Share

Bab 4 – Dipecat

“Apa kau sudah gila?! Cepat selesaikan!”

“Ya, maaf, bos. Aku lupa mengganti metode pembayarannya,” sahut Lintang gugup. Untung saja Ziana punya cukup uang untuk membayar semuanya atau mereka akan ketahuan menguntit wanita itu. “Sebentar, bos. Aku telpon dia dulu.”

Ziana baru saja meletakkan bungkusan makanan itu diatas meja ketika ponselnya berdering nyaring. Melihat nama Lintang, Ziana segera masuk ke kamarnya dan menjawab telepon itu.

[“Malam, Ziana. Maaf mengganggu. Apa kau sudah sampai di rumah?”] tanya Lintang berbasa-basi membuat Mahanta kembali menendang kursinya.

“Selamat malam, Pak. Barusan saya sampai. Ada apa ya, Pak?”

[“Sebelumnya aku minta maaf ya. Tadi aku memesan makanan untuk Bos Maha. Tapi aku salah memasukkan alamat. Apa makanannya sudah sampai di rumahmu?”]

Ziana mengepalkan tangannya mengira kalau semua kiriman makanan itu sengaja dikirim Mahanta untuk mempermalukannya. “Sudah sampai semua, Pak. Mau saya kirim ke kantor atau ke rumah Pak Maha?”

Lintang melirik Mahanta setelah mendengar nada suara Ziana berubah dingin. [“Makanan itu untuk kamu saja. Bisa kuminta nomor rekeningmu? Atau mau ditransfer ke nomor teleponmu? Aku benar-benar minta maaf atas kesalahanku.”]

“Ini terlalu banyak, Pak.”

[“Tidak apa-apa, Ziana. Tolong jangan menolak rejeki. Aku tunggu nomor rekeningmu ya. Sampai besok.”]

Lintang buru-buru menutup sambungan teleponnya dan tendangan kembali ia rasakan di kursinya. Pria itu menoleh cepat menatap Mahanta yang sudah melotot padanya. “Aku salah apa kali ini?”

“Kenapa nggak kamu suruh dia antar ke rumahku saja?”

“Ini sudah larut malam, bos. Masa bos tega membiarkan seorang perempuan malam-malam ke rumah bos? Atau bos punya tujuan lain?”

Mahanta mendengus kesal, “Cepat jalan. Kita pulang.”

Ziana keluar dari kamar dan menoleh ke arah pintu depan saat ia mendengar suara kendaraan menjauh. Ia mendekati bungkusan makanan di atas meja lalu menatapnya dingin. Perutnya memang lapar, tapi mengingat makanan itu untuk Mahanta, membuat selera makan Ziana hilang begitu saja.

“Ziana, kamu baru pulang?” tegur Hannah. Kakak perempuannya itu keluar dari kamar lalu mendekati Ziana.

“Iya, kak. Aku lembur tadi. Maaf, aku nggak bisa bantu di toko.”

“Kamu lembur atau pacaran? Dari kemarin pulangnya larut terus.” Ziana dan Hannah menoleh ke arah Renan yang juga keluar dari kamar. Kakak ipar Ziana itu hanya memakai kaos kutung dan celana pendek. Tanpa meminta ijin, Renan langsung membuka bungkusan makanan di atas meja. “Ini makanan mahal. Pacarmu lumayan royal ya.”

“Aku nggak punya pacar, kak. Ini semua dari Pak bos. Aku lembur karena aku diangkat menjadi sekretaris CEO. Apa kakak belum menerima pemberitahuannya?” sahut Ziana tegas. Kakak iparnya itu memang sedikit menyebalkan.

Renan tidak menjawab, tapi asyik menikmati makanan di depannya. Hannah menepuk pundak Ziana, “Kakak ikut senang, Na. Semoga kamu semakin sukses ya.”

“Makasih, kak. Aku ke kamar dulu ya.”

Ziana beranjak ke dalam kamarnya dan membersihkan tubuhnya. Dia ingin langsung tidur saja agar bisa berangkat lebih pagi. Tapi setelah tubuhnya berbaring diatas tempat tidur, Ziana justru tidak bisa tidur. Pikirannya kembali berputar pada kejadian kemarin malam.

“Kenapa dia harus kembali lagi? Apa dia pikir aku ini perempuan murahan yang bisa ditiduri sesukanya.” Ziana mengusap air mata yang membasahi pipinya. Lagi-lagi dia menangis karena Mahanta.

~~~

Hari-hari selanjutnya tidak lebih mudah dari hari pertama Ziana bekerja sebagai sekretaris Mahanta. Tubuh Ziana mulai menunjukkan batas ketahanan. Rutinitasnya yang datang lebih pagi dan pulang larut malam, membuat Ziana tidak sengaja ketiduran di meja fotocopy. Akibatnya kontrak kerja yang sedang ditunggu untuk segera ditandatangani, harus tertunda satu jam lebih.

“Astaga! Aku ketiduran!” seru Ziana setelah terbangun dari tidurnya.

Perempuan itu memeriksa ponselnya dan mendapati puluhan telepon masuk dan chat dari Lintang. Kedua tangan Ziana gemetar ketika menghubungi Lintang kembali.

“Maaf, Pak. Saya__”

[“Kemana saja kamu, Ziana? Cepat antar kontrak itu kesini. Jangan menunda lagi!”]

“Ba-baik, Pak.”

Ziana langsung menyambar tas dan dokumen kontrak kerja yang sudah disiapkan Lintang tadi. Ia berlari memasuki lift lalu menekan tombol menuju basement. Dengan mengendarai motornya, Ziana bergegas menuju hotel yang menjadi tempat pertemuan antara Mahanta dan perwakilan dari klien mereka.

Sesampainya disana, Ziana menghubungi Lintang yang sudah menunggunya di depan pintu masuk hotel. Ketika Ziana mendekat, Lintang tertegun melihat penampilannya yang sedikit kotor dan berantakan. Saat itu cuaca memang sedang mendung dan gerimis hujan membasahi jalanan.

“Apa yang terjadi, Ziana?” tanya Lintang.

“Saya tidak apa-apa, Pak. Ini kontrak kerjanya. Cepat, Pak,” desak Ziana sambil menyodorkan dokumen kontrak kerja yang ia keluarkan dari balik jas hujannya.

Tanpa banyak bertanya lagi, Lintang segera berlari masuk ke dalam hotel dan meninggalkan Ziana sendiri. Perempuan itu kembali menjalankan motornya mendekati pos sekuriti dan meminta ijin untuk berteduh. Ziana berinisiatif menunggu disana, kalau Mahanta dan Lintang membutuhkannya.

Sesekali Ziana menggosok tangannya yang dingin. Ia sudah tidak memusingkan lagi kondisinya yang basah, kotor, dan kedinginan. Dalam hatinya berharap agar kontrak kerjanya bisa ditandatangani dan kerjasama bisa tetap berjalan. Suara dari ponselnya membuat Ziana segera membuka chat masuk dari Mahanta.

{“Kerjamu tidak becus. Kamu dipecat!”}

Sontak kedua netra Ziana berkaca-kaca dan air matanya luruh dengan cepat. Ia tahu kesalahannya yang tidak sengaja ketiduran. Tapi Mahanta juga ikut andil yang membuatnya kelelahan seperti itu. Dengan cepat Ziana mengusap air matanya dan bergegas pergi dari sana tanpa membalas chat dari Mahanta.

Ziana tidak langsung pulang, tapi kembali ke kantor untuk membereskan pekerjaannya. Meskipun sudah dipecat, Ziana ingin melakukan serah terima pekerjaannya dengan Lintang sekaligus memberitahu manajer HRD tentang pemecatannya.

“Ziana, kamu masih disini?” tanya Lintang yang akhirnya kembali bersama Mahanta.

Ziana segera bangkit lalu membungkuk sejenak, “Maaf, Pak. Saya menunggu Bapak datang. Ini daftar pekerjaan dan dokumen yang sudah selesai saya kerjakan. Saya juga sudah memberitahu manajer HRD tentang pemecatan saya. Silakan diperiksa dulu.”

Ziana menyerahkan selembar kertas pada Lintang tanpa menoleh pada Mahanta. Ia berusaha bersikap profesional meskipun tidak bisa mendapatkan pekerjaannya kembali. Tanpa Ziana sadari, Mahanta terpana melihat penampilannya yang kotor dan basah.

“Apa kau sudah gila?!” bentak Mahanta mengagetkan Ziana dan Lintang.

Ziana terpana saat Mahanta menarik tangannya masuk ke ruang kerja pria itu. Tidak berhenti disana, Mahanta membawa Ziana masuk ke ruang pribadinya. Saat Ziana menyadari ruangan selanjutnya yang dituju Mahanta, perempuan itu menahan langkahnya.

“Lepaskan saya, Pak. Saya mau pulang,” ucapnya mencoba melepaskan genggaman tangan Mahanta.

“Mandi sendiri atau kumandikan!” ancam Mahanta dingin.

Ziana masih berusaha menolak, tapi tindakan Mahanta berikutnya membuat perempuan itu panik. Mahanta tanpa malu membuka kancing atas blus yang Ziana kenakan.

“Saya mandi sendiri, Pak!” seru Ziana sambil menarik blusnya kembali menutup. Wajahnya terasa panas dan tubuhnya meremang seketika.

“Sepuluh menit, tidak lebih.” Mahanta berbalik dan meninggalkan Ziana di dalam ruangan itu sendirian.

“Cuma sepuluh menit, bagaimana caraku mengeringkan pakaianku?” gumam Ziana bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status