Share

Tersangkut di Semak Belukar

"Apa Cilla mau, Pak? Apa dia bisa menerimanya?" tanya Maura usai kembali dari rumah Eyang Adjeng.

Maura begitu bingung saat diskusi dengan keluarga Bastian mengenai pernikahan. Bagaimana tidak bingung? Permintaan wanita tua itu sangat mendadak. Ya, Eyang Adjeng sudah pulang dari rumah sakit pagi tadi setelah bersikeras meminta pulang. Kondisinya belum sepenuhnya baik. Akan tetapi, wanita itu ingin pulang. Sehingga rumah sakit terpaksa mengijinkan dengan catatan, apapun yang akan terjadi dengan Adjeng, bukan tanggung jawab dari pihak rumah sakit.

"Eyang banyak sekali membantu kita, Maura. Bastian juga tidak buruk. Sepertinya dia sangat menyayangi Cilla. Seperti eyang katakan, kalau dia selama ini menyukai Cilla," kata Ali.

Maura berpikir sejenak. Perasaannya kini sedikit membaik setelah sebelumnya kacau. Ia sangat khawatir bila permintaan ini membuat putrinya menolak. Tak lama suara pintu terbuka. Cilla dengan berjalan terseok-seok datang.

"Astaghfirullahaladziim, Cilla. Kamu kenapa, Nak?"

Gadis itu menatap sang ibu menahan air mata. Ia menangis sejadinya saat wanita yang telah melahirkan dirinya itu memeluknya erat.

"Hua... Cilla jatuh, Bu," kata Cilla sambil menangis tersedu.

Mungkin Maura maupun Ali mengira tangisan itu karena Cilla merasakan sakit sebab terlihat beberapa luka di kakinya. Namun, gadis itu menangis seperti itu dengan sebab lain. Ya, sebab yang tak bisa ia jelaskan dengan kalimat saja. Gadis ceria itu nampak bersedih dan kacau.

"Cilla kenapa bisa jatuh seperti ini?".

Sebelumnya.

Tin....

Suara klakson membuat Cilla tersadar. Ia lantas membanting setir ke kanan secara kilat, motor dan gadis itu masuk semak-semak.

Blusek...

Seperti film lucu yang memperlihatkan adegan pemainnya jatuh dan terlihat melawak. Beberapa pengendara yang lewat berhenti. Mereka menolong Cilla yang tersangkut di antara semak belukar yang tingginya mencapai dua meter itu. Gadis mungil itu berhasil ditarik dengan sepeda yang juga tersangkut di sana. Suasana yang dramatis. Gadis itu menangis membuat semua orang yang menolongnya khawatir hingga ia dibawa ke rumah sakit terdekat. Kakinya yang tersangkut semak terluka cukup dalam hingga mendapatkan tiga jahitan. Ia diantar dua orang pria baik yang menolongnya tadi.

Saat ini Maura membersihkan wajah sang putri dengan handuk basah. Wajah Cilla sungguh mengerikan. Matanya sembab akibat entah berapa lama menangis. Sang ibu dan ayahnya mengira luka yang dialami sang anak cukup serius sehingga, Cilla tak berhenti menangis.

"Apa kakinya sakit, Cilla? Apakah dokter tidak memberikan obat pereda nyeri?" tanya Maura pada sang anak.

Cilla hanya terdiam. Tolonglah, katakan pada Maura. Katakan jika anaknya sedang patah hati. Maura yang tak mendapatkan jawaban dari sang putri, paham keadaan anaknya. Ya, paham jika Cilla merasakan sakit sebab kecelakaan.

Tak lama Bastian datang membawa kue di piring. Pemuda itu dipersilahkan masuk oleh Ali.

"Terimakasih, Tian." ucap Ali pada pemuda itu.

"Sama-sama, Om." jawab Bastian.

Mata Tian beredar kesana kemari. Ali paham lantas  berkata.

"Cilla habis kecelakaan, Tian. Dia sekarang di kamar sama Tante Maura," jelas Ali memberitahu.

Tian terkejut mendengar kalimat tersebut. Tian lantas meminta ijin untuk melihat gadis itu. Ali tentu mempersilakan Bastian. Sesaat pemuda itu masuk, Maura yang selesai menyeka badan Cilla berdiri dan meninggalkan mereka berdua. Bastian duduk di samping kasur. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang gadis itu.

"Kok bisa jatuh?" tanya Tian.

Cilla hanya diam tak menjawab kalimat pemuda itu.

"Kopi! Kamu denger kan? Ah, apa kamu mengalami semacam amnesia karena mengalami kecelakaan?" tanya Tian lagi.

Sret

Tian menyentil kening Cilla dengan sedikit keras sehingga menyadarkan gadis itu.

"Auh. Sakit, dasar Biang kerok!" ketus Cilla.

"Ya habisnya, ditanyain diem aja!"

Tak disangka gadis dengan mata yang sudah sembab itu memeluk Tian. Cilla menangis lagi. Tian membeku mendapati sisi manja Cilla yang telah lama tidak pernah ia temui lagi.

"Tian, aku putus sama Randi. Mamanya Randi gak mau punya mantu orang desa. Mamanya Randi gak mau punya besan montir. Hikshikshiks," kata Cilla dalam pelukannya.

Gadis itu menangis tersedu. Tian seakan terkejut mendengar kenyataan itu. Apakah ini sebuah tanda jika dirinya bisa memenuhi permintaan sang nenek? Ada senyum tipis di bibir pemuda itu. Namun, sesaat mendengar gadis itu menangis Tian sadar. Rasa pedih yang dialami Cilla seakan dirinya rasakan.

"Tenanglah, cerita dengan benar. Ada apa sebenarnya?" tanya Tian mengurai pelukan.

"Tadi aku ke tempatnya orangtua Randi," cerita Cilla.

"Sendirian? Atau sama Randi?" tanya Bastian.

"Sendirian, Randi baru pulang nanti malam," jawab Cilla. Kemudian gadis itu menceritakan dari awal hingga akhir tanpa terlewat bahkan ia juga menceritakan kemalangan dirinya mengalami kecelakaan.

Bastian menahan tawa saat Cilla menceritakan bila dirinya terangkut di semak belukar.

"Kenapa kamu ketawa? Kamu senang lihat aku sengsara?" tanya Cilla kesal.

"Ya habisnya, gimana kamu ini nyetir motor saja sampai jatuh gitu," ejek Tian.

"Kamu beneran gak punya empati ya, Tian?"

"Hem, maaf. Ya udahlah. Kamu istirahat, cepet sehat. Jangan banyak gerak. Kalau sudah lebih tenang, kamu bisa bicara sama Randi. Kalian selesaikan. Tapi ingat, Kopi. Orangtua Randi tidak menginginkan kamu. Pikirkan jika nanti kamu nekat menikah sama Randi, apa iya kamu mau musuhan sama orangtuanya? Yang aku tau, anak laki-laki itu sampai kapanpun milik ibunya, berbeda dengan perempuan. Dalam arti seorang pria wajib mendengarkan ibunya, bukan? Surganya ada pada ibunya. Sabar ya, aku paham perasan kamu."

Cilla terdiam mendengarkan petuah dari Bastian. Ini sangat langka, pemuda itu memberikan nasehat yang begitu bijak. Ah, benar-benar  aneh.

"Tumben kamu bijak, biang kerok? Ah kamu jadi pemuda tampan sedikit kalau begini," puji Cilla.

"Ish, aku memang tampan sih! Buktinya banyak yang kejar-kejar aku. Aku aja gak mau pacaran."

"Dih, tingkat percaya dirimu tidak bisa tertolong, Tian!"

"Tumben panggil bener!"

"Dih, aku selalu panggil kamu bener. Kamu aja yang panggil aku sesuka hatimu! Dasar!"

"Iya, Cil! Kan, udah bener panggilnya?"

"Bolehlah,"

HEHEHEHE

Mereka tertawa bersama. Syukurlah, Tian bisa membuat gadis itu sejenak melupakan rasa sakitnya. Menjalin hubungan bertahun-tahun tak mudah membuatnya melupakan secara singkat kenangan mereka.

"Makasih, ya Tian. Kamu buat aku tertawa. Kamu memang teman yang paling baik," ucap Cilla pada Tian.

"Yah, terpaksa. Karena kasian. Udah putus cinta, kecelakaan pula. Sangat mengenaskan nasibmu, Kopi!" ujar Tian.

"Hem, kan ngeselin lagi! Kamu gak bisa sedikit aja gitu berempati. Baik kok cuman sekejap! Sekarang kembali lagi pada Bastian biang kerok!" ujar Cilla.

Ctak

Tangan Cilla menyentil kening Tian.

"Duh, sakit!"

"Ya satu sama, tadi kan kamu nyentil aku sih."

Cilla tertawa melihat Tian menggosok keningnya dengan sedikit merajuk. Tak lama pintu kamar Cilla diketuk, Maura masuk dan berkata.

"Cilla, ada tamu nih, silahkan Nak," kata sang ibu.

Cilla membulatkan matanya. Sedang Bastian hanya diam di tempatnya. Siapa tamu tersebut? Mengapa Cilla sangat terkejut dengan kedatangannya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
paling si Rendi kali ....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status