Pintu rumah sewa dihantam begitu keras. Langkah gontai segera membawa Harger bersandar dan merosot pelan – pelan menyentuh marmer dingin. Napasnya masih menggebu. Menengadah untuk membayangkan kembali cara lari yang tergesa meninggalkan sang hakim.
Rasanya dia ingin mengutuk diri sendiri, karena telah melibatkan seorang hakim ke dalam urusan tidak main – main. Alih – alih mengembalikan dompet yang dia rampas. Harger justru membawa benda tersebut ke tempat tinggal sementara. Melupakan bahwa yang sebenarnya dia inginkan hanya hasil curian yang saat ini masih berada di tangan orang lain. Keputusan penuh tekad yang pernah dia ambil ironinya hanya memiliki waktu 24 jam untuk melakukan pertukaran barang.Waktu demi waktu berlalu. Bukan kebetulan yang baik kalau – kalau besok siang dia harus melakukan pertemuan di salah satu gereja tua di Roma.Tidak ada harapan bagi Harger untuk mempersilakan semua berjalan lancar. Jika tidak mendapatkan uang, dia yakin satu minggu ke depan kondisinya akan lebih buruk dari ini; memakan makanan sisa yang dipanaskan.Sudut bibir Harger melekuk kecut. Pikiran – pikiran itu membuat sesuatu terbesit kentara. Mungkin sang hakim memiliki banyak uang di dompet. Dia sudah bersiap membongkar isi di dalamnya, kendati ... suara ketukan dari luar menghentikan tindakan demikian.Pemandangan setelah pintu terbuka luar biasa merontokkan golakan dalam diri Harger, sehingga dia nyaris tidak bisa menyanggupi diri bersuara.Demi Tuhan!Dia memusatkan seluruh indera kepada satu sudut tak teringinkan. Terkejut untuk waktu yang lama, kemudian beberapa momen menyergap separuh dirinya.Harger berusaha mundur, tetapi rasa pertahanan diri menuntut supaya dorongan tegas menjadi hal paling membludak.“Rob.” Dia bicara, memanggil nama seorang bajingan hampir dengan nada berdecih sinis. Sungguh, sedikitpun tidak terpikirkan olehnya Rob akan muncul dengan sengaja. Diliputi cara tidak tahu diri, pria itu tiba – tiba melenggang masuk.“Apa yang kau lakukan di sini? Dari mana kau tahu alamat baruku!”Sakit hati di dada Harger belum sepenuhnya padam. Sekarang Rob menunjukkan sikap angkuh, seolah ‘dia’ merupakan pria tidak bersalah yang pantas mendapat kesempatan kedua. Kesempatan untuk menjadi lebih baik.“Keluar, Rob!” ucap Harger disertai nada marah tertahan. Pintu terbuka semakin lebar. Namun, Rob hanya bergeming, memperhatikan betapa Harger berapi – api mengusirnya.“Kau tahu aku masih mencintaimu.”Pria itu kemudian bersuara dengan nada penuh penyesalan.“Sayangnya aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omong kosong. Lebih baik kau bicarakan itu bersama Alice.”“Aku serius, Harger.”Rob menunjukkan nada frustrasi yang lekat. Dia tentu sangat memahami bagaimana cara mengambil alih perhatian gadis yang dikencani nyaris satu tahun.“Kembalilah padaku ....”“Aku tahu kau juga masih mencintaiku, Harger.”“Semua orang pernah berbuat salah. Maaf.”Rentetan ucapan Rob, lambat laun menarik Harger untuk menatap lurus ke bawah. Perlu sikap waspada yang benar – benar besar. Relung hatinya mungkin menuntut ingin memaafkan, tetapi Harger tidak semudah itu menyerah.“Tuhan memaafkanmu. Aku tidak. Pergi, Rob!”“Tidak. Sampai kapan pun aku tidak akan pergi,” bantah Rob. Satu kali mendekat, dia berhasil meraih kedua bahu Harger dan memastikan mereka melakukan kontak mata dengan intens.“Dengar, Harger. Aku—aku tidak bermaksud mengkhianatimu.”“Sahabatmu—Alice, dia yang menggodaku.”Harger berdecih. Bukankah sudah terlihat jelas sisi bajingan dari seorang Rob.“Aku tidak suka mendengar tuduhan kepada orang lain saat kau bahkan sangat menikmati tubuh Alice.” Dia menemukan keraguan bergumul samar di mata Rob. Ntah apa, tetapi Harger memutuskan untuk memancing topeng asli itu keluar.“Pergi sebelum aku melaporkanmu pada pemilik rumah sewa!”“Aku tidak ingin mengenal bajingan sepertimu lagi.”Dugaan Harger benar, bahwa sejak awal Rob sedang memainkan pentas sandirawa. Berpura – pura ingin mendapat sebuah kepercayaan, sementara pria itu tidak memiliki kesabaran yang besar.Harger menyesali saat dia harus bertemu wajah mantan tunangan yang berubah berang. Lebih – lebih kuku tangan Rob saling mengetat, mulai ingin merobek lengan Harger yang seketika itu meringis kesakitan.“Lepaskan aku.”“Di mana batu berlian yang kau ambil!”Jauh – jauh menyusul sampai ke Italia, apa lagi yang Rob inginkan selain batu berlian itu.“Sudah kubuang!” jawab Harger sambil menatap berani.“Di mana kau membuangnya, Sialan!”Namun dia mendapat ketukan lebih buruk saat Rob mengguncang tubuhnya luar biasa kasar. Pria itu kesetanan. Api seolah telah membara, membakar habis kewarasan Rob. Dengan mata yang memerah parah, Rob menjatuhkan tubuh Harger untuk menghantam kaki sofa.Sudah menyakiti Harger sekalipun. Kepuasan Rob tidak akan raib sebelum menyaksikan kesengsaraan lebih besar dari wajah memuja milik sang mantan tunangan. Seringai Rob cukup mengerikan saat perlahan menutup pintu rumah sewa.“Apa yang akan kau lakukan. Lepas!”Harger belum sepenuhnya siap, tetapi Rob sudah menyeret dan melemparnya secara kasar. Setelah melangkahi Harger, kini kedua kaki Rob saling menekuk—menindih di atas sofa. Begitu siap merobek kain – kain yang membalut tubuh Harger sebelum akhirnya suara ketukan pintu berulang membuat Rob terkejut. Dengan spontan pria itu mengeluarkan senjata api dari balik pakaian.“Bukakan pintu dan bersikaplah seolah kau dalam keadaan yang baik.”“Jika tidak. Kau tahu akibatnya, Harger.”Langkah Harger terdesak di bawah ancaman Rob. Secara tidak langsung dituntut bersikap waspada. Sering kali dia melirik moncong pistol yang terarah di bagian kepala, sehingga sering kali pula Harger menunduk dan menelan ludah kasar. Kadang – kadang menggigit bibir bawah untuk menenangkan jantung yang bertalu liar. Andai Rob tidak bersenjata.“Signorina.”Akan tetapi suara itu memberi Harger efek antara menemukan sebuah harapan atau akan menghadapi hal gila ketika orang kedua yang dihindari tahu di mana dia tinggal.“Signore ... Tuan Hakim.”“Di mana dompetku?” Harger belum sempat mengatakan apa pun. Dia sedang berdebar untuk mengingat keberadaan Rob di sudut belakang pintu. Pistol di tangan pria itu masih mengontrol situasi, Harger takut jika dia salah bicara. Rob akan meledakkan kepalanya tanpa berpikir panjang. “Signorina ....” Nada bicara sang hakim begitu tidak sabar. Harger mengerti dia seharusnya tidak menunda. Tetapi lidahnya keluh menjelaskan hal ini secara gamblang, meskipun benar ... keberadaan seorang hakim akan memberi pengaruh kepadanya dan Rob. Bukankah mengambil suatu keputusan bagi seorang hakim adalah tindakan yang benar – benar harus penuh pertimbangan. Mereka terbiasa melakukan eksekusi dengan matang. Menghadapi macam – macam kasus yang masuk ke meja hijau melalui proses pengamatan ketat. Memerangi ketidakadilan sebagaimana sumpah yang diucap. Harger rasa, seandainya dia memberitahu sang hakim tentang keberadaan Rob. Pria itu akan segera membantunya. Namun semakin berpikir, Harger seperti diterpa
Lelah berkutat dengan keraguan sendiri setelah berprasangka bahwa sang hakim mungkin tengah berbohong akhirnya membuat Harger menyerah. Dia menelan ludah kasar sambil memperhatikan sang hakim lekat – lekat. “Baiklah, katakan apa yang kau maksud dan apa isi di dalamnya?”“Cukup mengejutkan ternyata kau tidak tahu apa pun mengenai kontribusi burukmu terhadap Inggirs.” Untuk sesaat sang hakim menyeringai tipis, kemudian mulai melanjutkan. “Sekarang katakan kau berasal dari mana?” Pertanyaan yang sama pernah dilontarkan sang hakim. Harger pikir dia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Atau akan segera dideportasi kembali ke negara asal dalam waktu dekat. “Aku—lahir dari ibuku yang berasal dari Rumania dan ayahku adalah pria Irlandia.” “Rumania?” Kening sang hakim berkerut heran. “Artinya kau bisa berbahasa Roman?” “Tidak. Tentu saja tidak.” Harger mengerti untuk alasan apa sang hakim mempertanyakan hal tersebut. Bahasa Roman memiliki sedikit kemiripan atau serumpun dengan bahasa
“Kau sangat luar biasa, Sayang. Bahkan Harger tidak pernah memperlakukanku semanis ini.” “Kau menyerahkan padaku kenikmatan yang gila. Aku mencintaimu.”Badai ketegangan mengamuk di benak Harger. Itu adalah saat – saat dia harus mengetahui hubungan terlarang antara tunangan dan sahabatnya sendiri. Harger benci untuk menerima pengkhianatan terbesar dalam hidup yang kacau. Bagaimanapun Rob telah menghancurkan segala peristiwa yang Harger anggap sebagai suatu momen manis. Merompak ketenangan maupun kepercayaan Harger, seolah tidak ada harga yang lebih murah dari kesedihan Harger di hari ulang tahun sahabatnya.“Selamat bertambah usia, Alice. Rob adalah hadiah ulang tahun terbaikku untukmu.” Harger mungkin bersedih. Namun dia tidak pernah menyangka akan bersedia melempar seonggok sampah pada tempatnya. Alice dan Rob memberikan pertunjukan serasi. Mereka baru saja bercinta dalam balutan selimut putih tebal. Begitu gelagapan menghadapi Harger yang sama sekali tidak mengalihkan tatapan taja
“Paspormu akan berada di tanganku sampai kuputuskan kapan akan dikembalikan.” Malam menegangkan itu memiliki kesan mengejutkan setelah sang hakim menunjukkan seberapa besar pengaruh yang bisa diberikan kepadanya. Harger tidak mungkin berupaya lebih, karena dia yakin pria yang baru saja ditemui bukan hakim sembarangan. Telalu responsif terhadap hal – hal kecil dan juga memiliki ilmu dasar peka untuk hal yang sama kecilnya. “Kau sungguh memakai baju bekas kemarin saat akan melakukan pertemuan penting?” Cara berkomentar sang hakim juga tidak segan – segan menegaskan bahwa pria itu mengenali apa pun. Walau Harger tidak bercerita tentang pakaiannya yang hilang, sebelum tadi pagi dia benar – benar harus mengatakan kebenaran tersebut sambil menunduk memperhatikan penampilan sendiri. “Bajuku hanya tersisa ini. Sisanya sudah dibawa pergi.” Ajaibnya, Harger punya alasan mengapa dia berterima kasih kepada sang hakim sebelum pertemuan bersama seseorang dengan julukan ‘Dark Shadow’ selesai.
Setidaknya situasi di kompartemen kereta api jauh lebih baik daripada harus menghindari kejaran orang – orang bertujuan tertentu. Harger melirik ke arah sang hakim. Mereka duduk saling berhadapan. Memiliki sedikit privasi dengan tirai kompartemen yang tertutup.“Jadi bagaimana kau tahu aku ada di gedung tua itu?”Terlalu lama dalam kebungkaman, Harger rasa ini saat yang tepat untuk bicara.“Hanya menduga.”Dia menyipitkan kelopak mata. Lamat mengamati wajah sang hakim yang masih menghadap lurus ke depan.“Menduga dengan tebakan benar probabilitasnya sangat kecil ... Deu.”Ketika memanggil sebutan nama seperti permintaan sang hakim. Harger merasakan tendensi berbeda. Telanjur menghadapi permasalahan konflik yang melibatkan sang hakim sehingga panggilan formal menjadi kebiasaan pertama.“Aku tidak menduga asal – asalan saat kau ada dalam pengawasanku.”Ini bisa disebut observasi, analisis, dan mengambil kesimpulan. Mungkin Harger harus mengakui bahwa sang hakim tidak akan sembarangan be
Sang hakim sudah berpenampilan sangat baik, sementara Harger dalam balutan tak sempurna, masih duduk di atas ranjang mengamati diri sendiri dengan tidak percaya diri untuk kemudian menengadah ke arah pria yang sedang menjulang di hadapannya. “Kau harus makan.” Suara berat Deu diliputi sarapan roti yang dibawakan dengan praktis. Harger tidak ragu menggigit sepotong bagian ujung. Tatap mata tajam tidak pernah berhenti menyorot ke arahnya. “Kau ... sudah sarapan?” Sedikit – sedikit Harger membenahi rambut yang menjuntai di depan wajah. Seharusnya dia tidak perlu menanyakan sang hakim, karena Deu sepertinya tidak tertarik pada sepotong roti. Atau mungkin Harger kesiangan, sehingga tidak memiliki kesempatan melakukan sarapan bersama. “Aku ingin kau memberiku penjelasan tentang batu berlian yang diinginkan mantan tunanganmu.” Sedikit terkejut. Harger tidak pernah mengira sang hakim akan tiba – tiba membahas sesuatu yang dia hinda
“Kau mau membawaku ke mana?” Lorong temaram, lembap dengan beberapa air menetes dari pipa kumuh berlapis serat – serat tanah, yang sepanjang sudut menguarkan aroma basah luar biasa pekat. Harger terus mengikuti ke mana sang hakim akan menuntunnya melangkah. Sebuah pintu besi berkarat di hadapan mereka digeser susah payah. Tidak seperti tampilan luar. Bagian dalam dari tempat yang Harger pijaki persis markas lama, tetapi masih cukup terawat ketika dia menemukan beberapa benda – benda penting tersusun di lemari kaca. “Apa yang membawamu ke sini, Don?” Seseorang tiba – tiba bersuara, menciptakan reaksi kejut. Namun hanya Harger yang merasakan hal demikian. Sementara dia yakin sang hakim sangat tenang melewati tubuh seorang pria, yang membeku saat menatap Harger, seolah tidak percaya terhadap pengelihatan sendiri. Apa yang salah? Harger bertanya dalam hati. Berusaha meyakinkan situasi canggung bukan bagian dari hal buruk yang dia lakukan. “Kau membuatnya takut.” Suara sang hakim tid
Harger mengarahkan sudut mata menilai hampir keseluruhan tempat yang dia lewati. Sama sekali tidak tahu apa – apa mengenai keputusan sang hakim terhadap hunian barunya. Dia bahkan tidak menyangka akan berada di dalam rumah bertingkat, terletak di ujung Kota Roma—tepatnya nyaris menjorok ke tengah hutan.Sebuah tempat untuk tidak bertetangga. Di sekitar mereka adalah pohon menjulang tinggi. Samar – samar suara air terjun mencapai di puncak pendengaran. Tetapi beberapa kali perhatian Harger hanya tertuju pada tumpukan kertas berserak, persis pada satu ruang saat sang hakim mempersilakannya masuk.“Kau tinggal sendirian di sini?” Dia bertanya sambil memungut satu berkas dan secara tidak sengaja menjatuhkan secarik foto milik seorang pria asing ... terlihat sangat jauh berbeda ketika Harger membandingkan foto tersebut dekat – dekat di samping wajah Deu.“Ini siapa?”Ada yang aneh dari ekspresi kelam sang hakim. Perubahan pesat yang juga hilang dalam sekejap. Sebelah alis pria itu terangka