Share

10. Kekesalan Kikan

Kikan menarik napas sedalam mungkin sementara kedua matanya terpejam dengan rapat. Di telinganya masih terngiang suara Dewandra yang melontarkan pertanyaan yang mampu membuat wanita itu jengkel setengah mati. Sebisa mungkin Kikan mengendalikan emosi yang hampir meledak di dalam dirinya.

“Apa dia sudah nggak waras? Kenapa dia terus bersikap dan melontarkan pertanyaan yang membuatku nggak nyaman?” Kikan mendengus sebal bersamaan dengan kedua matanya yang dibuka perlahan.

Tiba-tiba saja ia merasa sangat kepanasan. Kikan tidak mengerti, kenapa setiap kali bertemu dengan Dewandra ia selalu dibuat kesal? Apa salah Kikan sebenarnya?

“Bukankah pertanyaannya semacam itu termasuk lancang? Nggak seharusnya dia bertanya soal itu kepada orang asing, ‘kan?” Kikan semakin dibuat bingung.

“Apanya yang lancang?”

Kikan terkesiap dan langsung memutar tubuhnya ke belakang saat suara seseorang memasuki indra pendengarannya. Kikan tidak berpikir akan ada orang lain di sini selain dirinya.

“Arman ...,” ucap Kikan saat melihat rekan kerjanya itu. Helaan napas pelan menyusul setelahnya.

Arman tersenyum simpul sebagai upaya membalas sapaan Kikan kepadanya. Pria berambut ikal itupun segera membuka langkah dan berhenti tepat di samping Kikan yang masih berdiri di atas pijakan.

“Apa yang kamu lakukan dengan berbicara sendirian di sini?” Arman menoleh ke samping. Menatap Kikan yang nampak masih terkejut akan kehadirannya.

“Seperti yang kamu katakan tadi, aku berbicara sendirian di sini,” sahut Kikan begitu santai. Bukankah Arman sudah memergokinya berbicara sendirian beberapa saat yang lalu, untuk apa lagi pria itu bertanya?

Lengkungan senyum di bibir Arman semakin melebar. Pria itu terkekeh mendengar jawaban lugas dari Kikan kepadanya.

“Benar juga. Tapi bukankah lebih baik kalau berbicara dengan seseorang daripada bicara sendiri? Takutnya orang akan berpikir bahwa kamu mungkin gila.”

Kali ini giliran Kikan yang dibuat terkekeh mendengar ucapan dari pria berambut ikal itu. “Maksudnya ‘orang’ itu adalah kamu?” tanyanya, “Karena hanya kamu yang melihatku bicara sendirian tadi,” sambungnya telak.

Arman lantas menggaruk tengkuknya yang tidak benar-benar terasa gatal. “Bukan gitu maksudku, Kikan,” ujarnya, “Maksudku, anu, uhm ....”

“Sudahlah, Arman. Santai aja, lagian aku cuman bercanda kok.” Kikan kembali menyunggingkan senyuman. Memberi tahu Arman bahwa ia hanya bergurau saja tadi.

Lagi pula apa yang dikatakan Arman sama sekali tidak salah. Sedari tadi Kikan berbicara dan menggerutu sendirian. Jika orang lain yang melihatnya dan bukan Arman, kemungkinan besar orang itu pasti akan berpikiran bahwa Kikan memang ‘gila’.

“Jangan berusaha terlalu keras. Mereka nggak akan melihat itu dalam pandangan yang bagus.” Arman tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

Kedua kening Kikan sontak bertaut mendengar ucapan Arman barusan. Apa maksudnya dengan ‘jangan berusaha terlalu keras’. Dan siapa ‘mereka’ yang pria itu maksud?

“Aku lihat hari ini kamu berusaha terlalu keras di cafe. Mereka nggak senang dengan itu, Kikan.”

Kikan semakin tidak mengerti di sini. Apa salahnya jika ia bekerja dengan sungguh-sungguh? Bukankah seharusnya memang seperti itu?

“Aku nggak paham maksud kamu. Kenapa aku dilarang berusaha terlalu keras dan siapa ‘mereka’ yang kamu maksud? Bukankah malah bagus kalau aku bekerja dengan sungguh-sungguh?” Kikan mengutarakan pemikirannya.

“Memang nggak salah, tapi sekarang kamu sedang berada dalam lingkungan yang dipenuhi oleh orang-orang dengki. Aku kasih tahu kamu soal ini supaya kamu lebih berhati-hati karena kulihat kamu sepertinya nggak menyadari topeng ‘mereka’. Aku cuman nggak mau kamu kerepotan nantinya.”

Kikan berusaha untuk memahami setiap baris kata yang terlontar dari mulut Arman. Orang-orang dengki. Dan pria itu bilang apa tadi, topeng? Sekali lagi, why?

“Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu nggak mau aku kerepotan?” Kikan menanyai Arman.

Arman bergumam pelan sementara kedua matanya masih mengunci pada wajah cantik Kikan. “Karena aku yakin bahwa kamu adalah orang baik,” sahutnya.

Kikan tersenyum tipis. Rasanya menggelikan mendengar kalimat itu dari seseorang yang bahkan baru mengenalnya setengah hari. Bukankah Arman terlalu cepat menilai?

“Kita bahkan baru bertemu setengah hari. Bagaimana bisa kamu begitu yakin? Dasar naif,” cicit Kikan pelan. Wanita itu berniat untuk beranjak.

“Aku mungkin naif, tapi aku percaya diri dengan penilaianku soal kamu.”

Kikan tidak lagi menjawab. Wanita itu hanya terus melangkahkan kedua kakinya menjauhi Arman yang berdiri memandangi punggungnya yang perlahan menjauh.

“Aku di sini untuk bekerja. Apapun yang ‘mereka’ inginkan, aku nggak peduli. Aku hanya perlu memenuhi kewajibanku supaya nggak mengecewakan Terry.”

Kikan sudah membulatkan tekad sejak Terry dengan begitu murah hati mau memberinya pekerjaan. Persoalan rekan kerjanya yang tidak merasa senang jika melihat Kikan bekerja terlalu keras, itu urusan mereka. Kikan tidak akan terpengaruh ataupun merasa harus takut. Justru Kikan takut akan mengecewakan Terry yang sudah mempercayakan dirinya bekerja di cafe ini.

Kikan paham betul bahwa orang-orang semacam itu akan selalu ada di lingkungan manapun. Bahkan di tempat kerjanya terakhir kali. Kikan juga menemui orang semacam itu dan berujung dengan dipecatnya Kikan dari pekerjaan.

Hal itu terjadi bukan sekali atau dua kali. Sebenarnya hingga detik ini pun Kikan masih tidak mengerti kenapa ia selalu menjadi sasaran empuk bagi orang-orang dengki itu? Padahal Kikan tidak pernah menyinggung mereka dan hanya tahu bekerja saja.

“Sekarang sudah waktunya pergantian shift. Hari ini kamu sudah bekerja keras. Terima kasih dan selalu semangat, Kikan!” serunya menyoraki diri sendiri. Tak lupa ia sematkan senyuman manis yang tak pernah gagal membuatnya terlihat begitu cantik menawan.

Jika dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya, Kikan merasa bekerja di sini jauh lebih menyenangkan. Setidaknya hari pertama bekerja di cafe tidak seburuk hari pertamanya bekerja sebagai seorang asisten. Kikan juga merasa beruntung memiliki seorang bos yang begitu baik seperti Terry.

Bicara soal pekerjaan sebelumnya, Kikan jadi teringat apartemen yang ia tempati adalah milik wanita itu—seseorang yang pernah menjadi atasannya. Perasaannya mendadak tidak nyaman. Entah mengapa Kikan memiliki firasat bahwa ia akan segera diusir dari sana.

“Aku harus tinggal di mana jika nanti diusir? Aku nggak mungkin merepotkan Manda terus ‘kan?”

Meski Manda akan dengan senang hati menerima Kikan di kediamannya. Namun Kikan merasa ia tidak boleh terus menerus merepotkan sahabatnya itu. Kikan sudah membuat Manda kewalahan dengan menjadikan dirinya sebagai penjamin hutang-hutang mereka. Kikan tidak mau membebani Manda lagi.

“Hhh, kenapa semuanya jadi sangat kacau begini?” Kikan menghela napas berat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status