Share

Mengandung Benih Bos Arogan
Mengandung Benih Bos Arogan
Penulis: Sanny Rama

Bab 1 – Pria Di Kamar Hotel

Suasana pagi itu memancarkan keheningan yang mencekam di dalam sebuah kamar hotel. Ziana membuka matanya perlahan mengikuti irama detak jantungnya yang terasa berdegup kencang. Sejenak Ziana mencoba mengenali keberadaannya saat ini. Namun, dalam sekejap, keterkejutan menyelinap masuk ke dalam relung hatinya yang gelap.

“Aku dimana?! Bajuku?!”

Tubuhnya terbungkus dalam selimut yang hangat, menghadap langit-langit kamar hotel yang asing baginya. Perlahan, ingatan bergelut memecahkan kebimbangan yang merayapi pikirannya. Di mana dia? Apa yang terjadi semalam? Pertanyaan itu berputar-putar di dalam benaknya, mencari jawaban yang sesak terkekang.

Ziana memperhatikan setiap sudut kamar dengan tatapan waspada. Namun, tak ada yang menyambut, kecuali gemerisik halus suara air dari arah kamar mandi, menciptakan harmoni suara alam yang bersahaja. Detik demi detik berlalu, mengoyak kebingungan yang berputar di sekelilingnya. Suara air itu menjadi penanda keberadaan seseorang di ruangan itu.

“Aku harus cepat pergi dari sini.”

Dalam kebingungannya, Ziana bergerak dengan cepat, meraih pakaian yang tergeletak di lantai, dan memakainya kembali dengan tergesa. Setiap suara langkahnya terasa seperti petir yang memecah keheningan. Namun, sebelum ia berhasil mencapai pintu kamar, sebuah gerakan mengejutkan membuyarkan konsentrasinya.

Pintu kamar mandi terbuka dengan perlahan, menyibak misteri yang tersembunyi di baliknya. Dan di sanalah, keterkejutan sejati menanti Ziana, menunggu di ambang pintu, di mana Ziana akan dihadapkan pada masa lalunya yang telah ia kubur jauh.

“Maha,” bisiknya tergagap, suara itu hampir tidak terdengar olehnya sendiri. Dalam sekejap, ruang antara mereka terasa terisi oleh kebingungan dan kejutan yang tak terungkapkan. Tubuh Ziana terasa membeku di tempatnya berdiri.

Mahanta, mantan kekasihnya, keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang, tubuhnya terbungkus dalam bathrobe, dan rambutnya yang basah menciptakan jejak air di lantai kamar hotel. Matanya bertemu dengan mata Ziana, memancarkan kilatan tak terucapkan dari masa lalu yang terlupakan.

“Ziana,” desah Mahanta. Suaranya terdengar rendah, merambah dengan kekakuan yang sama dengan yang dirasakan Ziana. Keduanya terperangkap dalam situasi yang tak terduga, terdiam dalam pikiran yang sama.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ziana dengan suara gemetar, mencoba mengumpulkan keberanian di dalam dirinya yang tenggelam dalam kekacauan yang tak terelakkan. Suasana canggung menyelimuti keduanya saat bertemu kembali di dalam kamar hotel dengan pakaian tidak lengkap. “Apa kita melakukannya semalam?”

“Aku bisa saja bertanya hal yang sama padamu. Apa yang terjadi kemarin?”

Ziana terdiam, kembali mengingat kejadian semalam. Satu hal yang ia ingat adalah kepalanya pusing setelah meneguk minuman yang ada di pesta. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi dan baru terbangun di dalam kamar hotel itu.

"Lagi-lagi kau berbohong," desis Ziana, suaranya bergetar oleh kemarahan yang mulai memenuhi setiap celah hatinya. Bisa-bisanya dia hampir terpengaruh manipulasi yang Mahanta ciptakan. Pesona pria itu masih belum sirna dari relung hati Ziana. "Kamu merencanakan ini, bukan?"

Ziana menatap Mahanta dengan pandangan meremehkan dan kekecewaan yang sangat besar. Dia merasa dikhianati, dijebak dalam permainan yang tak terduga, dan kebencian merayap di dalam hatinya, mengalahkan kerinduan yang masih tersisa.

Mahanta menatapnya dengan ekspresi campuran antara kemarahan dan kebingungan. "Ziana, apa yang kau bicarakan? Merencanakan apa?" geramnya.

“Sudah cukup, Maha.” Ziana mengangkat tangannya. “Aku tidak perlu mendengarkan omong kosongmu. Kau masih saja sama seperti tiga tahun yang lalu, seorang pengecut. Brengsek!” sentaknya lalu berbalik cepat hendak mendekati pintu keluar.

Ketika Ziana mulai bergerak menuju pintu, Mahanta bereaksi dengan cepat. Dia mencengkeram tangan Ziana dengan keras, menahan langkahnya, agar tidak bisa melarikan diri lagi.

"Aku bukan pengecut!" desak Mahanta, suaranya penuh dengan kemarahan yang mendalam. "Apa maksud ucapanmu?! Aku tidak merencanakan apapun! Kau yang meninggalkanku tanpa pesan!"

Ziana menoleh padanya dengan mata yang menyala-nyala oleh kemarahan yang membara di dalamnya. "Aku sudah tidak ingin mendengarkan apa yang kamu katakan. Ucapanmu tidak ubahnya seperti sampah! Busuk!" ucapnya dengan tajam, menyentak tangan Mahanta hingga terlepas.

Namun Mahanta tidak mengalah begitu saja. Dia kembali mengejar Ziana dengan langkah mantap, menyudutkan wanita itu ke dinding hotel. Sekuat apapun Ziana memberontak, dia bukan tandingan Mahanta.

"Sampai kapan kau akan melarikan diri seperti ini, Ziana?"

Ziana menatapnya dengan tatapan tajam, tetapi di dalam matanya, ada kebingungan yang tersembunyi. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan Mahanta menyentuhnya lagi.

"Diam," hardik Ziana dengan suara yang tajam, suaranya menggema di dalam ruangan yang sunyi. "Jangan sentuh aku."

Mahanta terdiam, terpana oleh ketegasan Ziana. Wanita yang kini berdiri di hadapan Mahanta bukanlah Ziana yang polos dan lugu. Ziana yang sekarang berani menatap mata Mahanta tajam, bahkan menjawab dengan kata kasar. Ziana terlihat sangat berbeda dan sangat membenci Mahanta.

Ziana menghentak tangan Mahanta sekali lagi, lalu menatapnya tajam. “Sampai kapanpun aku tidak akan pernah lupa dengan perbuatan bejatmu. Aku minta mulai detik ini, jangan dekati aku lagi. Atau__”

“Atau apa?! Apa yang sanggup kau lakukan?!”

Suara ketukan di pintu kamar membuat Ziana dan Mahanta menatap pintu itu. Mahanta bergerak mendekat lalu membuka pintu tanpa memeriksa terlebih dahulu. Tampak Lintang, asisten pribadinya sudah berdiri di depan pintu membawa paper bag.

“Pagi, bo__”

Belum selesai Lintang mengucapkan salam, Ziana menendang tulang kering Mahanta hingga pria itu mundur selangkah. Belum sempat Mahanta dan Lintang bereaksi, Ziana sudah menerobos keluar dan berlari cepat menuju lift. Diabaikannya panggilan Mahanta di sepanjang lorong itu. Sesampainya di depan lift, Ziana buru-buru menekan tombol lift agar terbuka. Kegelisahan terlihat jelas diwajahnya yang pucat. Beruntung lift itu segera terbuka dan Ziana segera masuk ke dalamnya.

“Sial! Dia kabur lagi!” umpat Mahanta. Dia segera mengganti pakaiannya dengan satu stel pakaian kerja yang dibawa Lintang. Asisten pribadinya itu tampak berdiri di dekat pintu kamar, tersenyum tipis di balik kacamatanya.  

“Ngomel melulu, bro. Semalam, kamu beneran tidur sama Ziana?” tanya Lintang memecah keheningan di antara mereka.

“Terus menurutmu, aku harus tidur dengan siapa? Untung saja ada dia,” ucapnya dingin, tapi sedetik kemudian berkobar lagi. “Sialan! Siapapun yang menaruh obat perangsang di minumanku dan Ziana, harus membayar mahal!”

Lintang memicingkan matanya, sebagai tanda curiga pada Mahanta. Selain sebagai asisten pribadi Mahanta, Lintang juga salah satu sahabat dekat Mahanta. Sedikit tidaknya, Lintang tahu sifat Mahanta.

“Bukannya kamu sendiri pelakunya? Aku sudah tahu sejak kita menemukan keberadaan Ziana. Di dalam otakmu hanya ada dia. Tiga tahun, bro. Untung kamu nggak gila,” tuduhnya memojokkan Mahanta.

“Diam! Apa perintahku sudah beres?”

“Perintahmu selalu beres, bos. Kecuali untuk masalah Ziana. Kenapa harus dia? Apa nggak ada pilihan lain? Yang lebih kompeten, lebih cantik, lebih__” Lintang terjeda saat Mahanta menatapnya tajam. Otaknya langsung berpikir cepat sebelum menerima surat mutasi ke Antartika. “Sudah beres! Kita bisa ke kantor sekarang, bos.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status