"Sudah dulu, ya. Nanti kita lanjut lagi. Sekarang kita harus kembali ke hotel." Ardhan melepaskan Nara dari pelukannya, tetapi obat perangsang itu seolah masih terus menguasai Nara. Di sisi lain, Ardhan tidak mau jika pengaruh obat itu kehabisan. Sehingga, dengan buru-buru ia mengemudikan mobilnya menuju hotel.Perjalanan yang tidak begitu jauh membuat mereka segera sampai di hotel mahagiri villas tersebut. Ardhan pun membetulkan pakaian Nara sejenak dan memeluknya, membawa Nara memasuki hotel tersebut.Setelah berhasil memasuki kamar hotel, Ardhan pun langsung menempatkan Nara di tempat tidur. Tetapi, Nara seolah tak mau ditinggal pergi oleh Ardhan. Tangannya terus bergelayut manja dengan gairah yang tak kunjung mereda."Mas~!!!"Ardhan menyeringai. "Rupanya kamu bisa seliar itu tanpa rasa malu."Nara membuka satu persatu pakaiannya di hadapan Ardhan. Wanita itu seolah tidak ada rasa malu lagi. Ardhan yang melihatnya pun langsung ikut bergairah melihat tubuh mungil Nara yang begitu
Waktu terus berlalu. Malam penuh gairah pun telah berakhir. Tetapi, Ardhan yang mengingat masa lalu buruk itu nyaris saja pulang dan meninggalkan Nara. Untungnya, ia ingat bahwa Nara masih berada di hotel sendirian.Pada saat perjalanan menuju kamar hotel, suara ponsel berdering. Ardhan menghentikan langkah kakinya dan memilih untuk menjawab telepon dari Kakek Heraldo."Halo, Kek. Ada apa?" tanya Ardhan.Kantung matanya menghitam dengan rasa lelah luar biasa yang kembali terasa pada tubuh Ardhan. Walaupun sudah terbiasa bergadang, tetapi lelahnya kali ini sungguh berbeda."Bagaimana malam tadi? Apakah cukup menyenangkan?" tanya Kakek Heraldo. "Kakek yakin, dia itu masih perawan. Masih rapat dan kamu pasti senang karena yang pertama kali membuka segelnya," tambahnya. Kali ini, nadanya terdengar berbisik.Ardhan hanya menyeringai. "Walaupun perawan, tapi aku tidak merasakan senang. Masa lalu itu malah menggentayangiku. Membuatku takut jatuh cinta kembali dan takut mendapat pengkhianata
Nara melangkah memasuki kamar. Ia melewati Ardhan begitu saja tanpa berkata apapun. "Siapa yang menelepon pagi-pagi begini sampai sembunyi begitu?" tanya Ardhan dengan nada menyindir.Namun, saat itu Nara tidak menyahut. Ia tidak mau melakukan perdebatan yang tidak penting dengan Ardhan. Melihat Ardhan yang tampak sedang dalam suasana hati yang buruk, membuatnya berusaha untuk menghindari pertengkaran di antara mereka."Sebaiknya aku pesan makanan saja."Lewat sebuah telepon yang ada di kamar hotel itu, Nara mencoba memesan makanan untuk sarapan paginya. "Aku sudah merasa lapar," gumamnya.Sembari menunggu, Nara duduk sembari melihat matahari terbit dari arah timur. Merasakan hangatnya pagi dengan udara yang masih segar.Hingga, Nara seketika beranjak dari duduknya dengan mata membelalak. Ia kaget karena baru mengingat sesuatu."Harusnya aku bersiap-siap," ucap Nara. "Kami 'kan akan pergi ke pantai kuta," tambahnya.Nara pun memasuki kamar mandi tersebut. Ardhan yang melihat Nara tamp
Nara yang mendengar bahwa Ardhan terus menolak setiap kali ia ajak sarapan membuatnya memilih untuk tak menanyakan hal yang sama lagi. Ia cukup duduk, diam, sembari menikmati makanan yang begitu menggoyang lidah tersebut.Sesekali Ardhan melirik ke arah makanan itu, tetapi kemudian ia berjalan pergi untuk mengenakan pakaian pantainya. 10 menit lengang ....Ardhan sudah kembali dengan penampilan yang kece. Ia mengenakan baju pendek bermotif dengan celana jeans pendek di bawah paha. "Saya sudah siap, ayo kita berangkat sekarang saja!" ajak Ardhan tanpa mau tahu apa yang sedang Nara inginkan.Ardhan bersikap seolah tidak peduli kepada Nara yang belum selesai menyantap semua sarapan paginya.Nara mengambil air minum dan meneguknya perlahan. Ia mendongak ke arah suaminya yang tengah berdiri di hadapannya tersebut dengan mengenakan kacamata hitam."Saya masih makan, Mas. Bisa tunggu sebentar lagi saja, tidak?" "Nanti saja makan lagi. Kita harus pergi sekarang sebelum sore."Padahal, walau
Mereka keluar dari lift, melewati lobi hotel lalu menuju tempat parkir untuk menuju sebuah mobil yang sempat Ardhan sewa pada kemarinnya. Di dalam mobil itu, sesekali Nara melirik ke arah Ardhan. Ia melihat suaminya yang selalu bersikap aneh. Walaupun apa yang ada di pikiran Ardhan bukan urusannya. Tetapi, di samping itu ia tidak mau jika rencananya sampai gagal karena kecurigaan berlebihan Ardhan."Kita pergi ke minimarket dulu!" ajak Ardhan sembari menyetir mobil di dalam mobil."Iya, Mas," sahut Nara. Jawaban singkat yang keluar dari bibir mungilnya yang berwarna merah terang itu.Setelah pembicaraan singkat itu, suasana kembali sunyi. Hanya ada suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Tetapi, jarak dari hotel menuju minimarket memang tidak jauh. Sehingga, membuat keduanya segera sampai di tempat tujuan tersebut. Ardhan menepikan mobil, lalu melangkah keluar bersama Nara. Mereka pun memasuki minimarket tersebut.Ardhan mengambil keranjang belanja berwarna kuning dan berjala
Bruuumm! Mobil itu berhenti seketika. Nara yang merasakannya langsung terkejut penuh tanya. "Ada apa, Mas?" tanya Nara kepada Ardhan.Tetapi, Ardhan tidak menyahut. Ia malah keluar dari dalam mobil. Hingga, lampu merah datang dan membuat Ardhan ingin memastikan bahwa yang dilihatnya adalah sang mantan istri.Namun, saat hendak menghampiri mantan istri. Lampu lalu lintas malah berubah hijau kembali.Tiiin! Tiiin! Suara lakson dari arah belakang terdengar semakin berisik."Yang di depan minggir!" teriak salah seorang pengendara mobil jalanan yang usianya sekitar lima puluh tahunan.Tanpa mempedulikan suara lakson yang berisik itu, Ardhan memasuki mobilnya kembali. Ia tancap gas pergi -- mencoba menyalip beberapa mobil yang ada di depannya tanpa ragu. "Mas hati-hati, nanti bisa kecelakaan!" seru Nara sembari berpegangan pada hand grip. Ardhan terus menaikkan kecepatan kemudinya tanpa memperhatikan keselamatannya sendiri. Saat itu, Nara tidak mengetahui jika yang sedang Ardhan kejar a
"Kita nikmati semua camilannya dulu, foto bersama untuk dikirim ke Kakek ... Setelah itu kita langsung pulang. Bagaimana?" tanya Nara. Ardhan berpikir sejenak. Ia memikirkan apa yang dikatakan oleh Nara. "Baiklah." Setelah hampir tiga menit berpikir, Ardhan pun setuju. Menurutnya, ide Nara kali ini lebih baik daripada sebelumnya."Sekarang saja kita berswafoto!" ajak Ardhan. Ia kembali mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan langsung merangkul Nara agar lebih dekat.Nara tampak gugup, itu terlihat dari bahu serta wajahnya yang tampak menegang. Tentu saja, ini karena Ardhan merangkulnya dari samping begitu saja.Ardhan menoleh ke arah Nara. "Berikan senyuman termanismu, supaya Kakek percaya kalau kita akrab," ujar Ardhan.Ia merasa bingung, senyum dalam keadaan hati yang buruk sungguh menyakitkan. Tetapi, meskipun begitu kesedihan itu tetap harus ia sembunyikan dalam-dalam dari semua orang termasuk Kakek Heraldo."Baiklah, aku harus bisa," batin Nara, menguatkan dirinya sen
Namun, Ardhan seolah tidak mendengar ucapan Nara. Pertanyaan yang terlontar keluar dari mulut Nara seolah senyap di telinga Ardhan. "Mas!" seru Nara sekali lagi.Tetapi, Ardhan masih tidak menyahut. Pria itu terus mengayunkan langkah kakinya pada seorang wanita yang ia pikir adalah wanita yang sama saat ia lihat di jalan.Melihat suaminya yang berjalan ke arah seorang wanita, Nara pun lekas menghentikan langkahnya. "Siapa wanita itu?" gumam Nara.Ardhan terus mendekat, ia menyentuh lengan wanita yang ada di hadapannya. Hal itu membuat wanita tersebut menoleh ke arah Ardhan. Namun, ...."Maaf, siapa ya?" ucap wanita itu begitu melihat sosok Ardhan yang tampak asing baginya.Ardhan yang salah orang pun langsung meminta maaf, karena ia tidak mau disangka pria cabul. "Saya minta maaf, sepertinya saya salah orang," ucap Ardhan dengan kedua tangan menyatu di depan dada.Sebelum Ardhan membalikkan badan, Nara sudah terlebih dahulu pergi. Ia kembali ke sebuah kursi pantai dan menikmati cam