Deg.
Adnessa terdiam, mengira jika kalimat waktu itu hanyalah sebuah lelucon dan Axcel telah melupakannya. Kenyataannya, pria itu Justru menanyakan jawaban tentang pengakuannya pagi tadi.
"Saya menyukai kamu!" jelas Axcel.
Dalam konteks apa? Adnessa tidak ingin terlalu percaya diri, karena tidak semua kata menyukai itu bisa di artikan dalam bentuk pasangan, bisa saja itu hanya sekedar suka layaknya seorang kakak kepada adiknya. Lagi pula, selamanya mereka akan menjadi saudara. Andai kata, suatu saat nanti Axel benar-benar memiliki perasaan kepadanya, Adnessa berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menyukai pria di depannya ini.
"Aku juga menyukai mu, karena kita adalah saudara!" Adnessa tersenyum, menatap sekilas wajah Axcel.
Saudara? Kebahagiaan di wajah Axcel perlahan meredup, "Apa hanya sebatas itu?"
"Maksudnya?"
"Saya menyukai kamu lebih dari perasaan seorang kakak kepada saudari perempuanya. Bagaimana dengan kamu? Apakah perasaan kamu hanya sebatas itu?" tanya Axcel penuh harap.
Meskipun besar peluang kekecewaannya. Tapi, melihat begitu banyak orang yang mendekati Adnessa, sepertinya, ia tidak bisa hanya tinggal diam dan melihat Adnessa nantinya di miliki orang lain. Walaupun Adnessa menolaknya, setidaknya dirinya pernah mencoba dan jujur dengan perasaannya.
PYARRR.
"Apa kamu gila?"
Karena begitu terkejutnya mendengar pengakuan Axcel yang begitu jelas, tanpa sengaja Adnessa menjatuhkan sebuah mangkuk yang di bawanya hingga menjadi pecahan yang berserakan di lantai.
"Apa kamu baik-baik saja?" panik Axcel, dengan segera pria itu membawa Adnessa untuk menjauh, tidak ingin jika gadis kesayangannya itu terluka akibat serpihan mangkok tadi.
Walaupun di awal pertemuan Axcel terkesan sangat menyebalkan. Tapi, semakin kesini sikap pria itu semakin berbeda. Bukan lagi seperti sikap seorang kakak untuk adiknya.
"Axcel. Sampai kapan pun, selamanya kita akan tetap menjadi saudara! Jadi, tolong hilangkan perasaan kamu untuk ku!" paksa Adnessa yang tidak ingin melihat Axcel membuang waktunya percuma demi dirinya.
"Jadi, apa saya harus melupakan kamu?"
Adnessa mengangguk, "Dengan apa yang kamu miliki sekarang, aku yakin, kamu bisa mendapatkan seseorang yang setara dengan kamu!"
Axcel menyeringai, "Apa saya tidak setara dengan kamu? Apa sebegitu tidak pantasnya saya dengan kamu?"
Mendengar jawaban Axcel, justru membuat Adnessa merasa serba salah, "Bukan seperti itu maksud ku?!"
"Lalu?"
"Jujur saja, Aku takut dan aku tidak ingin membuang waktu kamu sia-sia."
Suasana seketika menjadi hening dengan Adnessa yang menatap mata Axcel. Entah kenapa, Adnessa merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Axcel mengangguk, "Saya tau. Tapi, bukankah itu tidak adil jika kamu menolak saya tanpa memberi saya kesempatann terlebih dahulu? Pria bajingan seperti Giovan saja bisa bersama kamu, kenapa saya tidak? Apa saya begitu buruk?"
Apa pria ini tidak mengerti bahasa manusia? Adnessa sudah tidak tau lagi bagaimana cara untuk menjelaskan kepada Axcel, agar pria di depannya ini mengerti.
"Axcel ... Mau sampai kapan kamu menyukai seseorang yang kamu sendiri tau tidak akan bisa memilikinya?"
"Jika aku tau caranya berhenti, mungkin aku sudah berhenti sejak kemarin!" sahut Axcel.
Adnessa benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya terasa bimbang, 'Apa keputusan ku sudah tepat?'
Axcel memegang pipi Adnessa dengan lembut, menatap gadis itu penuh cinta, "Berikan saya kesempatan untuk membuktikan kalau perasaan saya benar-benar tulus untuk kamu!"
Axcel tidak lagi memaksakan kehendaknya. Ia sadar, jika apa yang baru saja ia lakukan sungguh gegabah. Apalagi, mereka berdua juga tidak cukup mengenal, bahkan mereka saling mengenal baru beberapa minggu, tentu saja Adnessa meragukannya.
"Satu bulan, setelah satu bulan, kamu berhak memutuskan untuk menerima atau menolak saya!"
Setelah memikirkan semuanya, akhirnya Adnessa mengangguk. Lagi pula, menolaknya sekarang juga tidak akan ada gunanya. Hitung-hitung, untuk mengisi kekosongan hatinya setelah penghianatan Giovan, "Baik, satu bulan. Hanya satu bulan!"
Seperti ada yang meledak di dalam hatinya, senyum Axcel seketika mengembang mendengar persetujuan Adnessa, "Terimakasih, sayang!"
Karena begitu bahagianya, Axcel mengangkat tubuh Adnessa dan berputar. Terlihat jelas kebahagiaan di wajah CEO tampan itu.
"Axcel, turunkan aku!" pinta Adnessa malu-malu.
"Maaf!" sahut Axcel seraya menurunkan Adnessa.
"Aku memberi kamu kesempatan, bukan berarti kamu bisa berbuat seenaknya!"
"Iya, saya mengerti!"
Akhirnya, malam itu Axcel merasa sedikit lega. Walaupun Adnessa belum menerimanya, tapi jawaban gadis itu sudah seperti angin segar untuknya.
***
"Selamat pagi!" sapa Axcel melihat Adnessa akan membuka matanya.
"ASTAGA, kenapa kamu ada di sini?" Adnessa terperagah, dan segera menjauhkan diri dari Axcel, menyadari dirinya yang memeluk pria itu.
Sejak kapan dia berada di sini? Jangan-jangan?! Adnessa segera menyibak selimut yang ia kenakan, memastikan jika semalam tidak terjadi sesuatu yang aneh, 'Syukurlah.'
Entah kenapa, semalam Axcel tidak bisa tidur dan terus terbayang wajah Adnessa. Akhirnya, Axcel memutuskan untuk menemui Adnessa sekedar untuk menatap wajah cantik gadis itu. Naasnya, saat dirinya baru saja duduk di tepi tempat tidur, tiba-tiba saja Adnessa menarik lengannya dan memeluknya hingga pagi. Alhasil, Axcel bermalam di kamar Adnessa dan terjaga semalaman.
"Kamu yang membuat saya berada di sini?!" sahut Axcel dengan tatapan menggoda membaut Adnessa terpaku, apa lagi, saat ini pria itu tengah bertelanjang dada.
"Ti-tidak mungkin!" sangkal Adnessa. Seingatnya, setelah perbincangan hangat semalam, Adnessa memutuskan untuk segera tidur. Dan ia benar-benar tidur sendiri di kamarnya, tapi, saat ia bangun kenapa bisa ada Axcel di ranjangnya?
"Buktinya?!" Sahut Axcel dengan senyum nakalnya, menggoda Adnessa.
TOK ... TOK ... TOKK.
"Ness, apa kamu sudah bangun, nak?" tanya Margarethadari balik pintu.
"Mama? Mama sudah pulang?" panik Adnessa mendengar suara ibunya, apa lagi Axcel masih berada di kamarnya.
Adnessa menatap panik ke arah Axcel, mendorong pria itu agar segera pergi dari kamarnya, "Cepat keluar!"
"Lewat sana?" tanya Axcel dengan santai menunjuk ke arah pintu.
Adnessa terdiam, tidak mungkin juga Axcel keluar melalui pintu. Mau memberikan alasan apa jika nanti Axcel bertemu dengan mama?
"Sana-sana, kamu sembunyi dulu di kamar mandi!"
Krietttttt.
Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka, dan seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu itu dengan membawa beberapa paper bag di tangannya.
"Mama?!" lirih Adnessa dengan mata melebar.
***
Sore itu, Adnessa berdiri di teras kediaman Hansel, menatap mobil Revan yang kian menjauh, menelan kesepian yang tiba-tiba menyeruak setelah kepergian pria itu."Anak ini milik saya!"Adnessa terperagah, jantungnya mencelos mendengar suara berat yang tiba-tiba membisikkan kalimat itu tepat di belakangnya. Sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya, menariknya mendekat hingga punggungnya membentur dada bidang seorang pria."Axcel?!" lirih Adnessa, terkejut bukan kepalang. Spontan ia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, tangan Axcel justru mengerat, memeluknya seolah tak ingin melepaskan.Axcel menghela napas panjang, aroma maskulinnya menusuk indra penciuman Adnessa. "Apa saya seperti hantu? Kenapa kamu begitu ketakutan melihatku?" tanyanya datar, perlahan membalikkan tubuh Adnessa hingga tatapan mereka bertemu. "Jangan lagi menghindariku, jangan lagi mencari alasan untuk menjauh. Aku sudah mengetahui semuanya, Ness. Jika... ini adalah darah dagingku!" lanjutny
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit
Adnessa menumpahkan segalanya kepada Laluna dan Fransisca. Ia menceritakan kehamilannya, sosok Axcel yang penuh misteri, dan keputusan Revan yang tiba-tiba untuk menikahinya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat.Laluna dan Fransisca mendengarkan dengan seksama, mata mereka membulat karena terkejut, air mata menetes karena simpati. Mereka merasa kasihan pada Adnessa, tetapi juga kagum dengan kekuatan dan ketegarannya."Gue nggak nyangka lo ngalamin semua ini, Ness," ucap Laluna, suaranya bergetar, memeluk Adnessa erat. "Kenapa lo nggak cerita sama kita, sih?""Iya, Ness," timpal Fransisca, mengangguk setuju. "Kuat banget lo nyimpan masalah serumit ini sendirian," lanjutnya, memeluk Adnessa erat, menyalurkan kekuatan kepada sahabatnya."Mau bagaimana lagi?" sahut Adnessa sendu, mengusap perutnya yang masih rata. "Sebenarnya gue juga nggak ingin berada di situasi seperti ini. Tapi... gue takut kalian akan marah dan menjauh setelah tahu masa
Fransisca dan Laluna yang penasaran degan hubungan mereka, akhirnya "Ness, tunggu!" teriak Laluna, mencoba menghentikan langkah Adnessa."Kalian kenapa?" tanya Adnessa. Menatap bingung ke arah dua sahabatnya bergantian, melihat dua sahabatnya berdiri di belakangnya dengan napas terengah-engah.Dengan napas tersenggal-senggal karena habis berlari mengejar langkah Adnessa, Laluna dan Fransisca saling menatap. Mereka sedikit ragu ingin bertanya tentang hubungan sahabatnya ini dengan dosen mereka, melihat Revan yang masih berada di sana.Laluna menyenggol bahu Fransisca, meminta agar gadis itu yang menanyakannya."Apaan sih, lo?" gumam Fransisca, "Lo takut?""Bukannya gue takut, hanya saja gue tidak memiliki banyak energi untuk mendengar kebenarannya nanti!" sahut Laluna beralasan."Ckkk," decak Fransisca kesal dengan sikap Laluna.Adnessa mengerutkan kening, melihat gelagat aneh dua sahabatnya ini. "Apa yang tengah kalian diskusikan?"Fransisca dan Laluna terkesiap mendengar pertanyaan
"Saya... saya akan pergi, Pak," ucap Adnessa, suaranya bergetar. "Saya akan pindah sekolah ke luar negeri.""Pindah sekolah?" ulang Revan, alisnya terangkat. "Kenapa tiba-tiba?""Saya... saya ingin mencari pengalaman baru, Pak," jawab Adnessa, berbohong. Ia tidak ingin Revan tahu tentang kehamilannya."Pengalaman baru?" gumam Revan, menatap Adnessa dengan tatapan curiga. "Atau kamu ingin menghindar dari saya?"Adnessa terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa takut jika Revan akan marah atau kecewa."Saya... saya tidak menghindar dari Anda, Pak," jawab Adnessa akhirnya, berbohong lagi. "Saya hanya ingin mencari pengalaman baru."Revan menghela napas panjang, "Lalu, apa Axcel mengetahui hal ini?!" Tanyanya dengan kening berkerut, berfikir jika Adnessa telah memberitahukan kehamilannya kepada Axcel."Tahu," singkat Adnessa. Memang Axcel mengetahui niatnya yang ingin berseklah di luar negeri.Revan mengangguk, ia mengerti kenapa Adnessa tiba-tiba ingin pindah ke luar negeri. P