Lonceng yang terpasang di pintu cafe berbunyi saat seseorang mendorong pintu itu hingga terbuka. Detik berikutnya muncul sosok pria yang begitu tinggi dengan setelan jas yang membalut tubuhnya dan berjalan masuk hingga ke dalam.
Kikan merasa seolah waktu berjalan dengan sangat lambat saat kedua matanya menangkap sosok yang begitu tinggi dan rupawan itu. Pria itu, di mana Kikan pernah melihatnya? Benarkah dia manusia dan bukan malaikat maut yang ingin mencabut nyawa nya?
“Kikan?” seru pria itu.
Kening Kikan sedikit berkerut. Rasa-rasanya suara ini pernah ia dengar sebelumnya di suatu tempat. Tapi di mana?
“Akhirnya kita bertemu di tempat yang pantas. Senang melihatmu berada di sini daripada kelab malam.”
Ah benar juga! Kelab malam! Kikan seketika bisa mengingat pertemuan mereka saat pria itu menyinggung soal kelab malam.
Dia ‘kan pria yang sama yang tiba-tiba menyeretnya keluar dari ruangan lalu memarahinya seolah mereka saling kenal. Yup! Pria jangkung nan rupawan yang berdiri di hadapan Kikan sekarang adalah Dewandra, si pria menyebalkan bagi Kikan.
Karena pertemuan mereka malam itu terjadi di tempat yang kurang pencahayaan seperti kelab malam, maka tidak heran jika Kikan tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Kikan jadi menyesal karena sempat terpesona akan ketampanannya beberapa saat yang lalu.
“Selamat datang di You & Me Cafe,” sapa Kikan dengan senyum manisnya. Sama sekali tidak menggubris ucapan Dewandra kepadanya soal kelab malam.
Kikan paham betul aturan mainnya saat ia sedang bekerja. Seberapapun ia merasa sangat jengkel kepada Dewandra, Kikan harus menepis perasaannya itu sebab pelanggan adalah raja. Kikan harus melayani Dewandra sebagai pelanggan cafe tempat ia bekerja dengan senyum manisnya tak peduli sejengkel apapun hatinya—dan jangan lupakan bagian harus selalu ramah kepada pelanggan.
Kikan mengikuti Dewandra yang berjalan menuju meja. Menyerahkan buku menu lalu menunggu pria itu menyebutkan pesanannya. Namun baru beberapa saat pria itu melihat buku menu, ia langsung menutupnya lalu meletakkannya ke atas meja.
“Apa menu paling best seller di sini?” tanya Dewandra. Matanya menatap netra indah milik Kikan yang bewarna kecokelatan dengan penuh kelembutan.
Kikan berdeham pelan. “Anda bisa melihatnya di buku menu, Pak. Di sana tertera menu best seller kami.”
Dewandra tersenyum miring, tatapannya yang penuh kelembutan kini berubah seketika. “Apa memang seperti ini pelayanan di sini? Aku bertanya sebagai pelanggan yang akan—”
“Croffle dengan saus ganache, itu salah satu menu best seller kami.”
“Oh. Kenapa kamu hanya menyebutkan salah satunya saja? Kenapa tidak disebutkan semua menu best seller yang ada?”
“Selain itu adalah menu best seller di sini. Menu itu juga rekomendasi dari saya. Meskipun Anda tidak meminta rekomendasi, tapi sebagai bentuk upaya memberikan pelayanan yang baik maka saya berinisiatif untuk membantu Anda memilih menu paling lezat di sini,” jawab Kikan panjang lebar, dengan senyum manis yang tersemat di bibir tentunya.
Dewandra mengangguk paham. Ia tahu persis bagaimana Kikan, ternyata wanita itu sama sekali tidak berubah meski sekian tahun sudah berlalu. Ya ... walaupun Dewandra masih merasa jengkel sebab wanita itu berlagak seolah tidak mengenali dirinya.
“Oke. Kalau begitu aku akan memesan croffle dengan saus ganache seperti yang kamu rekomendasikan. Bagaimana dengan minuman, apa kamu tidak akan memberi rekomendasi sekalian?”
Tanpa berpikir panjang lagi Kikan langsung memberi rekomendasi minuman kepada Dewandra. Beruntung tadi pagi ia sempatkan untuk membaca isi buku menu, maka dari itu ia bisa memberi rekomendasi dengan percaya diri seperti yang ia lakukan tadi.
“Pesanan Anda sudah saya terima. Silakan menunggu.”
Pandangan Dewandra sama sekali tidak terlepas dari sosok Kikan yang kini menjauh dari mejanya. Rasanya tidak adil, kenapa ia tidak bisa membenci wanita itu terlepas dari apa yang sudah ia lakukan kepadanya dan juga Rosetta? Kikan meninggalkan Dewandra dan juga putri mereka.
Seolah ia dan Rosetta tidak berarti apa-apa bagi wanita itu. Selama perceraian mereka Kikan sama sekali tidak pernah berusaha untuk menemui Rosetta. Dan sekarang, setelah enam tahun berlalu, mereka kembali bertemu dan Kikan bersikap seolah tidak mengenalnya.
Kikan tidak hanya sekadar jahat. Tetapi wanita itu sangat kejam! Begitu tidak berperasaan sampai memperlakukan dirinya seperti orang asing.
Padahal jika diingat kembali, Kikan telah berjanji akan tetap bertahan dan selalu ada di samping Dewandra. Wanita itu berjanji tidak akan menyerah dengan pernikahan mereka. Setiap kali teringat akan hal itu Dewandra selalu mengerang kesakitan. Seolah jantungnya dihunus dengan panah tajam dengan bara api, menyakitkan.
Drrttt...
Dewandra sedikit terkesiap saat merasakan benda pipih di dalam saku celananya bergetar. Didapatinya sebuah panggilan masuk dari sang sekretaris.
“Ada apa?” ucap Dewandra langsung pada intinya saat panggilan mereka berhasil tersambung.
Di seberang telepon, Chiko yang saat ini sedang berdiri di depan pintu lift menjawab, “Saya sudah mendapatkan informasi tentang orang itu, Pak.” Tentu saja informasi yang dimaksud Chiko adalah tentang Kikan.
“Oke, letakkan saja laporan informasinya di atas mejaku. Bagaimana dengan Rosetta, apa kamu sudah mengantar bocah kecil itu ke rumah kakeknya?”
“Sudah, Pak. Saya baru saja kembali dari sana.”
“Aku mungkin akan kembali sedikit terlambat nanti,” cicit Dewandra kemudian segera mengakhiri panggilan secara sepihak.
Setelah berhasil mengakhiri panggilannya bersama Chiko, Dewandra kembali memfokuskan pandangannya kepada Kikan. Sebenarnya sedari tadi pandangan pria itu memang sama sekali tidak teralihkan, hanya saja Dewandra ingin lebih fokus saat memperhatikan mantan istrinya itu.
Aku tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba berubah seperti ini. Apa yang merasukinya? Kalimat itu terngiang di kepalanya.
Sadar atau tidak, semakin hari Rosetta menjadi kian mirip dengan Kikan. Melihat wanita itu tersenyum seperti sekarang, Dewandra seolah melihat Rosetta dalam wujud orang dewasa. Benar-benar sama persis.
Apa dia sudah menikah lagi? Keingintahuan itu tiba-tiba terlintas di benak Dewandra. Dengan wajah cantiknya itu, Dewandra yakin ada begitu banyak pria yang tertarik kepada Kikan.
“Hah, sial! Kenapa aku tiba-tiba merasa kesal?” gerutu pria itu. Dia sendiri yang berpikiran seperti itu, jangan salahkan orang lain jika merasa kesal.
Saat kedua matanya melihat presensi Kikan yang membawa nampan berisi makanan serta minuman berjalan menuju ke arahnya, Dewandra buru-buru mengusir rasa kesal yang tercetak di wajahnya. Seolah ada kekuatan magis yang membuatnya tersihir, rasa kesal yang sebelumnya Dewandra rasakan tiba-tiba sirna.
“Selamat menikmati hidangannya. Jika Anda ingin sesuatu atau menambah pesanan, jangan ragu untuk langsung memanggil saya, Pak,” kata Kikan sebelum beranjak pergi setelah berhasil meletakkan semua pesanan Dewandra di atas meja.
Di saat Kikan hendak membuka langkah, wanita itu tertahan sebab Dewandra tiba-tiba meraih tangannya. Untuk beberapa saat keduanya hanya saling beradu tatap. Bergulat dengan isi pikiran masing-masing yang bertolak belakang.
“Ada apa, Pak?” tanya Kikan seraya berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Dewandra.
“Apa kamu sudah menikah lagi?”
Kikan menarik napas sedalam mungkin sementara kedua matanya terpejam dengan rapat. Di telinganya masih terngiang suara Dewandra yang melontarkan pertanyaan yang mampu membuat wanita itu jengkel setengah mati. Sebisa mungkin Kikan mengendalikan emosi yang hampir meledak di dalam dirinya. “Apa dia sudah nggak waras? Kenapa dia terus bersikap dan melontarkan pertanyaan yang membuatku nggak nyaman?” Kikan mendengus sebal bersamaan dengan kedua matanya yang dibuka perlahan. Tiba-tiba saja ia merasa sangat kepanasan. Kikan tidak mengerti, kenapa setiap kali bertemu dengan Dewandra ia selalu dibuat kesal? Apa salah Kikan sebenarnya? “Bukankah pertanyaannya semacam itu termasuk lancang? Nggak seharusnya dia bertanya soal itu kepada orang asing, ‘kan?” Kikan semakin dibuat bingung. “Apanya yang lancang?” Kikan terkesiap dan langsung memutar tubuhnya ke belakang saat suara seseorang memasuki indra pendengarannya. Kikan tidak berpikir akan ada orang lain di sini selain dirinya. “Arman ...,”
Di ruangannya, Dewandra yang baru saja selesai dari sebuah rapat penting menghempaskan diri di kursi kerjanya. Kedua matanya tak sengaja menangkap sebuah map yang nampak asing. Kemudian ia tiba-tiba teringat dengan laporan yang Chiko bicarakan tadi pagi, lantas pria itupun segera meraih map tersebut lalu membukanya. Dengan cermat Dewandra membaca satu per satu baris kalimat yang tertuang di sana. Tatapannya nampak begitu serius. Bahkan bisa dikatakan bahwa sekarang pria itu merasa tegang sekaligus terkejut dalam waktu bersamaan. “Pantas saja dia bersikeras tidak mengenalku. Rupanya dia kehilangan ingatannya.” Pria itu bergumam pelan saat netranya menangkap baris kalimat yang melaporkan tentang insiden kecelakaan yang dialami Kikan. Selama ini Dewandra selalu meyakini bahwa ia membenci Kikan. Tapi hal berlawanan ia rasakan saat mereka kembali bertemu. Dan sekarang saat ia mengetahui apa yang terjadi dengan wanita itu beberapa tahun terakhir ini membuatnya tiba-tiba merasa kasihan sek
Hampir lima belas menit berlalu sejak Dewandra meminta izin untuk menjawab panggilan telepon yang katanya sangat mendesak itu. Di posisinya duduk sekarang, kedua mata Kikan menangkap sosok Dewandra yang tengah berbincang dengan seseorang melalui telepon berdiri tidak jauh dari meja mereka. Pria itu terlihat begitu serius, entah apa yang dia bicarakan sampai-sampai wajahnya begitu kaku. Sejujurnya Kikan merasa sangat gelisah sekarang. Selain karena merasa tidak nyaman duduk santai di tempat seperti ini, wanita itu juga merasa khawatir tidak akan bisa kembali tepat waktu karena sebentar lagi jam istirahatnya akan berakhir. Kikan sendiri bisa sampai berada di restoran mewah ini karena kegigihannya ingin mengembalikan segepok uang tunai yang Dewandra titipkan kepada Adelia malam itu. Kikan sudah mengambil keputusan untuk tidak menerimanya karena menurutnya tidak ada alasan sama sekali untuk ia menerima uang itu. Kruk! Kikan tidak bisa menahan rasa laparnya setelah aroma masakan yang be
Entah bagaimana Kikan harus menjelaskan perasaannya sekarang. Mendapat telepon pagi-pagi sekali dari mantan atasannya dulu, yang memberi tahukan dirinya bahwa Kikan bisa menempati apartemen ini selama yang ia mau. Kikan sungguh tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejujurnya Kikan merasa senang, tetapi di lain sisi ia juga merasa keheranan. Atas dasar apa mantan atasannya itu mau meminjamkan apartemen ini kepada Kikan? Terlebih lagi wanita itu sama sekali tak menyinggung persoalan biaya sewa ataupun semacamnya. “Bukankah ini adalah kabar yang bagus? Meski membingungkan, setidaknya ini berita yang bagus, ‘kan?” Nada bicaranya sedikit lemah. Entah mengapa Kikan tak bisa merasa antusias. Seperti yang sering Manda katakan. Bahwa ia tidak bisa mengerti jalan pikiran Kikan. Manda selalu menganggap Kikan memiliki pemikiran yang begitu rumit dan berkelok. Tak jarang pula Manda sampai menceramahi Kikan sebab sahabatnya itu terlalu pemikir. “Setidaknya aku nggak perlu memikirkan soal tempa
“Ada apa dengan ekspresi kamu?” tanya Dewandra sembari menatap Chiko yang datang dengan wajah super masam. “Bukan apa-apa, Pak. Hanya saja pagi ini saya sedang sial,” sahut Chiko lalu ikut duduk di samping atasannya itu, “Oh iya, Pak. Tadi saat saya berada di dalam lift Apartemen Sky, sepertinya saya bertemu dengan wanita itu,” sambungnya. Kedua kening Dewandra hampir bertaut saat mendengar ucapan sekretarisnya. “Maksud kamu Kikan?” tanyanya memastikan, ia ragu apakah wanita yang dimaksud Chiko sama dengan yang ia pikirkan sekarang. Pria dengan tinggi 180 centi meter yang duduk di samping Dewandra itu lantas mengangguk. “Benar, Pak. Saya yakin itu dia. Dan kalau saya tidak salah mendengar, dia dan temannya ... nah itu mereka!” seru Chiko spontan saat melihat presensi Kikan dan Manda dari kejauhan. Secara alamiah tubuh Dewandra seketika berbalik ke arah belakang dan matanya langsung mengunci pada sosok Kikan yang berjalan ke arah mereka. “Baru saja saya ingin bilang kalau dia dan t
“Kamu yakin baik-baik aja?” Manda bertanya dengan khawatir. “Harus berapa kali aku bilang sampai kamu percaya kalau aku baik-baik aja sih, Manda? Kamu bisa lihat sendiri kalau aku beneran baik-baik aja. Sebenarnya aku juga nggak perlu dibawa ke rumah sakit, paling beberapa hari juga sembuh sendiri.” Kikan mengembuskan napas pelan. Ia sama sekali tak pernah membayangkan bahwa akan berakhir di rumah sakit seperti sekarang ini. “Aku cuman khawatir, Kikan. Sebelumnya kamu pernah mengalami kecelakaan sampai hilang ingatan, aku takut kondisi kamu memburuk karena insiden tadi.” Dengan wajah super cemas yang tercetak di wajahnya, Manda mengatakan betapa ia mencemaskan sahabatnya itu. Embusan napas yang tadinya pelan kini berubah menjadi berat. “Maaf dan terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku. Tapi aku beneran baik-baik aja sekarang, Manda. Kamu nggak perlu secemas ini,” kata Kikan lembut. Manda menundukkan kepalanya ke bawah. Ia tidak bisa membayangkan jika seandainya terjadi sesuatu
“Apa? Kamu bicara apa tadi? Aku nggak bisa mendengarnya dengan jelas.” Kikan menolehkan kepalanya ke belakang. “Bukan apa-apa,” sahut Dewandra seraya memberikan senyuman. Detik itu juga Kikan langsung meluruskan pandangannya kembali ke depan. Sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Kikan berinteraksi seperti ini dengan Dewandra. Seberapa keras pun ia memikirkan, Kikan tidak bisa mendapatkan pembenaran atas interaksi mereka berdua. See? Bukankah Kikan terlalu pemikir seperti yang Manda katakan? Kesan pertama Kikan terhadap Dewandra terlanjur kurang bagus. Hal itu dilandasi oleh sikap Dewandra kepadanya pada pertemuan pertama mereka di kelab malam. Baik beberapa waktu yang lalu maupun saat ini, pria itu benar-benar sangat menyebalkan di mata Kikan. “Kamu nggak perlu mengantarku. Aku bisa naik taksi untuk pulang.” Kikan kembali membuka suara. “Dan untuk biaya pengobatan, aku akan membayarnya bulan depan.” Mendengar hal itu tentu saja membuat Dewandra merasa tergelitik. Pria i
“Kamu nggak perlu repot-repot ikut turun. Aku bisa jalan sendiri sampai depan unit apartemenku.” Kikan membuka suara saat melihat pergerakan Dewandra yang nampak ingin ikut turun dari mobilnya. “Berapa kali harus kukatakan? Jangan menolakku.” Ayolah, dia itu Dewandra si pria paling keras kepala. Sia-sia saja Kikan mengerahkan usaha untuk menolak pria itu, Dewandra selalu pada pendiriannya. Apa boleh buat? Kikan tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa terdiam saat melihat Dewandra bergegas turun dari mobil lalu berjalan menuju pintu belakang tepat di mana Rosetta sedang duduk. Dengan begitu lembut Dewandra meminta putrinya untuk turun sementara tangan kirinya langsung menyambar handle pintu depan untuk membukakan Kikan. Tanpa bersuara sepatah kata pun, Dewandra langsung menyambar tas milik Kikan lalu meminta putrinya untuk membantu membawakan. “Tata, Papa minta tolong bawakan tas teman Papa ya,” kata pria itu lalu menyerahkan tas milik Kikan. Dengan senyum lebar yang tersemat di