Share

Menikahlah dengan Cilla

"Tian, pulanglah dulu sama Pakde Ali. Kamu belum mandi dari semalam," kata Arum menyarankan sang keponakan agar pulang.

Pasalnya, Bastian sejak kemarin sore belum ganti baju maupun mandi. Dia sangat khawatir dengan keadaan sang nenek sehingga tak peduli dirinya sendiri.

"Assalamualaikum," ucap gadis bermata bulat dengan baju kaos dipadu jaket berwarna merah muda itu.

WAALAIKUM SALAM

Jawab serempak semua orang yang berada di kamar rawat ini. Cilla datang membawa rantang bersama Maura sang ibu. Mereka membawakan makanan untuk semua orang yang ada di sini. Mengingat Eyang Adjeng belum sadar sedari kemarin sore.

Mereka akhirnya dengan terpaksa makan meskipun tak berselera. Bagaimanapun semua orang haruslah menjaga kesehatan salah satunya makan dengan benar, untuk menjaga wanita tua itu. Kini mereka berada di cafetaria rumah sakit. Akan tetapi Bastian tak mau ikut, sehingga Cilla menemani pemuda itu di kamar.

"Makan dulu, Tian." kata Cilla seraya memberikan piring berisi makanan pada Bastian.

"Kamu aja yang makan, aku gak lapar," tolak Bastian.

"Jangan kayak gitu, Tian. Eyang pasti sembuh. Percaya sama aku. Kamu juga ingin jagain Eyang, kan? Jadi kamu juga harus makan biar sehat," kata Cilla membujuk Bastian.

Mata sipit itu memandang gadis itu sesaat lantas terpaksa mengambil piring yang disodorkan padanya. Tian beralih duduk di sofa bersebelahan dengan Cilla.

"Aku takut, Kop!" ujar Tian lirih.

Cilla menoleh dan beralih memandang Tian dengan terenyuh. Siapa yang tak tahu? Bastian hanya memiliki sang nenek di dunia ini. Pastilah dia takut terjadi hal buruk pada wanita tua itu. Bastian menatap sang nenek yang masih saja memejamkan matanya.

"Tian, kita doakan saja. Eyang itu wanita kuat. Pasti segera siuman, jangan khawatirkan itu." kata Cilla lembut dengan menggenggam tangan pemuda itu.

Bastian memandang tangannya yang digenggam gadis dengan mata bulat itu. Sebuah kekuatan yang tak kasat mata mengalir seakan masuk lewat genggaman itu.

Jika kamu tau, aku sangat menyayangimu. Apakah kamu akan keberatan menggenggam tanganku? Sekali saja, kau melihatku seperti kamu melihat Randi. Aku juga seorang laki-laki. Wajahku juga tak buruk. Aku bisa menjadi... Ah. Bodoh! Dia sudah memiliki kekasih. Bastian, lupakanlah perasaan bodohmu itu!

"Hem, aku makan dulu," kata Bastian mengurai genggaman tangan Cilla.

Pemuda itu mulai menyendok nasi dan lauk yang ada di piringnya. Melihat Cilla hanya diam, pemuda itu bertanya.

"Kamu sudah makan?"

Cilla menggeleng. Gadis itu tersenyum ceria seperti biasa. Sangat langka melihat mereka berdamai seperti ini. Tian menyendok nasi dan lauknya, ia kemudian menyodorkan pada gadis itu.

"Buka mulutmu!" titah Bastian.

Cilla menggelengkan kepala. Namun, mata sipit itu seakan tajam menatapnya. Sehingga gadis itu terpaksa membuka mulutnya. Bastian menyuapi Cilla. Hal itu terjadi berkali-kali hingga satu piring makanan itu habis untuk mereka berdua. Setelahnya mereka mengobrol tentang sang nenek yang masih saja belum siuman. Bastian yang biasanya tak banyak bicara hal yang bersifat pribadi hari ini begitu berbeda. Mereka berdua tidak berdebat sama sekali. Cilla banyak mendengarkan cerita Bastian.

"Bas..." suara lirih terdengar.

Di tengah mereka mengobrol sang nenek siuman. Cilla segera memanggil petugas kesehatan. Sedangkan Bastian menghampiri sang nenek.

"Eyang, Bastian di sini." kata pemuda itu.

"Bastian, menikahlah dengan Cilla. Eyang mau kalian menikah, sebelum eyang pergi," kata Adjeng dengan suara lirih lemah.

Tak lama dokter berserta suster datang. Bastian terdiam memahami kalimat sang nenek. Menikahi Cilla? Yang benar saja. Cilla saja memiliki kekasih. Bastian benar-benar tak bisa berpikir lagi. Dia senang sang nenek siuman. Akan tetapi, ia juga merasa bingung dengan kalimat permintaan wanita tua itu.

***

Cilla pagi itu berangkat ke kota. Ia memang tinggal di sebuah desa yang sedikit jauh dari kota di kabupatennya. Sekitar lima belas menit ia menempuh perjalanan menggunakan motor matic miliknya. Gadis itu berhenti di sebuah klinik untuk menemui seseorang. Gadis itu sesaat berhenti di pintu. Ia mendengar sesuatu yang membuat hatinya sesak.

"Aku gak mau, Pa. Apa kata keluarga besar kita kalau anak kita seorang dokter dapat anak montir? Mana orang desa lagi," kata wanita dengan bibir berona merah itu.

"Kalau papa sih yang penting Randi seneng, Ma. Cuman, ya pasti saudara kamu yang heboh kalau beneran Randi sama Adilla."

Mendengar namanya disebut Cilla seakan merasakan sesak yang tak mampu diucapkan. Hanya dengan bernafas saja ia sangat kesulitan. Klinik ini adalah klinik kecantikan. Ia sudah menemui karyawan yang sudah akrab dengannya. Sehingga ia dipersilahkan ke atas, di mana tempat pemilik klinik ini tak lain orangtua Randi yang sedang menunggunya. Menguatkan hati dan tekadnya untuk menyelesaikan semuanya membuat Cilla mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat itu.

Tok tok tok.

"Masuk," suara lembut mempersilakan Cilla.

Sesaat gadis itu masuk di ruang yang di sana ada Bisma, ayah Randi dan Irina yang berdiri menyambutnya.

"Eh, Adilla. Sini, Sayang. Duduklah!" titah Irina mempersilakan.

Ini bukan pertemuan pertama mereka. Irina dan Cilla Adilla sudah berkali-kali bertemu. Bahkan gadis itu pernah mengambil kerja secara parttime di klinik ini sebagai tenaga customer servis. Cilla tersenyum ramah. Sebenarnya ia sangat menahan sesuatu yang amat menekan matanya di sana. Mendung yang semakin menghitam ini nampak menyulitkan penglihatannya.

"Terimakasih  Tante," ucap Cilla lantas duduk.

"Sebelumnya saya minta maaf Dilla, kemarin Randi meminta kita untuk melamar kamu. Tapi, tante itu pingin Randi dapat kerja dulu setelah nanti selesai koas. Dokter kan harus menempuh koas dulu ya, setelahnya juga Randi akan kuliah  lagi mengambil spesialis."

"Saya mengerti, Tante. Saya ke sini untuk itu. Orangtua saya khawatir dengan hubungan saya dan Randi. Oleh sebab itu, saya akan memutuskan hubungan kami berdua lebih dulu. Sampai Randi selesai pendidikannya. Saya, minta maaf Tante. Selama mengenal Tante, saya banyak salah. Saya pamit, dulu."

Cilla sudah tak mampu lagi berada di sini lebih lama. Rasanya sesuatu benda menekan dadanya hingga ia kesulitan bernafas. Cilla berdiri dan berpamitan. Irina dan Bisma hanya mengangguk dan mempersilahkan gadis itu pergi.

"Apa Adilla mendengar obrolan kita tadi, Ma?" tanya Bisma setelah Cilla berlalu.

"Dengar juga lebih bagus, Pa! Yah, syukurlah dia sadar diri. Kita gak usah susah-susah memisahkan Randi sama dia. Casse closed!" ujar wanita dengan baju formalnya itu.

Sedang Cilla, membawa motor dengan air mata berderai. Ternyata selama ini dirinya tidak diterima oleh orang tua Randi. Betapa ia merasa rendah saat ini. Kalimat yang ia dengar tanpa sengaja tadi terus mengiang di telinganya.

...anak kita seorang dokter dapat anak montir.

Kalimat itu seakan berteriak di telinganya. Sebuah kalimat yang merendahkan dirinya.

"Apakah ini jawabannya, Ya Allah?" tanya Cilla dengan mengendarai motor.

Gadis itu terus menangis dengan helem di tutup. Setelah berkendara semakin jauh dari tempat awal, Cilla masih saja menangis. Tak di sangka saat ia hendak mendahului mobil yang berjalan perlahan di depannya, dari arah berlawanan ada truk besar yang berjalan ke arahnya.

Bagaimana nasib Cilla selanjutnya?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Jangan sampai Cilla ketabrak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status