“Apa kamu nggak keterlaluan? Dia perempuan. Tubuhnya akan kelelahan kalau terus bekerja sekeras itu,” ucap Lintang setelah menjelaskan pekerjaan yang sudah berhasil diselesaikan Ziana dalam waktu singkat.
“Aku hanya ingin minta penjelasan. Apa susahnya?” Mahanta mendengus cuek.
“Lalu setelah kamu dengar penjelasannya, mau apa? Kamu sadar nggak, sejak awal hubungan kalian__”
“Kamu mau bilang apa? Mau ngingetin lagi soal taruhan itu? Iya?”
“Maksudku, hubungan kalian itu banyak banget halangannya. Dan__” Lagi-lagi ucapan Lintang terhenti karena gangguan dari ponsel Mahanta yang tergeletak di atas meja. Nama Sherena terpampang sangat jelas disana. Lintang menunjuk ponsel Mahanta, “__ dia salah satu penghalang itu.”
“Jangan banyak bicara.”
Mahanta tidak lantas mengangkat telepon dari Sherena. Sekali panggilannya tidak dijawab, Sherena menelpon sekali lagi, membuat Mahanta terpaksa menjawabnya. Wanita itu sangat keras kepala dan Mahanta baru menyadari hal itu sekarang.
“Ada apa?” tanya Mahanta dingin.
[“Maha, apa kau sudah makan malam? Aku kangen makan masakanmu.”] Suara Sherena terdengar lembut dan menenangkan seperti kolam yang tenang. Tapi sesungguhnya ada buaya yang sedang menunggu untuk menggigit mangsanya.
“Aku bukan kokimu!”
[“IIh, Maha. Kamu yakin nggak mau ke apartemenku? Kita bisa masak sambil ngobrol kayak dulu. Kayaknya aku ngidam deh.”]
“Anak siapa lagi kali ini?” tanya Mahanta dingin.
[“Sayang, kamu kok gitu sih?”]
Saat Mahanta masih mendengarkan ocehan Sherena, Ziana mengetuk pintu ruangan itu. Lintang membukakan pintu lalu bicara dengan Ziana.
“Maaf, Pak. Apa saya sudah boleh pulang? Pekerjaan saya hari ini sudah selesai,” pinta Ziana dengan wajah pucat dan tubuh yang sudah gemetar kelelahan.
Lintang melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mereka bahkan melewatkan makan malam karena ulah Mahanta. “Sebentar ya.”
Ziana tetap berdiri di tempatnya saat Lintang kembali mendekati meja kerja Mahanta. Kedua netranya sudah hampir terpejam lantaran sangat lelah dan lapar. Sebelum pulang, Ziana ingin sekali makan lalapan langganannya. Saat kesadarannya mulai menurun, Ziana terhuyung ke depan dan menabrak dada seseorang di depannya.
Sontak Ziana mendongak, terkejut menyadari dada itu milik Mahanta. Ia buru-buru menegakkan tubuhnya dan berpegangan pada pintu di belakangnya. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” ucapnya formal.
“Kamu mau pulang?”
“Iya, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai. Saya janji besok saya akan datang lebih pagi,” sahut Ziana menahan rasa kantuknya.
“Pergilah.”
Ziana mengangguk ke arah Mahanta dan Lintang lalu berjalan menuju lift. Ia menekan tombol lift yang langsung terbuka di depannya. Baru saja hendak menekan tombol untuk menutup pintu, Mahanta menahan pintu lift dan ikut masuk bersama Lintang. Pria itu tampak bicara dengan seseorang di telepon.
“Aku tahu, Sherena. Aku akan pulang sekarang. Sampai jumpa,” ucap Mahanta lalu menutup teleponnya.
Ziana yang mendengar nama Sherena disebut, seketika merasa sesak di dadanya. Sherena. Nama wanita itu tidak akan pernah Ziana lupakan seumur hidupnya. Sherena adalah kekasih Mahanta, saat pria itu merayunya dan memintanya menjadi pacar Mahanta. Ziana tidak mengetahui kebenaran itu dan terjerat pesona Mahanta begitu saja.
Ziana menghela nafas pelan, sambil bersandar pada dinding lift yang dingin. Seharusnya ia tidak bereaksi seperti ini. Tiga tahun sudah cukup baginya untuk melupakan masa lalu yang kelam. Tapi rupanya hati Ziana tidak benar-benar mengiklaskan kejadian itu.
“...na? Ziana?!”
Ziana tersentak saat Lintang mengguncang bahunya pelan. Dia menatap Lintang dan Mahanta bergantian lalu menegakkan tubuhnya kembali. “A-ada apa, Pak?”
“Aku tanya dari tadi. Kamu turun di lobby atau basement? Kamu kenapa? Sakit?”
Ziana menggeleng pelan sambil tersenyum tipis, “Di basement, Pak. Motor saya parkir disana,” sahutnya lalu mendongak melihat posisi lantai saat ini.
“Apa tidak sebaiknya kamu naik ojek? Kamu yakin berkendara disaat seperti ini?” Lintang melirik Mahanta yang sudah menatapnya dingin. Menggoda Mahanta akan menjadi hobi barunya sekarang.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya akan hati-hati. Terima kasih.”
Lift itu terus meluncur sampai ke basement gedung. Mahanta keluar lebih dulu disusul Lintang dan Ziana. Mereka berpisah jalan karena arah parkiran motor dan parkiran mobil CEO berbeda arah. Situasi di basement itu cukup sepi, tapi tingkat keamanannya yang tinggi membuat semua karyawan yang bekerja lembur, bisa merasa tenang saat sendirian.
Setelah memakai atribut untuk berkendara, Ziana pun menjalankan motornya menuju pintu keluar. Ia menekan kartu pegawainya ke sensor yang ada di palang pintu hingga terbuka. Setelah motor Ziana melewati palang pintu itu, mobil Mahanta juga menyusul di belakangnya.
“Ikuti dia. Jangan sampai ketahuan,” titah Mahanta.
“Kenapa nggak nawarin nganterin kalau khawatir?”
Mahanta tidak menjawab karena fokus melihat bagian belakang motor Ziana yang berbaur dengan beberapa pengendara di jalan. Tak lama, Ziana berhenti di depan warung lalapan dan masuk kesana.
“Sepertinya dia lapar. Ngomong-ngomong, kita tadi belum makan malam, bos,” ucap Lintang.
“Kenapa kamu nggak ngomong?!” omel Mahanta sambil memukul pundak Lintang.
“Sudah, bos. Tapi dalam hati.” Lintang kembali menoleh ke depan mobil. “Loh, kok dia keluar lagi nggak bawa apa-apa.”
Atensi keduanya kembali fokus pada Ziana yang terpekur kecewa sambil mengusap perutnya yang lapar. Lalapan yang diinginkan Ziana sudah habis. Sambil menahan rasa lapar, Ziana kembali menjalankan motornya sampai di depan pintu gerbang rumahnya.
“Ini rumah Ziana?” tanya Mahanta sambil memperhatikan ukuran rumah yang tidak lebih besar dari kamarnya.
“Sepertinya iya. Buktinya dia masuk kesana.”
“Cepat pesan makanan. Antarkan kesini.” Pandangannya tidak lepas dari Ziana yang sudah masuk ke dalam rumahnya.
“Untuk kita, bos?” tanya Lintang yang mendapat lirikan tajam ke arahnya.
Lintang segera memesan makanan lewat aplikasi, dan tak lama kemudian, pintu gerbang rumah itu diketuk seseorang. Ziana mengintip keluar dan melihat beberapa ojol memakai jaket berwarna hijau berdiri di depan pintu gerbang rumahnya.
“Siapa yang pesan makanan?” gumamnya lalu keluar dari rumah. “Ada apa, Pak?”
“Atas nama Ziana? Pesanannya sudah sampai, kak.” Salah satu ojol menyodorkan tas plastik yang dibawanya.
“Tapi saya nggak pesan apa-apa, Pak. Salah alamat ya?” Ziana kebingungan dengan situasi yang sedang dihadapinya.
“Alamatnya benar disini kok. Nama kakak juga Ziana ‘kan? Jadi gimana, kak?”
Mendengar salah satu rekan sesama ojol sedikit berdebat dengan Ziana, membuat ojol lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka tidak mau dirugikan karena orderan fiktif. Desakan mereka membuat Ziana menerima salah satu bungkusan makanan itu.
Setelah semua pesanan makanan itu berpindah tangan ke Ziana, ia mengucapkan terima kasih dan berbalik menuju pintu kamarnya. Saat itu, salah satu ojol itu memanggilnya.
“Kak, pesanannya belum dibayar.”
“Apa?!”
Ziana berbalik cepat dengan wajah pucat dan mata melotot. Dia sangat kesal pada orang yang tidak bertanggung jawab memesan makanan dengan mengatasnamanya dirinya. Puncaknya setelah selesai membayar semuanya, Ziana terpekur sedih melihat saldo di rekeningnya yang nyaris kosong.
“Kenapa hari ini aku sial sekali?!” seru Ziana yang bisa didengar Mahanta dan Lintang dari dalam mobil. Mahanta menatap punggung Ziana yang melangkah masuk kembali ke dalam rumahnya. Setelah pintu tertutup, pria itu menendang kursi Lintang dengan keras.
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar