Share

Permintaan Dompet

“Di mana dompetku?”

Harger belum sempat mengatakan apa pun. Dia sedang berdebar untuk mengingat keberadaan Rob di sudut belakang pintu. Pistol di tangan pria itu masih mengontrol situasi, Harger takut jika dia salah bicara. Rob akan meledakkan kepalanya tanpa berpikir panjang.

“Signorina ....”

Nada bicara sang hakim begitu tidak sabar. Harger mengerti dia seharusnya tidak menunda. Tetapi lidahnya keluh menjelaskan hal ini secara gamblang, meskipun benar ... keberadaan seorang hakim akan memberi pengaruh kepadanya dan Rob.

Bukankah mengambil suatu keputusan bagi seorang hakim adalah tindakan yang benar – benar harus penuh pertimbangan. Mereka terbiasa melakukan eksekusi dengan matang. Menghadapi macam – macam kasus yang masuk ke meja hijau melalui proses pengamatan ketat. Memerangi ketidakadilan sebagaimana sumpah yang diucap. Harger rasa, seandainya dia memberitahu sang hakim tentang keberadaan Rob. Pria itu akan segera membantunya.

Namun semakin berpikir, Harger seperti diterpa dilema. Kadang – kadang dia merasa ragu untuk mempercayai fakta, ada hakim semuda ini di dunia yang sedang dia hadapi.

“Signorina, aku di sini bukan untuk menunggumu diam. Kembalikan dompetku, atau biarkan aku masuk. Kau dan aku perlu bicara serius.”

Dan pada kenyatannya, Yang Mulia Deu memang hakim termuda di pengadilan Italia. Memiliki postur tinggi, liat, kokoh, bahkan cara mata kelam menatap lawan bicara luar biasa tajam, mencerminkan sosok hakim yang tegas. Persis pria dengan tipe yang menetapkan undang – undang, hukum, hingga aturan, baik di ruang sidang maupun di kehidupan bebas.

Untuk sekarang ini, kesalahan Harger akan berkutat pada satu hal setelah sang hakim dengan lugas menyatakan Harger sangat lancang mengantongi dompetnya.

“Maaf, kau tidak bisa masuk.”

“Aku tidak mengizinkanmu melangkah sekali saja ke dalam rumahku,” lanjut Harger. Mantap melewatkan kesempatan untuk membuat Rob terjebak dalam kecaman hukum.

“Kau yakin tidak memberiku izin masuk?”

“Aku tidak masalah jika itu yang kau mau. Tapi, setelah dipikir – pikir memang sebaiknya kita menyelesaikan ini di pengadilan. Satu jam lagi mungkin polisi akan datang menjemputmu, dan ... ya, satu hal perlu kau tahu. Aku punya bukti akurat untuk menjebloskanmu ke penjara.”

“Bukti akurat?”

“Rekaman cctv bandara. Kebetulan kau melakukan aksimu tepat tidak jauh dari kamera pengintai.”

Celakalah. Harger harus ingat sedang berurusan dengan siapa. Dia merasa sekujur tubuhnya mendapat sengatan luar biasa dahsyat. Hanya sanggup menggerakkan iris mata untuk beralih pada titik keberadaan Rob.

Dan yang lebih mengejutkan, Rob sudah tak terlihat di tempatnya. Pertanyaan besar seketika mendesak di kepala Harger. Mulai berasumsi kalau Rob secara tidak langsung mendengar panggilan yang dia berikan kepada sang hakim maupun inti percakapan mereka.

“Kau boleh masuk, Signore. Silakan ....”

Paling tidak kepergian Rob sedikit meledakkan ketenangan di benak Harger. Dia segera menuntun sang hakim duduk di atas sofa.

“Aku baru pindah kemari. Anggap saja kau tidak melihat apa pun yang membuatmu tidak nyaman.”

Harger memperhatikan beberapa kemungkinan kecil. Tempatnya bisa dibilang sangat kacau. Dia tidak peduli bagaimana reaksi sang hakim, memutuskan untuk menyelipkan kedua tangannya di saku belakang celana.

“Di sini tidak ada minuman mahal. Hanya ada teh dan kopi. Kau mau minum apa, Signore?”

“Air putih saja.”

Aku menawarkan sesuatu yang bagus, tapi dia memilih yang lain ....

Harger bergumam sambil melangkah dengan bahu bergedik tak acuh. Namun dia tidak akan bisa bernapas lega seperti beberapa saat lalu ketika menemukan pintu kamarnya separuh terbuka.

Harger tidak cukup ceroboh melupakan kewajiban sekadar memastikan seluruh pintu dalam keadaan tertutup sebelum meninggalkan rumah. Sangat yakin bahwa dia belum melakukan kontak apa pun terhadap ganggang berwarna tembaga itu sejak kali pertama kembali dari kegiatan di luar.

Rob ....

Harger curiga Rob telah melakukan sesuatu. Dugaannya benar. Seisi kamar serupa kapal pecah. Ini bukan soal badai dan gelombang yang menerjang dengan ganas. Kegilaan Rob-lah yang menghancurkan benda – benda tidak bersalah, termasuk ranjang yang tidak ada kaitannya.

Perhatian Harger tertuju persis pada jendela kamar, tapi bagian paling menyedihkan adalah kopernya sudah tidak ada di tempat semula. Dibawa pergi oleh pria yang melompat lewat jendela. Itu terlihat jelas dari bentukan tanah yang seperti terinjak sesuatu yang berat.

Harger mendesah putus asa hingga terduduk lemah di kaki ranjang. Seluruh keperluannya telah hilang. Akan dengan apa dia berpakaian? Membeli baru menggunakan sisa uang yang hilang bersama koper, makna paling ironis yang pernah dia pikirkan.

Harger benar – benar akan memuntahkan kesedihan ketika tiba – tiba mengingat keberadaan sang hakim.

Air putih untuk pria yang sedang menunggu. Harger segera bersikap seolah dia baik – baik saja duduk berhadap – hadapan bersama hakim tampan itu.

“Maaf, membuatmu menunggu lama,” ucapnya sekembali dari dapur.

“Letakkan saja dompetku di atas meja.”

Sebelah alis Harger terangkat merespons tatapan tajam sang hakim.

“Bayaran untukku?”

“Kau mencuri dompetku, Signorina. Bukan menemukannya dan berharap mendapatkan upah.”

“Kalau begitu, bisakah kau kembalikan barang yang kau ambil?”

“Aku tidak mengambilnya. Kau sendiri yang menyimpan di saku jasku.”

“Tapi kau tahu aku sedang tidak punya pilihan,” ucap Harger pasrah. Bagaimanapun sang hakim ada di lokasi kejadian dan rekaman cctv yang pria itu miliki akan menegaskan betapa semua ini murni sebuah kecelakaan.

“Di luar sangat mendung. Apa kau punya mantel hujan yang bisa kupinjam setelah urusan kita selesai?” Alih – alih menanggapi. Sorot mata sang hakim tertuju pada kaca tembus pandang. Mengamati gelapnya langit dan gumpalan awan mengambang di udara.

Harger memahami dia tidak memiliki apa pun di sini. Satu koper miliknya telah hilang. Sang hakim tidak akan bisa meminjam, meski hanya mantel sekalipun.

“Kau terlalu banyak berpikir, Signorina,” ucap sang hakim sarat nada tidak sabar.

“Oh, ya, maaf ....” Di saat yang sama Harger segera mengerjap dan kembali melakukan kontak mata. Memastikan bahwa dia hanya akan menyelesaikan keterlibatan seorang hakim dalam masalah hidupnya.

“Urusan kita hanya cukup dengan kau kembalikan barangku. Lalu aku akan mengembalikan dompetmu. Keberatan atau tidak, kau harus setuju. Setelah itu anggaplah masalah kita selesai.” Jeda cukup lama mengharuskan Harger menarik napas. Dia harap ekspresi wajah sang hakim tidak akan merobek ketenangannya.

“Aku tidak keberatan. Sayangnya ada sesuatu yang harus kau tahu tentang barang curianmu.”

“Apa?” Tubuh Harger menegang saat menyaksikan sudut bibir sang hakim berkedut sinis.

“Isi di dalamnya. Kau menempatkan dirimu ke dalam bahaya, Signorina.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status