Inara dan Harshil saling berpandangan.
"Pak, kami beneran menemukan bayi--"
"Hei dengerin ya mbak, mas, satu bulan kami menerima lebih dari lima laporan tentang penemuan bayi yang sengaja dibuang oleh orang tuanya. Dan yang terakhir itu sepasang remaja SMA, ternyata bayi itu anak mereka sendiri, mereka tak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya hingga membuat laporan palsu. Kali ini kami tidak ingin tertipu, sudah sana bawa saja bayi itu. Kalian urus baik-baik, kerja yang bener, beri makan anak yang bener, jangan cuma hobi melakukan tapi gak mau tanggung jawab. Ckckck! Dasar anak muda zaman sekarang kelakuan dah kayak binatang! Kucing aja mau merawat anaknya sendiri lah ini malah mau ditinggalin! Mau dibuang, kelakuan macam apa itu? Gak usah sok berkedok lewat penampilan yang seperti ini!"
Tangan Harshil mengepal erat mendengar hinaan dari petugas itu tanpa peduli untuk menyelidikinya lebih dulu.
"Mas, sudah ayo kita pulang saja!" Inara menahan t
Harshil menghela nafasnya dalam-dalam. Sesekali melirik ke arah Inara yang begitu antusias dengan kehadiran si bayi."Heran, apa kata dunia, kita saja belum malam pertama tapi dah punya bayi!" celetuk Harshil kesal.Inara menoleh melihat wajah suaminya yang begitu kesal. Dia tertawa ringan."Mas, jangan begitulah. Kasihan anak ini lucu banget lho.""Nanti malam aku tidur dimana kalau ada dia?""Ya disinilah, kita bertiga, dedek bayi yang di tengah-tengah.""Ah enggak! Aku keberatan.""Lho kenapa?""Ya, karena nanti aku gak bisa memelukmu dengan leluasa. Cckk!" Harshil merajuk seperti anak kecil.Inara tersenyum menghampirinya yang merasa kesal. Harshil yang tengah duduk di dekat pintu segera memalingkan wajah."Hhmmm, suamiku lagi ngambek nih ceritanya?" Inara duduk di hadapannya."Baru sebentar saja, perhatianmu sudah teralihkan.""Haha Mas, kamu lucu sekali kalau lagi ngambek."H
Inara mencebik kesal. Ah suaminya itu memang tak mudah ditebak. Inara bangkit menuju dapur meninggalkan sang suami yang masih tertawa."Dasar, bisa-bisanya dia--""Eheeemm! Jangan menggerutu di belakangku, Sayang!""Mas kamu kok kesini? Cepat sana temani dedek bayi lagi. Kasihan sendirian.""Aku lagi ingin bersamamu," sahutnya cuek.Inara terdiam. Sementara Harshil menghela nafas panjang. "Inara, apa kau tahu, aku merasa terganggu dengan kehadirannya."Inara terdiam. Apakah salah kalau dia merawat anak itu? Anak yang tidak tahu asal usulnya dari mana. Dia melirik sekilas menatap ke arah Harshil yang masih saja tak setuju dengan keputusannya."Aku tak ingin kebersamaan dan perhatianmu terbagi, Inara. Kita bawa saja anak itu ke panti asuhan ya."Hening, yang terdengar hanya suara pisau dan talenan yang beradu. Inara masih sibuk mengiris bumbu untuk makan siang. Sementara mulutnya terdiam walaupun telinga
'Lila? Duh, gawat! Apa yang harus kulakukan?'"Harshil, kamu sedang ngapain di sini? Terus siapa bayi itu?"Harshil masih terdiam, kalau dia pergi dari sana, Lila pasti akan menguntitnya."Hei, kenapa ditanya diam saja?"Lila makin mendekat, melihat bayi yang ada dalam pangkuannya. Raut wajahnya berubah gusar."Mas?!" Panggilan Inara mengagetkan mereka."Siapa kamu?" tanya Lila dengan nada jutek.Inara menaruh keranjang itu di dekat kakinya. "Maaf ya Mbak, harusnya saya yang bertanya, siapa kamu dekat-dekat dengan suami saya?""Suami?" Lila mengerutkan kening memperhatikan sejenak penampilan Inara dari atas ke bawah. Lila bergantian memandang ke arah Harshil, memastikan kalau dia tak salah mengenali orang.Sementara Inara mendekat ke arah Harshil, membuat Lila memundurkan langkah."Mas, apa Savrina nangis?" tanya Inara. Dia meraih bayi itu dan menggendongnya."Ya sayang, tadi dia nan
"Aku juga ingin menjadi baik seperti kamu. Selama ini kamu yang sudah mengajarkan banyak hal, termasuk tentang keikhlasan. Aku jadi makin jatuh cinta padamu, Inara."Inara hanya mengangguk saja. Kepalanya memang benar-benar terasa penat.Mereka salat subuh berjamaah. Saat Inara hendak melipat dan menggantung kembali mukena itu, tiba-tiba ia lunglai, tubuhnya merosot, seketika Harshil meraihnya dalam dekapan."Astaghfirullah Inara ...!" pekik Harshil panik.Ia langsung membopong tubuh sang istri kembali ke tempat tidur."Inara! Inara!" panggilnya. Diperiksanya berulang kali kening sang istri. Panas, sementara tangan dan kakinya begitu dingin."Kamu kenapa, Sayang? Bangunlah, jangan sakit!" Cemas dalam nada bicaranya. Ia menyelimuti tubuh sang istri dengan selimut seadanya. Diciuminya berkali-kali kening dan pipinya. Harshil mengompres kening Inara, memijat kakinya yang terasa dingin. Mengambil minyak kayu putih
Pramudya menelepon seseorang anak buahnya yang lihai menjadi penguntit."Hallo, kau ikuti kemanapun Ettan pergi. Beritahu aku laporannya.""Baik, Bos. Selain itu apa yang harus saya oakukan?" sahut suara di seberang telepon."Ikuti saja dan laporkan perkembangannya. Saya akan berikan perintah menyusul.""Siap, bereees bos!"***Mobil yang dikendarai Andre sudah berbelok ke halaman rumah besar nan megah itu. Mereka semua turun. Sementara Ettan mengikuti langkah Sandra."Wah, Ettan kembali, dimana Harshil?" tanya Diandra."Diandra, jangan ganggu Ettan. Biar dia ikut Tante," pungkas Sandra."Ish ish, sok berkuasa banget sih! Aku kan cuma ingin tahu kondisi Harshil gimana!" gerutu Diandra kesal.Ettan mengikuti langkah Sandra. "Ini kunci mobilnya, kamu bawa Harshil ke
Harshil menghela nafas dalam-dalam. "Kamu istirahat saja. Akan kupikirkan malam ini."Inara mengangguk pelan. Entah kenapa hari ini dia benar-benar merasa lemas sekali, padahal tadi dia sudah meminum obat dari dokter."Mas, ini sudah sore. Maaf kalau aku menyuruhmu, tolong mandiin Savrina ya Mas."Harshil melirik bayi yang berada di samping Inara. Kalau saja dia anak kandungnya, pasti sudah ia rawat dengan sepenuh hati."Iya, aku rebuskan air hangat dulu. Kamu mau mandi juga Inara? Biar kumandikan."Mata Inara membulat, ia beranjak duduk. Harshil justru tertawa melihat ekspresi istrinya."Ih kamu ini apaan sih, Mas. Bikin aku---"Ucapan Inara terhenti seketika saat Harshil mengecup pipinya."Wajahmu merah, Inara. Pasti karena kamu sedang demam," bisiknya lirih. Inara sedikit memalingkan wajah, tersipu malu.Mendapati ada yang tak beres juga dengan debaran jantungnya, Harshil akhirnya bangkit. Ia tampak sala
Pandangan mereka saling bertaut. Pemilik mata beriris coklat itu tampak berkaca-kaca ketika mendengar ucapan lelaki yang ada di hadapannya itu. Untuk sesaat, Inara seperti tersihir oleh kata-katanya."Maaf atas kesalahanku dulu. Aku yang salah, kupikir aku takkan pernah jatuh cinta padamu. Tapi nyatanya Allah sang pembolak-balik hati, hanya beberapa hari bersamamu saja sudah membuat jantungku ini berdebar-debar. Apalagi sekarang, aku telah jatuh pada pesonamu, Inara. Kau satu-satunya wanita yang mampu menggetarkan hati ini. Mampu bertahan di saat aku terpuruk, padahal kita baru saling mengenal. Bahkan kau yang sudah menjadi penyemangatku untuk sembuh dan melanjutkan hidup. Kau wanita yang sangat manis dan juga lembut, aku suka semuanya yang ada dalam dirimu."Harshil meraih kedua tangan Inara, lalu dikecupnya bergantian. Tanpa terasa butiran bening menitik dari pelupuk mata Inara.Harshil mengusapnya perlahan. "Maaf, aku justru membuatmu kesu
"Langsung ke apartemen saja.""Mas, kita belum pamit sama pemilik kontrakan," ujar Inara."Sudah.""Kapan?""Semalam, waktu kamu tidur.""Terus?""Ya, bilang tidak apa-apa. Kuncinya suruh ditaruh di ventilasi atas pintu. Nanti siang paling bapak itu mengecek kesini.""Alat masaknya ditinggal, Mas?""Ditinggal aja, buat apa. Apartemenku sudah lengkap. Kamu bisa memasak sepuasnya."Sebuah senyuman merekah dari bibir Inara."Kita langsung berangkat, Tuan?""Ya, Ettan."Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali Ettan melirik ke arah spion melihat hubungan majikannya yang tampak makin dekat. Dia melihat senyuman lepas di wajah tuan mudanya, tanpa beban. Bercengkrama dan bergantian menggendong bayi itu. Tak banyak kata, ia hanya menikmati keharmonisan mereka."Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita," tukas Ettan saat menyadari ada mobil lain yang terus mengikutinya.Harsh