juga tahu hubungan Juna dan Yusi sebatas ... hewan buas dan pawangnya? Oui, kurang lebih seperti itu.

"Serius?"

Nah, asumsi-asumsi ngawur itu membahayakan manusia mudah percaya macam Tara. Dengan mata berbinar ia malah menatap Juna, meminta penjelasan. Bukan hanya dia, Banu dan Kamal pun demikian. Tapi tidak dengan si penyulut api yang dengan santainya menggerus kentang-kentang dengan gigi kelinci. 

"Bukan Yu—"

"Percaya dia, go to hell now!"

Setelah menyela Sena, Juna segera pergi meninggalkan tempat. Bukannya apa, tapi ada pembeli yang masuk ke kafe, ia harus melayani. Sembari berlari kecil, lamat Juna dengar percakapan keempat kawannya masih berlanjut. Di balik meja kasir, seraya menunggu pembeli merogoh lembar rupiah, mata Juna bersitatap dengan Sena. Dengan cepat ia menggerakkan dua jarinya dari depan mata ke udara. Bermaksud mengancam sebelum temannya itu membongkar hal-hal yang tidak penting. Meski Juna tahu, Sena akan nekat. Mutlak. 

'Tunggu... Kenapa gue setakut ini mereka anggap gue kencan betulan? Itu 'kan nggak bener. Gue cuma nunggu BRT anjir tadi pagi,' paparnya dalam hati. 

"Terima kasih." Frasa lain pun muncul untuk membalas seorang lelaki yang membayar pesanan cappuccino itu. Lalu Juna menyimpan uang sebelum melangkah hendak kembali ke tempat gengnya. Surai itu ia acak perlahan, bingung sendiri dengan perasaan. 

"Berhasil nyebar hoax apa lo?" Setibanya di tempat semula, Juna langsung melempar kalimat itu pada Sena. Mukanya sudah malas, tapi harus bersiap menerima hujatan. 

"Nggak apa, gue dukung."

"Emang cantik sih orangnya."

"Cocok deh. Tapi dia kalem, Juna bar-bar."

'Anjir, kesel nggak sih lo jadi gue? Ngilang bentar aja udah ada rahasia di antara temen lo yang ngumpul. Shit!'

Akhirnya Juna hanya menghela napas berat. Terlanjur tidak bisa dibendung setiap kata yang keluar dari mulut si Sena. Terlebih dia juga tak ada kuasa mengendalikan pikiran-pikiran empat manusia di hadapannya itu. Andai saja ada mantranya.

"Juna, air..."

Suara memelas itu bukan dari Sena yang minum lemon squash, bukan dari Kamal yang makan sosis atau Tara yang memainkan alat makan, bukan juga dari Banu yang merapikan poninya dengan menatap layar hitam ponsel. Itu berarti ada orang lain di sana. Dan semua dibuat menoleh pada sebongkah objek yang sudah menjatuhkan diri di meja sebelah. 

"Gue kira yang diomongin datang," Kamal bergumam pelan usai menunda acaranya mengunyah daging kecoklatan itu. 

"Lagi?" Juna melepas lipatan tangan di dada, lalu melangkah untuk masuk ke area pekerja. Ketika melewati gadis itu, ia menepuk kepalanya dengan bagian luar tangan. "Berhenti nyuruh gue, bitch."

Yang dikatai pun masih diam dengan wajah tak terlihat. Sejak tadi sudah tenggelam di antara lengan yang bertumpu di meja. Tak peduli dengan surainya yang menutupi, bahkan tak peduli dengan celaan Juna. Sudah biasa. Seolah tiap hari ia mendengar candaan itu. 

Tidak sampai semenit, Juna datang dengan segelas air mineral di tangan. Ia pun meletakkan benda itu di depan Yusi yang menyibak anak rambutnya agar enyah dari wajah.

"Thanks," ucap Yusi sembari susah payah mengangkat gelas. Dia itu sedang tertimpa kesialan macam apa? Penampilannya tak beda dengan benang ruwet. Lajur keringat sudah membekas di pelipisnya. Deru napasnya pun tak beraturan lagi. 

"Jangan lupa bayar," celetuk Juna kemudian. 

"Dih, kapan gue gak bayar, ha?" Untunglah air di mulut Yusi sudah tertelan. Jika belum, akan ada hujan lokal yang berakhir perdebatan sengit di sana. "Oh, ada temen-temen lo ternyata." Oh, jadi sekian menit itu dia tak menyadari empat makhluk di meja sebelah?

'Ya... mereka pantas tidak terlihat.'

Nampaknya kini giliran Juna yang dongkol dengan teman-temannya karena telah membicarakan dia di depan itu. Di ruang kafe bagian depan, maksudnya. Ada rahasia pula. Juna sendiri masih sangsi apakah Sena benar-benar sebut merk atau tidak. Semuanya sulit ia tebak, entah itu pembicaraan kawan-kawannya pun atau bisikan-bisikan hati sendiri. 

"Lo sendirian? Pacar gue mana?" Sekarang Banu yang bertanya. Entahlah, memang random sekali orangnya. 

"Nggak tahu. Gue bukan emaknya, please," Yusi membalas. Mungkin sekitar tiga atau empat tahun gadis itu terseret circle pertemanan Juna. Jadi, mau berkata sekasual apapun juga sudah biasa. Dan catat, meskipun Sherima Sasmaya— pacar Banu—adalah temannya, jika sudah sibuk dengan perkuliahan akan sangat jarang bertemu. 

"Beda fakultas juga, stupid. Kamal yang sama, satu jurusan malah." Juna yang masih berdiri di sisi meja Yusi pun menambahi ucapan gadis itu untuk menjawab pertanyaan Banu. 

"Oh, benar. Pacar gue mana?" Banu mengubah haluan kepala menghadap lelaki bersurai cokelat terang ber. Benar-benar, Manggala Banu... cutest boy ever! 

"Gue bukan bapaknya, please," ucap Kamal dengan nada datar. 

"Lo sendiri juga satu jurusan, bruh." Sayangnya Tara orang kalem. Jika tidak, kalimat itu mungkin sudah ia katakan bersama sumpah serapah atau barang-barang sekitar yang melayang. 

Sepertinya memang hanya Tarachandra yang ingat bahwa Banu dan pacarnya berada di satu jurusan yang sama, yaitu Administrasi Publik. Saking absurd-nya, si adam berponi panjang itu juga tak ingat. Lantas sekarang malah tertawa kencang sendiri seraya mengotak-atik ponsel. Mungkin dia akan menghubungi pacarnya, hingga tak peduli dengan hujatan Juna dan Sena yang bertubi-tubi. 

"Temen lo..." Yusi melirik Juna sembari bergumam. Tangannya yang melepas gelas kini mengacungkan telunjuk miring-miring di dahi. 

"Ngaca, tolong," balas si adam seraya memajukan kepalanya mendekat pada Yusi. Usai mendapat diorama pertautan alis di wajah gadis itu, ia pun berlari menuju kasir. Alasan yang sama, pembeli. 

-: ✤ :-

Sebatas... hewan buas dan pawangnya. 

Oui, seperti itu. 

- - -

Hari benar-benar gelap. Belum terlalu malam, tapi langit sudah pekat. Dan kota, masih saja hidup bersama mesin-mesin berpolusi juga orang-orang yang berlalu lalang di bawah bohlam. 

Selesai dengan aktivitas singkat di kampus, tuntas mengerjakan part time, habis menjadi bulan-bulanan mereka yang ia anggap teman, sekarang tinggal satu hal yang harus Juna kerjakan, yaitu pulang. Satu hal itu tak pernah berlangsung tenang. Setiap hari ada saja yang bermonolog di sepanjang jalan. Bukan orang asing, bahkan eksistensi gadis itu sudah ada sejak Sekolah Menengah Pertama. 

Dikira Juna terganggu, itu salah. Karena Yusi benar-benar teman baiknya. Perjalanan pulangnya tak pernah sepi. Perempuan itu pun selalu ada jika Juna membutuhkan. Begitu juga kembaran Yusi yang tidak tahu sekarang sibuk apa. Mereka ada si satu SMP dan SMA yang sama. Arjuna Abisatya, Yusi Hareshandi, dan Yasa Hareshando, orang-orang menyebutnya The Perfect Triplet. Sebabnya sederhana, jika dilihat sekilas mereka bertiga memiliki aura yang sama: sangar-sangar manis gitu. 

Segala aktivitas pun dilakukan bersama. Sayangnya dunia perkuliahan memisahkan Yasa. Dia ada di universitas lain. Tersisa Yusi yang masih saja menempel dengan Juna. 

Dikata Juna bosan? Tidak benar, tidak juga salah. Lalu apa? Juna hanya ingin suasana baru. Iya. Dua puluh tahun hidup, hanya ada sekali goncangan yang Juna rasa, yaitu ketika berpisah dengan orang tuanya saat hendak tinggal di indekos. Setelah itu, benar-benar flat. 

"Tau nggak sih pusingnya kuliah bisnis?"

Sesi curhat pun dimulai. Melangkah bersama juga menjadi momentum untuk Yusi melepas uneg-unegnya mengenai berbagai hal di dunia. Entah masalah kecil atau besar, entah hal penting atau tidak, keduanya akan saling bertukar pikiran. 

"Nggak tahu, gue kuliah ilkom," Juna menjawab singkat. Ia memasukkan kedua tangan ke saku celana. Udara malam mulai dingin diakhir bulan September dan saat ini tak ada kain tebal di tubuh si adam. Hanya berbalut jins hitam yang sobek di lutut dan sepotong kaus lengan pendek.

Ada suara jentikan jari dari gadis di sampingnya. Oh, sekarang dia dua langkah di depan dengan tubuh yang menghadap Juna. Yusi melangkah mundur sembari bibirnya kembali mengeluarkan kata-kata. 

"Hari ini lebih ke dosennya gue kesel. Seenaknya ngasih tugas bejibun. Harus selesai hari ini juga, anjing—"

"Hei..."

Yusi menutup mulut sembari matanya melirik kesana-kemari. Umpatan semacam itu memang sudah biasa di antara mereka, tapi harus tahu tempat juga. Banyak orang sedang berjalan di trotoar yang sama dengan mereka berdua. Meski tidak kencang, Juna tetap menghentikan Yusi, sebelum gadis itu semakin meluapkan emosi dan semakin banyak nama hewan yang keluar dari antrian.

'Dia akan jatuh.'

Apa yang dibatin Juna menjadi nyata. Ia melihat cekungan kecil di bidang yang akan Yusi tapaki. Naasnya si gadis tidak menyadari sebab sibuk merangkai kata untuk kembali bercerita. Bahkan tubuhnya pun belum berbalik seperti semula, masih berjalan mundur dan menghadap si pemuda. 

Mari akui bahwa Juna memiliki refleks yang bagus. Tahu-tahu tangannya sudah meraih lengan Yusi sebelum gadis itu menjatuhkan punggungnya ke trotoar. 

"Woah, thank you," ucap Yusi seraya mengembalikan keseimbangan tubuh. 

"Sangat merepotkan," Juna berceletuk. Tangannya pun terlepas dari lengan Yusi. Menggeleng singkat, ia lalu kembali melangkah untuk melanjutkan perjalanan pulang. 

"Serius?" Katakanlah Yusi sedikit terkejut dengan ucapan Juna barusan. Nadanya terdengar sungguhan. Takut-takut dirinya memang selalu merepotkan pemuda itu. Sadar diri, dalam hubungan mereka, Juna paling banyak berperan untuk menjaganya. Sedangkan Yusi sebagai manusia ceroboh plus bar-bar sedunia memang paling dominan mendapat perlindungan. 

"Beneran lo ngomong gitu?" tanya Yusi seraya menelengkan kepala mencari manik mata Juna. 

Yang ditanya berhenti melangkah, menghela napas singkat dan membalas tatapan Yusi. "Nope," pungkasnya. 

»»-----  ⋆ ᵐⁱʳᵃᶜˡᵉ ⋆ -----««

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status