Share

CCTV

Harga mobil yang meledak pada malam itu memang tidak seberapa, tetapi bagi Barta Wijaya, mengusik ketenangannya sama saja sudah mengajak perang.

Saat ini di tengah perjalanan menuju markas musuhnya--para preman yang sering kali berbuat ulah. Barta sudah bersiap untuk memberi pelajaran pada mereka semua.

"Mengusik ketenanganku, sama saja mencari mati!" desis Barta seraya memasukan peluru ke dalam Glock kesayangannya.

Anak buah Barta menyadari kemarahan Tuan mereka. Tak ada ampun bagi orang yang sudah berani berurusan dengan rentenir kejam itu. Semua orang yang terjun ke dunia hitam tahu siapa Barta Wijaya, tetapi masih saja ada yang berani mengusiknya.

"Jam berapa kejadian ledakan semalam?" tanya Barta pada anak buahnya.

"Kemungkinan jam dua belas malam, Tuan." Anak buahnya menjawab sambil menundukkan tubuh.

Barta berfikir sejenak lalu kembali mengatakan, "Apa kalian sudah mengecek semua CCTV di rumahku?"

Pertanyaan itu sontak membuat anak buah Barta yang duduk di kursi depan saling tatap.

"Jawab!" bentak Barta pada anak buahnya.

Anak buahnya terkejut kemudian menjawab dengan bibir gemetar, "Ada yang merusak CCTV di rumah, Tuan."

"Apa katamu? Ada yang merusak CCTV di rumah? Artinya orang yang melakukan itu orang dalam? Bukan salah satu dari anak buah Burhan. Tidak mungkin anak buah Burhan bisa masuk ke dalam rumahku," cecar Barta.

"Putar arah, kita kembali ke rumah! Aku tahu siapa yang melakukan itu!" Barta memerintah dengan suara lantang.

Mobil yang dikendarai supir pribadinya melaju cepat melewati jalan tol yang lengang pada jam sepuluh pagi. Berputar arah kembali ke rumah.

"Aku yakin yang meledakkan mobilku adalah Edgar," desis Barta. "Lihat saja, aku akan membuat dia menyesal. Aku akan memberinya pelajaran."

Anak buah Barta menatap Tuanya dari kaca spion. Wajah dingin Barta sudah menjelaskan amarah Lintah Darat itu tengah meluap.

"Sebentar lagi kita sampai Tuan, tapi apa Tuan yakin kalau yang meledakkan mobil Tuan pada malam itu adalah anak laki laki, Tuan? Sejujurnya saya sedikit ragu, karena tidak mungkin Tuan Muda Edgar berani melakukan itu."

"Kalau bukan dia, lalu siapa lagi? Kita semua tahu kalau selama ini anakku membenciku," balas Barta.

Melihat wajah garang Barta anak buahnya tidak berani mengatakan apapun lagi.

Suasana di dalam mobil hening. Sesungguhnya anak buah Barta sudah menutupi permasalahan CCTV di rumah mewah tersebut, mereka takut Edgar menjadi sasaran kemurkaan sang rentenir kejam.

Kekhawatiran itu terjadi, Barta murka. Entah apa yang akan dilakukan oleh Barta pada anak kandungnya sendiri.

***

Di dalam kamar losmen yang tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk beristirahat atau sekedar melepas hasrat bagi pasangan yang tengah di mabuk asmara.

Edgar kembali melampiaskan keinginan yang menggebu setelah tadi pagi dia gagal menyalurkan hasratnya pada Bella.

"Ugh. Ah, Edgar, pelan pelan," rintih Bella yang tengah menyatukan peluh dengan Edgar. "Edgar. Please, pelan pelan."

Mendengar rintihan dan desahan Bella, justru semakin membuat Edgar bersemangat menggerakkan tubuhnya dengan cepat.

"Edgar. Please, pelan pelan. Apa kamu tuli?" Bella sudah kewalahan melayani nafsu liar Edgar.

Edgar menyeringai menatap wanita cantik yang berada di bawah kungkungannya. "Nikmati Bella. Jangan tegang, rileks saja. Rasanya enak, bukan? Permainanku tidak pernah mengecewakan."

"Kenikmatan hanya kamu yang merasakan, tapi aku? Apa kamu melihat kalau aku menikmati permainanmu? Sama sekali tidak. Aku ingin secepatnya menyudahi ini. Aku lelah, aku ingin kuliah." Bella berusaha memberontak dari kungkungan lelaki di atas tubuh sintalnya.

Namun kemarahan Bella justru semakin membuat Edgar hilang akal. Bukannya melepaskan ia justru semakin mencengkram erat lengan Bella.

"Kita akan kuliah setelah aku selesai menghilangkan dahaga ini," ucapnya sambil tersenyum. "Tolong nikmati saja, apa kamu lebih memilih tubuhmu ini dinikmati oleh Papaku? Aku tidak akan membiarkan Papaku menyentuhmu."

Bella tersenyum jengah. "Apa bedanya kamu dengan ayahmu? Hah! Kalian berdua sama sama laki laki bajingan, yang hanya ingin menikmati tubuh wanita. Lagi pula, kalau pun aku melayani Papamu, itu sudah kewajibanku sebagai seorang istri."

Edgar menghela napas panjang kemudian mengurangi ritme gerakan yang semula sangat cepat, menjadi lambat.

Ia menyapu lembut bibir merah Bella, lalu mengatakan, "Maaf, aku sudah keterlaluan. Aku tidak akan kasar lagi. Aku akan melakukannya dengan lembut. Aku terlalu terbawa suasana, tubuhmu sangat nikmat, Honey."

Bulir bening mengalir deras dari sudut mata Bella. "Aku ingin kuliah, cepat sudahi semua ini. Edgar, aku mohon."

Edgar menganggukkan kepala. "Lima menit lagi. Setelah itu kita akan pergi ke kampus, ya." Ia membelai lembut pipi basah Bella, menenangkan wanita pujaan.

Napas Bella tertahan, ia tidak bisa melakukan apapun. Untuk menolak melayani nafsu bejad anak tirinya sendiri saja dia tidak mampu.

Pasrah dengan apa yang dilakukan Edgar padanya. Bukannya melayani suami, dia justru melayani anak tirinya sendiri.

Edgar mulai kembali mempercepat ritme gerakan saat merasakan sesuatu di dalam dirinya mau meledak keluar.

"Aaahh, Bella ...." racau Edgar. Tak lama kemudian tubuhnya ambruk di atas tubuh Bella.

"Sudah selesai?" tanya Bella dengan nada dingin. Ia mencoba mendorong tubuh Edgar agar menjauh dari tubuhnya.

Edgar menyeringai. "Sudah, nanti malam kita ulangi lagi. Ya?"

"Kamu gila Edgar, kamu sudah tidak waras!" sarkas Bella.

"Aku gila karena terlalu mencintaimu, Bel." Edgar turun dari atas tubuh Bella lalu berbaring telentang.

"Cinta? Kamu salah menafsirkan perasaanmu itu. Kamu tidak pernah mencintaiku. Yang kamu rasakan hanya obsesi dan nafsu!" cecar Bella emosi.

"Terserah apa katamu, yang jelas aku sangat mencintaimu," senyum Edgar sambil membelai lembut perut ramping Bella.

Bella mendengus kesal, mengubah posisi menjadi duduk lalu menurunkan kaki ke bawah ranjang.

"Antar aku ke kampus!" pinta Bella masih emosi.

"Okey, kita ke kampus. Terima kasih untuk pagi yang indah ini, Honey," kekeh Edgar.

Bella mendengus kesal sambil memakai pakaiannya satu persatu.

"Hmm, Bel." Edgar menatap wanita cantik itu.

"Apa?" ketus Bella.

"Kapan kamu datang bulan?"

Bella melirik sinis. "Untuk apa kamu bertanya seperti itu?"

Edgar menyeringai. "Aku harus berjaga jaga, untuk menahan diri selama beberapa hari."

"Kamu gila!" sarkas Bella. "Cepat pakai semua pakaianmu!" Bella melempar celana jeans panjang milik anak tirinya.

"Aku tunggu kedatanganmu malam ini. Datanglah ke kamar tamu, ya," kekeh Edgar mengambil celana tersebut lalu memakainya.

Deg!

Mendengar ucapan Edgar, Bella mengingat sesuatu. "Seprai di kamar tamu itu. Apa kamu sudah membuka seprainya?" Bella terlihat panik.

"Memangnya kenapa?"

"Di seprai itu ada darahku."

Edgar menepuk jidatnya. "Aku lupa, mungkin seprai itu sudah dicuci asisten rumah tangga di rumahku."

Wajah Bella semakin panik. "Bagaimana kalau Papamu melihat seprai itu? Dia bisa murka, dia bisa membunuhku Edgar!"

Dengan cepat Edgar mengambil kunci mobil yang ada di atas nakas. "Kita pulang," ajak Edgar memegang lengan Bella.

"Kalau kita berdua yang pulang, Papamu pasti akan curiga. Lebih baik aku naik taksi ke kampus. Kamu saja yang pulang ke rumah," usul Bella.

Edgar menganggukkan kepala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status