Seorang asisten rumah tangga masuk ke dalam kamar yang menjadi saksi bisu penyatuan peluh antara Edgar dan Bella.
Wanita paruh baya itu melihat ada bercak darah di atas seprai putih. "Kok ada darah? Darah siapa ini?" gumamnya.Tak ingin berpikir macam macam, ia pun menggulung seprai tersebut lalu memasukkan seprai ke dalam keranjang yang biasa digunakan untuk menampung pakaian kotor.Sepanjang jalan menuju ruang khusus mencuci pakaian. Pikiran wanita paruh baya itu melayang jauh, masih mengingat jelas kalau bercak darah di seprai tadi seperti sisa pergumulan pasangan yang melewati malam panas.Namun seingatnya, yang menikah semalam adalah Tuan Barta dengan wanita cantik bernama Bella, tetapi di dalam kamar pengantin justru tidak ada bercak darah apapun. Ranjangnya juga terlihat sangat bersih."Bik, ngapain ngelamun begitu?"Suara berat seorang laki laki mengangetkan wanita yang biasa dipanggil dengan sebutan Bik Inah."Anu, itu ... apa ya ... ngga tahu. Udah, ah. Bibi lagi banyak kerjaan," jawabnya sedikit gugup."Anu itu. Anu itu. Kalau ngomong yang jelas dong. Oh iya, Bibi abis dari kamar Tuan Barta ya? Bibi lihat ngga ada yang aneh di kamar itu? Misalnya ada darah di atas seprai? Kalau ngga salah, istri ke sembilan Tuan, masih perawan ting ting."Mendengar pertanyaan itu, Bik Inah menatap lelaki di depannya sambil memicingkan kedua mata. "Kamu lagi ngorek ngorek informasi buat dijadiin bahan gosip ya? Ngga takut dijadiin sate sama Tuan."Malas menanggapi.Bik Inah melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Ia memasukan seprai tadi ke dalam mesin cuci.Deg!Pandang mata anak buah Barta yang bernama Yoan, tertambat pada seprai putih yang dicuci oleh Bik Inah. "Bukannya itu seprai di kamar tamu ya? Kok ada darahnya?" Ia mengenal motif di seprai putih itu, karena ia sering beristirahat di kamar tamu jika tidak ada Barta."Ngga tahu, mungkin darah nyamuk," jawab Bik Inah asal bicara.Yoan yang masih berdiri di samping Bik Inah, mulai mengingat sesuatu. Semalam dia memang melihat Edgar masuk ke dalam kamar tamu lalu tak lama Barta datang menggedor pintu kamar itu."Apa mungkin ...." Pikiran Yoan melayang jauh, mulai mencurigai kedekatan Edgar dengan Bella dan juga tragedi peledakan Bom semalam.Bik Inah melihat Yoan yang tidak kunjung pergi. Lelaki itu justru seperti seorang Mandor yang mengawasinya bekerja."Lebih baik kamu jaga pintu pagar. Bibi takut Tuan Barta pulang dan dia melihat kamu di sini. Bisa ngamuk dia. Kayak ngga tahu aja gimana sifat Bos Besar."Seketika itu lamunan Yoan buyar. "Iya, Bik." Ia meninggalkan ruang cuci menuju pos penjagaan di dekat pintu pagar rumah sang rentenir."Apa mungkin yang semalam belah duren justru Edgar dan istri Tuan. Masa sih?" Yoan terus bermonolog sepanjang perjalanan menuju pos.***Saat mengingat seprai putih yang terdapat bercak darah. Edgar bergegas pulang ke rumahnya.Mobil mewah Edgar masuk ke dalam halaman rumah mewah tersebut.Melihat itu, Yoan langsung menyambut kedatangan anak dari majikannya.Dia melihat secara langsung kalau Edgar berlari tergesa gesa masuk ke dalam kamar tamu."Apa aku bilang, pasti ada sesuatu. Mungkin semalam bukan Tuan Barta yang belah duren, tapi justru anaknya."Yoan semakin yakin dengan kecurigaannya itu. "Bakal ada perang Dunia nih. Apa Edgar tidak takut pada ayahnya itu? Sudah sering disiksa, tapi tidak ada kapok kapoknya."Rasa penasarannya itu terbayar dengan kedatangan Edgar."Bik! Bik!" teriak Edgar memanggil asisten rumah tangga.Setelah mengecek kamar tamu. Edgar keluar dari kamar itu lalu mencari keberadaan Bik Inah."Bik!" Edgar berteriak semakin kencang. Ia mencari keberadaan asisten rumah tangganya di seluruh ruang di dalam rumah."Iya, Den, ada apa?" Bi Inah keluar dari ruang cuci.Edgar mendekati wanita paruh baya itu lalu mengatakan, "Bibi yang mengganti seprai di kamar tamu?" selidiknya."Iya, Den. Memang kenapa?"Edgar mengusap keringat di kening karena gugup kemudian menjelaskan, "Soal darah di seprai itu. Itu darah dari tangan saya. Tangan saya terluka terkena serpihan kaca mobil. Bibi pasti sudah dengar kan kalau mobil Papaku meledak?"Bik Inah menganggukkan kepala sambil melirik ke bagian tangan Edgar. Namun ia tak ingin banyak bertanya. "Iya, Bibi sudah dengar soal insiden terbakarnya mobil Tuan.""Ya sudah, aku hanya ingin mengatakan itu," tukas Edgar lalu pergi meninggalkan ruang cuci.***Edgar kembali ke kamarnya. Dia langsung memberitahu Bella kalau tidak ada satu orang pun yang curiga tentang seprai itu."Kamu yakin sudah benar benar memastikan kalau pembantu kamu itu percaya?" tanya Bella di dalam telepon.Edgar tertawa kecil. "Aku yakin, Sayang. Lagi pula, kamu kan tahu kalau asisten rumah tangga di rumahku hanya datang di pagi hari dan dia pulang sebelum Papaku pulang ke rumah. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya bercak darah, aku bisa mengarang cerita tentang itu.""Tidak sesederhana itu, Edgar. Bukan hanya karena bercak darah, kamu tahu kan kalau semalam Papa kamu ke kamar tamu? Aku takut dia mencari tahu sedang apa kamu di kamar itu semalam.""Ayo lah Bel, semua itu tidak akan serumit pikiranmu. Papaku tidak memiliki waktu untuk mencari tahu hal yang tidak penting seperti itu. Untuk apa dia ingin tahu aku sedang apa di kamar tamu? Jangan berpikir yang tidak akan mungkin terjadi. Lebih baik kita pikirkan masa depan kita. Dan tentang hubungan kita. Aku ingin secepatnya keluar dari rumah ini dan menikahimu.""Terserah apa katamu, Edgar. Aku tidak ingin mendengar khayalanmu tentang masa depan, sedangkan kamu saja tidak fokus kuliah."Edgar menggaruk alis yang tidak gatal. "Aku terpaksa pulang ke rumah karena kamu yang meminta, apa kamu lupa?"Bella terdiam sejenak lalu mengatakan, "Aku ingin menyelesaikan mata kuliah. Jangan menjemputku, aku takut Papamu curi .... " Bella menggantung ucapannya saat mendengar suara teriakan."Papaku pulang. Sepertinya dia sedang emosi," ucap Edgar. Lelaki tampan itu meletakkan ponsel ke atas tempat tidur."Edgar! Di mana kamu?" teriak Barta."Aku di dalam kamar," jawab Edgar sambil melirik ponsel miliknya. Sengaja ia tidak mematikan ponsel tersebut, agar Bella tahu bagaimana kelakuan Barta saat tengah emosi. Namun ternyata, Bella mengakhiri panggilan Edgar.Bruk!Barta mendobrak pintu dengan sekali tendangan. Pintu terbuka lebar.Edgar melihat wajah dingin ayahnya, seperti sedang kerasukan jin.Barta melangkahkan kaki mendekati Edgar. Tatapan mata tajam Barta saat melihat Edgar seperti seekor Elang yang ingin mencabik mangsa."Ada apa, Pa?" tanya Edgar santai.BUK!Bukannya jawaban yang diterima oleh Edgar. Ia justru mendapatkan bogem mentah dari ayahnya sendiri."Kamu bertanya ada apa? Setelah kamu menghancurkan mobil Papa! Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Hah! Kenapa kamu meledakkan mobil itu!" bentak Barta.Edgar tersenyum jengah. "Siapa lagi musuh Papa yang tidak bisa Papa kalahkan? Sampai Papa melampiaskan kemarahan padaku?""Kamu pikir Papa bodoh? Papa tahu kalau semalam kamu yang meledakkan mobil Papa!""Mana buktinya?" pekik Edgar."Rusaknya kamera CCTV di rumah ini sudah membuktikan kalau kamu pelaku peledakan bom itu!"Edgar terdiam mematung. Dia melupakan tentang pengamanan di dalam rumahnya yang ia rusak.Satu tahun kemudian, memasuki usia Bryan dan Nancy yang ke 6. Tepat hari itu pula, sebuah acara besar-besaran digelar dengan sangat meriah.Hari ini adalah hari dimana Naomi akan melangsungkan pernikahan dengan Galih. Setelah sebelumnya Edgar dan Bella berusaha untuk menjodohkan mereka, akhirnya keduanya kembali dekat dan saling mengungkapkan perasaan.Hingga akhirnya setelah satu tahun menjalin hubungan, kini Naomi dan Galih pun memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.“Sayang, aku sangat bahagia karena akhirnya Naomi dan Galih benar-benar akan menikah,” kata Bella pada Edgar, sesaat setelah mereka tiba di aula pernikahan tersebut.“Aku juga sangat bahagia, Sayang. Tidak sia-sia kita membuat kedekatan di antara mereka lagi.” Edgar mengangguk setuju.Bella hanya terkekeh mendengar perkataan sang suami. Kini mereka melanjutkan langkah mereka, menjadi saksi pernikahan antara Naomi dan Galih.Tepat di atas pelaminan, keduanya tampak bersanding dengan senyum yan
“Rencana kita pagi ini mau kemana?” tanya Edgar pada anak-anak dan istrinya.Mereka telah menyelesaikan acara sarapannya dan kini tengah bersiap untuk berangkat menuju tempat liburan.“Bagaimana kalau ke water park atau ke pantai saja, Pa?” Nancy menawarkan.“Hmm, sepertinya bagus juga. Ya sudah, kalau begitu kita pergi ke water park dulu, setelah itu baru kita pergi ke pantai.” Edgar mengangguk setuju.“Yeeii.” Bryan dan Nancy bersorak kegirangan.Kedua anak kecil itu dengan antusias segera masuk ke dalam mobil, hendak disusul oleh Bella dan Edgar. Namun sebelum mereka masuk mobil, tiba-tiba saja datang sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumah mereka.Tak lama setelah itu, terlihat seorang wanita yang melangkah masuk ke halaman dan berhenti di hadapan Bella.“Bella,” ucapnya menyapa wanita itu.Mendengar suara itu, sontak membuat Bella terkejut dan segera mengangkat wajahnya. Seketika ia tercengang, saat melihat sosok Naomi sedang berdiri di hadapannya.“Naomi!” pekik Bella kag
“Papa, ayo kita main!” Suara seorang anak laki-laki memecahkan kesunyian di pagi hari yang cerah.Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dari arah luar kamar.Tak terasa lima tahun kemudian berlalu dengan sangat cepat. Kehidupan Edgar dan Bella semakin bahagia sekarang. Mereka tinggal di rumah utama milik Barta, bersama dengan kedua anaknya dan ditemani oleh kedua asisten rumah tangga yang setia, Bi Marni dan Bi Imah yang merupakan mantan asisten rumah tangga Barta dulu.Tok! Tok! Tok!“Papa, bangun!”Edgar membuka selimutnya dengan cepat. Pria itu tampak menghembuskan nafasnya kasar. Ia memutar bola matanya malas, seraya melirik pada Bella yang sedang tertawa kecil sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Astaga, Sayang! Kenapa sepagi ini Bryan sudah mengganggu momen kebersamaan kita?” dengus Edgar pelan.“Karena dia tahu kalau hari ini kamu tidak masuk kantor, Sayang. Jadi dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain denganmu,” jawab Bella sembari
Edgar menajamkan pandangannya, untuk memastikan jika pria pengemis yang dilihatnya itu memang benar-benar adalah Barta.“Iya, tidak salah lagi. Itu memang papa.” Ia mengangguk cepat.Setelah memastikan bahwa pria pengemis itu adalah Barta, maka Edgar pun lekas turun dari mobilnya. Ia berniat untuk menemui papanya itu. Dari kejauhan, Edgar sudah mengamati setiap detail penampilan papanya. Barta tampak mengenakan pakaian dan topi compang camping yang seolah menyembunyikan jati dirinya.Tak akan ada satu orang pun yang mengira jika pria itu adalah Barta Wijaya, sosok rentenir kaya raya yang terkenal kejam.Tak butuh waktu lama, kini akhirnya langkah Edgar pun tiba juga di hadapan Barta. Ia melihat pria itu terus saja membungkukkan kepalanya.Namun satu hal yang membuat Edgar merasa kebingungan, karena sejak tadi papanya itu tampak sembunyi-sembunyi memainkan sebuah ponsel mewah dari balik bajunya.“Papa,” panggil Edgar dengan keheranan.Suara panggilan dari Edgar itu pun sontak membuat
“Sudah apa, Bi?” desak Edgar merasa penasaran, karena ia merasa jika ART nya itu terlalu berbelit-belit untuk bicara padanya.“Begini, Den. Setahu bibi, Tuan Barta pernah mempunyai seorang nasabah yang tidak sanggup membayar hutangnya. Dia juga tidak punya apa-apa untuk bisa dijadikan sebagai jaminan atau penebus hutang. Jadi Tuan Barta mengirim para debt colector untuk menagih hutang nasabahnya itu. Tapi rupanya tak hanya sekedar menagih hutang saja, para debt colector itu bahkan sampai mencelakai nasabah itu dan membuatnya meninggal dunia,” terang wanita paruh baya itu dengan sedikit takut-takut.“Astaga!” Edgar membeliak, sebab rupanya pernyataan dari asisten rumah tangga di rumah papanya itu cukup membuatnya terkejut bukan main.Edgar meraup wajahnya kasar, merasa frustasi dengan apa yang sudah dilakukan oleh papanya. Pria itu bahkan tampak menghembuskan nafasnya yang terasa berat, seolah menyimpan sebuah beban besar di dadanya.“Bibi serius? Orang itu sampai meninggal dunia?” tan
Edgar merasa sangat terkejut saat melihat ada foto Brata yang terpampang di dalam sebuah artikel berita. Namun yang lebih membuatnya terkejut, yakni karena artikel itu memuat berita jika Barta masuk dalam DPO atau Daftar Pencarian Orang, alias buronan.“Ini benar papa kan? Lalu kenapa papa bisa jadi DPO?” Edgar bertanya pada dirinya sendiri, dengan kedua mata yang membelalak kaget.Pria itu terus menatap lekat ke arah foto pria yang terpampang di ponselnya tersebut. Ia ingin memastikan sekali lagi, bahwa pria di foto itu bukanlah Barta.Namun, mau sekeras apapun Edgar berusaha untuk meyakinkan dirinya, tetap saja tak bisa memungkiri bahwa pria di berita itu memanglah papanya.“Astaga! Ini memang benar-benar papa. Sebaiknya nanti aku cari dia dan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi,” angguk Edgar pada dirinya sendiri.Jam sudah menunjuk ke angka setengah tujuh, membuat Edgar tak punya banyak waktu lagi untuk lebih berlama-lama berada di tempat perbelanjaan tersebut.Pria itu pun denga